Oleh: Ahmad Arif
Suhu dua derajat di bawah nol. Tanpa listrik, tanpa pemanas ruangan. Namun, Sekolah Menengah Atas Torio, Kesennuma, Prefektur Miyagi, Jepang, yang dijadikan barak pengungsian itu terasa hangat oleh kasih dan rasa hormat kepada kemanusiaan yang tak mengenal batas suku, bangsa, dan agama.
Di antara harapan untuk segera pulang ke Tanah Air, terasa betul bahwa 33 remaja putri asal Indonesia yang menjadi korban tsunami itu berat meninggalkan Kesennuma.
Demikian juga sebaliknya, orang-orang Jepang di pengungsian seperti tak rela melepas kepergian anak-anak Indonesia. Beberapa di antara mereka naik ke bus penjemput dan menyalami anak-anak itu hingga saat terakhir sebelum keberangkatan. Bahkan, sebelumnya, penanggung jawab pengungsian meminta kepergian itu ditunda hingga keesokan paginya.
Setelah bernegosiasi sekitar sejam, Kepala Atase Pendidikan Budaya Kedutaan Besar RI di Jepang Edison Munaf akhirnya berhasil mengevakuasi para korban malam itu juga ke Tokyo. Anak-anak ini adalah lulusan sejumlah sekolah menengah kejuruan di Indonesia yang tengah magang sekaligus bekerja di empat perusahaan pengolahan hasil laut di Kesennuma.
Sebelum bus pergi, Mikasa-san, salah seorang pengungsi, menyerahkan kantong plastik penuh berisi roti kepada anak-anak itu sebagai bekal perjalanan menuju Tokyo sejauh sekitar 330 km dari Kesennuma.
"Mereka selalu baik kepada kami. Bahkan, tetap baik saat bencana," kata Marlina, remaja asal Brebes, Jawa Tengah, yang sudah 2,5 tahun tinggal dan bekerja di pabrik pengolahan telur ikan salmon di Kesennuma.
Menurut dia, orang-orang Jepang di Kesennuma sering menyambangi rumah kontrakan anak-anak Indonesia dan membagikan makan. "Kami bukan siapa-siapa, tetapi mereka menerima kami seperti saudara, bukan hanya melihat kami sebagai pendatang," katanya.
Bahkan, menurut rekan Marlina, Yulianti (19), asal Cirebon, pada hari pertama setelah gempa dan tsunami, ketika hanya tersisa sebuah jeruk di pengungsian, orang-orang Jepang itu membagi satu ruas jeruk untuk satu orang. "Tak peduli asli Jepang atau tidak. Semua mendapat bagian," kata Yulianti.
Karena itu, bagi Yulianti, bus jemputan itu terlalu cepat datangnya. "Kami belum sempat berpamitan dengan mereka semua," ucapnya.
Ketegaran yang menular
Kesennuma termasuk salah satu daerah yang terparah diamuk tsunami. Dari 75.000 warga, 20.000 orang di antaranya menjadi pengungsi. "Banyak korban di sini. Yang hilang masih 1.500 orang," kata Mikasa.
Selain rumah, pelabuhan dan pabrik-pabrik pengolahan hasil laut tempat magang ke-33 remaja putri asal Indonesia itu juga hancur. Perempuan Kesennuma itu mengisahkan bencana tersebut dengan tegar. Tak ada tangis ataupun keluh kesah. "Semua cukup di sini. Ada air, ada makanan. Hanya listrik yang padam," katanya.
Ketegaran itu menjalar pada remaja-remaja putri Indonesia. "Saya belajar banyak dari mereka, seperti kerja keras, disiplin, dan tak banyak mengeluh," kata Marlina.
Saat gempa mengguncang pada Jumat (11/3), Marlina dan kawan-kawannya tengah bekerja di pabrik sekitar 100 meter dari tepi laut. "Lima menit setelah gempa, ada peringatan akan ada tsunami 6 meter," kata Sofiah (21), asal Jepara, Jawa Tengah.
Segera para pekerja pabrik ini berlari ke arah bukit yang berada tepat di belakang pabrik. "Saat baru datang di Kesennuma, kami diajari apa yang harus dilakukan saat terjadi gempa dan tsunami," katanya.
Dari atas bukit itu, dia melihat pabrik tempatnya bekerja hancur dihantam tsunami. Demikian juga rumah kontrakan mereka luluh lantak, menghanyutkan seluruh barang pribadi mereka. "Kami beruntung di belakang pabrik ada bukit tinggi. Semua karyawan di pabrik selamat," ujarnya.
Marlina mengisahkan bencana yang nyaris merenggut nyawanya itu dengan tenang. Demikian juga Sofiah, yang terdengar sangat tenang saat menelepon pacarnya untuk pertama kali setelah gempa dan mengabarkan bahwa dia serta teman-temannya selamat.
"Semua barang pemberian 'Aa' hilang. Hanya yang tersisa di badan. Saya juga masih memakai seragam perusahaan dan sepatu bot," kata Sofiah kepada keluarganya di seberang telepon.
"Jadi, jangan kaget kalau nanti pulang kami masih pakai sepatu bot dan seragam kerja. Kami juga bau ikan. Tetapi, yang terpenting kami semua di sini selamat," tuturnya.
Namun, remaja-remaja ini sedikit resah dalam perjalanan di bus menuju Tokyo itu. Mereka mendiskusikan masa depan sekembali pulang ke Indonesia. "Di Indonesia ada pekerjaan apa, ya? Kami tidak mau hanya menunggu datang orang 'membawa lemari' (dilamar)," kata Irma (19), yang juga asal Jepara.
Yulianti menimpali, dia baru sembilan bulan, belum cukup mengirim uang ke rumahnya. "Belum ada modal untuk buka usaha sendiri. Maunya balik kembali ke sini nanti," ucapnya.
Apakah tidak takut terhadap gempa dan tsunami lagi? "Urusan gempa dan tsunami wallahualam (saya serahkan kepada Tuhan). Di Indonesia juga sama saja, banyak bencana," kata Yulianti.
Sakura di Kesennuma
Marlina, Sofiah, Yulianti, dan kawan-kawannya seharusnya menyelesaikan magang tiga tahun di Kesennuma. Marlina sedikit lebih beruntung karena telah menjalani 2,5 tahun di Kesennuma. Marlina dua kali melihat bunga sakura bermekaran. Banyak kawannya yang baru mengalami masa tinggal di Kesennuma dalam hitungan bulan dan itu yang membuat mereka sedikit "iri" kepada Marlina.
Misalnya, Fida Aisyah (19) dan Irma (19), yang baru tinggal di Kesennuma sembilan bulan. Mereka termasuk yang menyesal karena belum pernah melihat bunga sakura bermekaran. "Saya belum berfoto di bawah pohon sakura," kata salah seorang di antara mereka.
Tahun ini, sakura belum lagi mekar di Kesennuma. Salju masih menyelimuti sebagian besar daratan Jepang bagian utara. Namun, sebentar lagi salju itu sepertinya akan meleleh. Setidaknya malam itu, kehangatan suasana telah melelehkan rasa dingin yang membekukan. Andai "sakura" bisa bermekaran di Indonesia, tentu remaja-remaja putri itu tak akan jauh-jauh datang ke Kesennuma....
Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by
Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.