Sanur, Bali (ANTARA News) - Partai politik secara periodik menggelar forum tertinggi partai melalui kongres, muktamar, atau musyawarah nasional.
Namun bila ada persoalan luar biasa, memungkinkan penyelenggaraan kongres, muktamar, atas musyawarah luar biasa.
Dalam sejarah perjalanan partai politik di Indonesia, penyelenggaraan kongres, muktamar, atau musyawarah nasional luar biasa jarang berlangsung.
Umumnya berbagai persoalan internal termasuk pemilihan ketua umum baru diselenggarakan melalui kongres atau sejenisnya secara periodik di akhir kepengurusan.
Sejumlah partai politik yang pernah menyelenggarakan forum luar biasa adalah Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1993, Muktamar Luar Biasa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Reformasi pada 2003, dan KLB Partai Demokrat pada 30-31 Maret 2013.
KLB PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 2-6 Desember 1993 berlangsung karena Kongres IV PDI di Hotel Tiara, Medan, 21-25 Juli 1993 tak mampu memilih ketua umum atas sejumlah nama calon yang saling bersaing seperti Soerjadi, Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno, Tarto Sudiro, dan Ismunandar.
Penyelenggaraan kongres di partai berlambang kepala banteng yang akrab dengan konflik internal dan selalu diobok-obok rezim Orde Baru itu dan berlangsung berdarah menyusul insiden pemukulan terhadap Alex Asmasoebrata oleh kubu Jacob Nuwawea dapat secara aklamasi memilih Soerjadi.
Soerjadi belum sempat menyusun kepengurusan, kongres saat itu ricuh akibat demonstrasi pimpinan Jacob yang menerobos masuk arena kongres sehingga Menteri Dalam Negeri Moh Yogie SM mengambil alih dan membentuk "caretaker" yang diketuai Ketua DPD PDI Jawa Timur Latief Pudjosakti dengan tugas menyelenggarakan KLB.
Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat Ketua DPC PDI Jakarta Selatan terpilih menjadi Ketua Umum pada KLB PDI secara "de facto" dan tak mampu dibendung oleh pemerintah, meskipun pemerintah tidak bersedia mengakui terpilihnya putri Presiden I RI Soekarno itu secara "de jure".
Pemerintah Orde Baru ketika itu sedikit mengalah, mengakui kepemimpinan Megawati melalui Musyawarah Nasional PDI di Jakarta pada 22-23 Desember 1993 dan menghasilkan kepengurusan untuk periode 1993-1998.
Megawati terus digoyang oleh kader-kadernya bahkan dikhianati oleh sejumlah pengurusnya di DPP.
Kubu Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle yang dibiarkan pemerintah, Soerjadi bersama sejumlah pengurus DPP PDI seperti Fatimah Ahmad menggalang penyelenggaraan kongres.
Kongres pun berlangsung di Asrama Haji Pangkalan Mashur, Medan, pada 22-23 Juni 1996, jauh sebelum kepengurusan Megawati berakhir.
Soerjadi terpilih menjadi ketua umum. Terjadilah dualisme kepemimpinan di PDI dan pemerintah mengakui kepemimpinan PDI pimpinan Soerjadi.
Dualisme ini memicu kerusuhan massa di Ibu Kota Jakarta menyusul perebutan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat oleh kubu Soerjadi yang didukung aparat pemerintah.
Megawati mengalah, berpindah-pindah kantor, dari rumahnya di kawasan Kebagusan Jakarta Selatan lalu ke kawasan Condet, Jakarta Timur, tetapi diusir oleh aparat pemerintah saat itu.
Megawati akhirnya mendirikan PDI Perjuangan dan berhasil menjadi pemenang pada Pemilu 1999 sedangkan PDI pimpinan Soerjadi pada Pemilu 1997 dan 1999 "jeblok".
Lain lagi dengan ceritanya Zainuddin MZ. Dai sejuta umat itu sebelumnya bergabung dengan PPP namun tidak puas dengan kondisi partainya pada saat itu sehingga mendeklarasikan berdirinya PPP Reformasi pada 20 Januari 2002 sekaligus menggelar Muktamar, sebagai tandingan PPP pimpinan Hamzah Haz yang terpilih dalam Muktamar IV PPP pada 1998.
PPP Reformasi menggelar Muktamar Luar Biasa di Jakarta pada 8-9 April 2003 dan PPP Reformasi berubah nama menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Zainuddin MZ terpilih kembali menjadi Ketua Umum hingga 2006 sekaligus menjadi calon Presiden untuk Pemilu 2004 meskipun tak terwujud.
Kalau Zainuddin keluar dari PPP dan mendirikan partai baru, sebagian kader PPP lainnya tetap "ngotot" penyelenggaraan muktamar luar biasa menyusul perolehan suara PPP di Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 yang semakin merosot tajam.
