REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto/Wartawan Republika
Wajah Raisa Anita (13 bulan) murung. Biasanya balita berperawakan kecil itu selalu cerewet dan tak bisa diam. Tapi sudah dua hari ini Raisa lebih banyak berbaring di tempat tidur.
"Buang airnya sudah sering. Kata dokter kena diare," ujar Yuliani (34 ahun) ibu Raisa, di Jakarta, Sabtu (31/12).
Mengutip dokter yang memeriksa anaknya, Yuliani mengatakan, kemungkinan kuman masuk ke tubuh Raisa karena makanan yang kurang bersih. Bisa juga makanannya bersih, tapi tangan yang memegangnya kotor.
"Maklum anak kecil, apa saja dimasukkan ke dalam mulut ," kata Yuliani yang tinggal di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini.
Bagi ibu-ibu seperti Yuliani, memasuki musim penghujan seperti sekarang ini berarti harus ekstrawaspada. Anak-anak sering terserang penyakit.
Dokter spesialis anak dr Muzal Kadim SpA(K) mengatakan, musim pengujan, seperti halnya juga musim panas dapat meningkatnya kasus penyakit diare pada anak. Hal itu karena biasanya pada saat musim hujan air banyak tersedia, namun terkontaminasi akibat sanitasi yang tidak bagus dan lingkungan yang tidak sehat.
"Saat perubahan cuaca musim panas ataupun musim hujan, kasus diare bisa meningkat, tapi terutama memang pada saat musim hujan," kata Muzal, Sabtu (31/12).
Hasil juga penelitian juga membuktikan bahwa perubahan cuaca berdampak pada peningkatan kejadian (morbiditas) diare, yaitu kelembaban temperatur berdampak pada replikasi bakteri pathogen di lingkungan.
Saat ini di Indonesia diare masih memiliki angka morbiditas cukup tinggi. Hasil kajian Morbiditas Diare di Masyarakat 2010 menunjukkan angka kesakitan diare pada semua golongan umur mencapai rerata 411 per 1.000 penduduk.
Penyakit berbahaya
Diare adalah penyakit berbahaya dan tidak bisa diremehkan. Jika diare berlangsung terus menerus, bayi atau anak akan terkena dehidrasi yang bisa berbahaya organ-organ tubuhnya. Terlambat penangangan, ancamannya jiwa melayang.
Hingga kini diare menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak. Catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, diare membunuh sampai 2,5 juta balita di seluruh dunia setiap tahunnya. Jika dipersentase, angka kematian akibat diare mencapai sekitar 20 persen dari seluruh kematian balita di seluruh dunia. Pada negara berkembang diare menduduki lima besar penyebab kematian pada anak.
Bagaimana di Indonesia? Menurut penelitian WHO, 100 ribu anak Indonesia meninggal setiap tahunnya karena diare. Data yang dirilis oleh Riskedas tahun 2007 menyebutkan diare termasuk salah satu dari dua penyebab kematian terbanyak pada anak-anak, selain pneumonia. Kematian pada pada anak umur 4-11 tahun yang disebabkan diare sebanyak 25, 5 persen dan pneumonia 15,5 persen.
Diare didefinisikan sebagai perubahan konsistensi atau frekuensi buang air besar dibandingkan biasanya. Ada pula definisi yang menyebutkan diare lebih dari tiga kali per hari disertai perubahan konsistensi menjadi lebih cair dengan atau tanpa disertai lendir dan darah.
Muzal menjelaskan, diare dapat disebabkan bermacam-macam hal, seperti infeksi virus ataupun bakteri. Menurut penelitian, jelasnya, sebanyak 40 hingga 60 persen diare pada anak terjadi akibat Rotavirus. Biasanya virus masuk mulut melalui tangan yang terkontaminasi kotoran akibat tidak mencuci tangan.
"Diare biasanya dahului dengan muntah dan deman. Beberapa jam kemudian atau besoknya baru diare," jelas Muzal.
Ia memaparkan, ada tiga jenis diare. Pertama diare cair akut. Jenis ini yang paling banyak terjadi, Penyebabnya adalah Rotavirus. Biasanya terjadi di bawah dua minggu. Jenis kedua adalah disentri. Ini terjadi jika diare disertai dengan lendir darah. Jenis ketiga diare persisten. Lamanya lebih dari 14 hari. Diare jenis ketiga lebih rumit penanganannya dibandingkan pertama dan kedua.
