NEW YORK, KOMPAS.com — Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menggelar sidang khusus di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Sabtu (26/2/2011), untuk membahas sanksi terhadap Libya. Sementara malam sebelumnya, Presiden AS Barack Obama resmi mengeluarkan perintah untuk membekukan seluruh aset Moammar Khadafy dan empat anaknya di AS.
Tiga anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), yakni Amerika Serikat (AS), Perancis, dan Inggris, ditambah Jerman telah membuat draf resolusi yang diajukan pada sidang hari Sabtu untuk mendapat persetujuan semua anggota DK PBB. Rancangan resolusi tersebut menyatakan, serangan terhadap warga sipil di Libya bisa terus bertambah untuk dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Draf resolusi tersebut juga menyerukan embargo senjata dan larangan perjalanan ke Libya serta pembekuan aset milik Khadafy dan orang-orang terdekatnya. Ada juga usulan untuk menetapkan wilayah udara di atas Libya sebagai zona larangan terbang guna mencegah penggunaan pesawat tempur militer Libya untuk menyerang para demonstran.
Jumat malam, Presiden Obama menggunakan kekuasaan eksekutifnya untuk memerintahkan pembekuan seluruh aset milik Khadafy dan empat anaknya. Khadafy memiliki empat anak, yakni Seif al-Islam, Khamis, Muatassim, dan Aisha, yang semuanya menyimpan kekayaan dalam jumlah besar di AS.
"Dengan standar apa pun, pemerintahan Moammar Khadafy telah melanggar kepatutan umum dan norma-norma internasional serta harus bertanggung jawab," kata Obama dalam pernyataan resminya.
Sanksi tersebut dijatuhkan untuk melindungi aset rakyat Libya dari penjarahan oleh rezim yang berkuasa saat ini. Meski demikian, sanksi itu diduga juga bertujuan mendorong orang-orang yang masih loyal kepada Khadafy agar segera membelot.
"Memang sulit, tetapi tujuan (sanksi itu) adalah mendorong para pendukung Khadafy yang masih tersisa untuk berhenti (mendukung Khadafy)," ucap Robert Malley, pengamat dari International Crisis Group kepada The New York Times.
Langkah AS itu diambil setelah semua warga AS di Libya, termasuk para diplomat, berhasil dievakuasi dan Kedutaan Besar AS di Tripoli untuk sementara ditutup.
Langkah pembekuan aset-aset Khadafy sebelumnya juga dilakukan oleh Swiss. Sementara Presiden Perancis Nicolas Sarkozy sudah terang-terangan mendesak Khadafy mundur.
PBB didesak
Demonstrasi menuntut pengunduran diri Khadafy, yang telah memerintah Libya selama 41 tahun lebih, telah memasuki hari ke-13 sejak dimulai di kota Benghazi, 15 Februari. Khadafy belum menunjukkan tanda menyerah.
Dalam pidato di Lapangan Hijau, Tripoli, Jumat, Khadafy menyerukan kepada para pendukungnya untuk melawan para pemberontak, dan bahkan mengatakan akan mempersenjatai rakyat sipil yang masih setia kepada dia guna menumpas pemberontakan.
Korban jiwa terus bertambah setelah tentara bayaran dan pasukan pemerintah yang masih loyal kepada Khadafy terus menembak.
Jumat malam dalam sidang DK PBB yang dihadiri 15 anggotanya, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengatakan, jumlah korban tewas telah melampaui 1.000 jiwa. Ia juga mengaku mendapat informasi bahwa tentara pendukung Khadafy memaksa masuk ke rumah-rumah sakit untuk membunuh para demonstran yang terluka. Tentara yang menolak perintah menembak warga sipil juga dibunuh oleh rekan-rekannya sendiri.
"Warga tidak berani keluar rumah karena takut ditembak pasukan pemerintah atau milisi. Inilah saatnya bagi Dewan Keamanan untuk mempertimbangkan langkah konkret. Dalam situasi seperti ini, semakin banyak waktu yang terbuang (untuk bertindak) berarti semakin banyak pula korban jiwa yang jatuh," kata Ban Ki-moon.
Duta Besar Libya untuk PBB yang telah membelot dari pemerintahan Khadafy, Abdurrahman Shalgham, juga berpidato di hadapan DK PBB, meminta agar lembaga tersebut segera menyelamatkan Libya. Dalam pidato yang emosional, Shalgham membandingkan kekejaman Khadafy terhadap para demonstran ini dengan kekejaman para tiran, seperti Adolf Hitler dari Nazi Jerman, Joseph Stalin dari Uni Soviet, dan Pol Pot dari rezim Khmer Merah di Kamboja.
"Tolong, PBB, selamatkan Libya. Hentikan semua pertumpahan darah dan pembunuhan orang-orang yang tak bersalah. Kami menginginkan resolusi yang berani, cepat, dan menentukan dari Anda semua," kata Shalgham, yang didampingi Deputi Duta Besar Libya Ibrahim Dabbashi, yang terlihat bercucuran air mata.
Tripoli mencekam
Suasana di Tripoli pun makin mencekam. Warga bersiap mengantisipasi pertempuran berdarah besar-besaran setelah Khadafy mengatakan akan membuka gudang-gudang amunisi tentara untuk mempersenjatai warga sipil pendukungnya.
Saksi mata mengatakan, dua dari tiga hotel berbintang lima di Tripoli sudah tutup. Sementara Hotel Corinthia, yang masih buka, sudah memulai proses evakuasi. Bank-bank masih tutup dan nilai tukar mata uang dinar Libya di pasar gelap terus merosot terhadap dollar AS dan euro.
Warga juga melaporkan, setelah pidato Shalgham di depan DK PBB, jaringan listrik di Tripoli langsung padam. "Kami sangat ketakutan. Kami pikir itu tanda-tanda mereka (para pendukung Khadafy) bersiap menyerang. Kami mengambil apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata dan berjaga-jaga di dekat pintu, kalau-kalau ada yang mendobrak masuk," tutur seorang warga kepada kantor berita Agence France Presse (AFP).
Posisi Khadafy dinilai sudah makin terjepit setelah hampir semua kota di Libya timur jatuh ke tangan para pendukung revolusi. Di Benghazi, seorang juru bicara gerakan revolusi mengatakan, mereka sedang bersiap membentuk pemerintahan peralihan untuk mengambil alih kekuasaan nasional.
"Kami semua masih menunggu Tripoli mengakhiri kekuasaan Khadafy dan anaknya, dan setelah itu kami berencana menyusun pemerintahan transisi," kata juru bicara bernama Abdelhafiz Ghoqa, Sabtu.
Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi dalam pertemuan politik di Roma, Italia, Sabtu mengatakan, Khadafy saat ini sudah tak lagi memegang kendali di negaranya. Italia adalah sekutu utama Libya di Eropa.
Seorang reporter AFP melaporkan, lima perwira militer Libya berpangkat kolonel Sabtu siang mendatangi gedung pengadilan yang dijadikan markas gerakan revolusi di Benghazi untuk membelot.
Warga asing pun terus mengalir keluar dari Libya. Inggris, Jerman, Yunani, dan Turki mengirimkan kapal-kapal perang untuk mengevakuasi warga mereka. (AP/AFP/Reuters/DHF)
Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by