Dokter spesialis anak lainnya, Prof dr Badriul Hegar SpA(K) menambahkan, diare dapat dikenal dari gejala klinis yang diakibatkannya. Yaitu diare cair dan sering (kadang profuse), kemerahan di sekitar anus, tinja berbau asam, sering disertai buang angin (flatus), gerakan dan suara usus meningkat.
Bila sudah terkena diare, saran Hegar, langkah awal yang paling penting dilakukan adalah mencegah tidak terjadi dehidrasi (kekurangan cairan dan elektrolit tubuh). Caranya dengan memberikan cairan rehidrasi oral (oralit) sebanyak 5-10 ml per kg BB. Jika berat anak 10 kg misalnya, maka oralit yang diberikan sebanyak 50 hingga 100 ml.
"Bila diare tidak membaik harus dibawa ke dokter," kata Hegar yang juga ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini.
Membiasakan cuci tangan
Badriul Hegar menganjurkan untuk cuci tangan sebelum makan, apalagi sebelum dan sesudah kontak dengan anak yang terkena diare. Hal ini akan mengurangi resiko tertular penyakit itu. Cuci tangan dengan desinfektan, kata Hegar sangat dianjurkan walaupun ada mikroorganisme yang hanya mati dengan alkohol.
"Kebiasaan mencuci tangan adalah upaya positif yang dapat menurunkan kejadian diare," tegas Hegar.
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa cuci tangan pakai sabun (CTPS) dapat mencegah penyakit termasuk diare. Penelitian oleh Curtis V Cairncross, menemukan bahwa CPTS secara rutin bisa menurunkan risiko diare sampai 47 persen. Selain itu, CPTS dapat mencegah diare yang berat hingga 59 persen.
Studi di Paskistan pada 300 keluarga memperlihatkan dampak dari CPTS dapat menurunkan risiko menderita diare sampai 53 persen dibandingkan dengan kelompok kontrol, infeksi saluran nafas 50 persen, dan impetigo (penyakit infeksi kulit) sampai 34 persen.
CTPS selain mengurangi kemungkinan terkena penyakit diare juga penyakit lainnya seperti cacingan, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), dan flu burung.
Walaupun hampir semua orang pernah mendengar tentang CPTS, tetapi penelitian mendapatkan kebiasaan CPTS hanya dilakukan mulai dari 0 hingga 45 persen di berbagai negara berkembang.
Untuk menggalakkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) khususnya CTPS, kampanye dilakukan oleh Unilever Indonesia melalui salah satu brand sabun kesehatan keluarga Lifebuoy. Senior Brand Manager Lifebuoy, Amalia Sarah Santi, mengatakan pihaknya menggelar program Gerakan 21 Gerakan 21 Hari untuk Indonesia yang Lebih Sehat.
Kegiatan ini, kata Amalia ditujukan agar keluarga Indonesia terutama anak-anak usia SD agar memiliki kebiasaan PHBS dan CTPS dalam kehidupan sehari-hari.
Gerakan ini diawali dengan PHBS untuk kepala sekolah dan guru UKS. Sasaran lainnya adalah Dokter Kecil sebagai agen kesehatan perubahan PHBS dan CTPS di sekolah dan keluarga. Tahun ini, kata Amlia, Gerakan 21 Hari sudah mencapai 1.700 sekolah di 10 provinsi.
Amalia memaparkan, Gerakan 21 Hari telah dilakukan sejak 2011 ini untuk melakukan kebiasaan sehat di lima saat penting. Yakni mandi menggunakan sabun, CTPS sebelum makan pagi, sebelum makan siang, sebelum makan malam, dan setelah dari toilet selama 21 hari berturut-turut tanpa putus.
"Mengapa 21 hari, karena menurut pakar psikologi, untuk mengubah kebiasaan buruk dan memulai kebiasaan baru yang lebih baik diperlukan waktu kurang lebih 21 hari, " jelas Amalia tentang gerakan itu.
Ia mengungkapkan, berdasarkan penelitian WHO, bakteri akan mencapai jumlah terbanyak (periode emas) dalam kurun waktu enam jam. "Jadi apabila kita mencuci tangan lima kali sehari kita dapat mencegah bakteri berkembang," tuturnya.
Yuliani mengakui bahwa membiasakan mencuci tangan masih belum dia terapkan pada Raisa. Tapi setelah kejadian diare pada anaknya yang semata wayang itu, ia berjanji akan membiasakan diri untuk hidup lebih sehat.
"Kata dokter, saya harus lebih perhatian pada makanan dan lingkungan bermain Raisa. Dan yang penting, harus rajin cuci tangan pakai sabun," tegasnya.