PPP menikmati "masa kejayaan" pada Pemilu 1997 pada era kepemimpinan Buya Ismail Hasan Metareum dengan meraih 25,3 juta suara dan mendapat 89 kursi atau 20,94 persen dari 425 kursi DPR-RI.
Namun pada Pemilu 1999, seiring dengan era multipartai yang mencapai 48 partai politik, PPP hanya mengantongi 11,3 juta dan mendapat 58 kursi DPR.
Sedangkan pada Pemilu 2004 pada era kepemimpinan Hamzah Haz, semakin merosot hanya meraih sekitar sembilan juta suara dan 58 kursi dari 550 kursi DPR-RI, dan makin merosot pada Pemilu 2009 pada era kepemimpinan Suryadharma Ali, yang hanya mendapat 5,5 juta suara atau 38 kursi dari 550 kursi DPR-RI.
Setelah Pemilu 2004, hampir setiap hari kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro 60 Jakarta Pusat berlangsung unjuk rasa mendesak muktamar luar biasa bahkan pada Februari 2005 berlangsung Silaturahmi Nasional pada Februari 2005 yang juga digerakkan oleh Suryadharma Ali (menyusul kekalahannya pada Muktamar PPP 2004) tidak mampu berubah menjadi ajang muktamar luar biasa.
Muktamar baru bisa berlangsung di Jakarta pada 2007 dan Suryadharma Ali terpilih sebagai Ketua Umum DPP PPP periode 2007-2011.
Begitu pula setelah Pemilu 2009, giliran kepemimpinan Suryadharma Ali yang digoyang oleh kader-kadernya yang mendesak penyelenggaraan muktamar luar biasa.
Bahkan Aliansi Sayap PPP pada April 2009 menduduki kantor DPP PPP. Mereka terdiri atas Gerakan Pemuda Kabah, Generasi Muda Pembangunan Indonesia, Angkatan Muda Kabah, dan Generasi Muda Islam serta didukung fungsionaris partai lainnya menuntut segera diselenggarakan muktamar luar biasa untuk mengganti Suryadharma.
Tuntutan muktamar luar biasa PPP tak pernah terwujud bahkan Suryadharma terpilih lagi pada Muktamar VIII PPP di Bandung 4-6 Juli 2011 mengalahkan calon lain seperti Ahmad Muqowam dan Ahmad Yani.
Partai Golkar merupakan partai yang bersih dan tak pernah menggelar munas luar biasa.
Kader-kader partai beringin ini lebih memilih membentuk partai baru setelah gagal terpilih dalam munas atau tidak cocok dengan kepemimpinan di Partai Golkar.
Sebut saja Wiranto yang mendirikan Partai Hanura bahkan sebagian kader, anggota, dan simpatisan Partai Demokrat pernah berkiprah di Partai Golkar.
Suksesi kepemimpinan di Partai Golkar tergolong mulus dari Djuhartono (1964-1969), Suprapto Sukowati (1969-1973), Amir Moertono (1973-1983), Sudharmono (1983-1988), Wahono (1988-1993), Harmoko (1993-1998), Akbar Tandjung (1998-2004), Jusuf Kalla (2004-2009), dan Aburizal Bakrie yang terpilih dalam Munas VIII Partai Golkar di Pekanbaru pada Oktober 2009.
Namun yang cukup fenomenal dari Partai Golkar adalah kasus Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Surya Paloh yang kalah bersaing dalam perebutan posisi Ketua Umum Partai Golkar pada Munas 2009 kini memimpin Partai NasDem dan sama-sama akan bersaing dalam perolehan suara rakyat pada Pemilu 2014.
Lebih menarik lagi, Aburizal Bakrie telah menjadi calon presiden dari partainya dan Surya Paloh juga siap mencalonkan diri sebagai presiden bila perolehan suara Partai Nasdem signifikan.
Dinamika masing-masing partai politik tentu saja berbeda tetapi benang merah yang dapat diambil adalah bahwa KLB belum tentu menyelesaikan masalah. Membentuk partai baru justru dapat menyelesaikan masalah.
Untuk persatuan
Berbeda dengan KLB Partai Demokrat ini. Partai yang tahun ini berusia 12 tahun itu masih berkutat untuk menyelesaikan kisruh internal melalui penyelenggaraan KLB.
Banyak yang menyebut bahwa Partai Demokrat yang didirikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono ini dalam keadaan darurat dan terpaksa untuk diatasi melalui KLB setelah ditinggal nakhoda Anas Urbaningrum yang berhenti dari jabatan ketua umum pada tanggal 23 Februari lalu.
Menyusul penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan tersangkut masalah korupsi dalam kasus Hambalang.
"Partai Demokrat saat ini sedang mengalami krisis sehingga perlu pemulihan untuk kembali normal dalam menghadapi Pemilu 2014," kata Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Nurhayati Assegaf.
Periode kepemimpinan Anas selama 23 Mei 2010 sampai 23 Februari 2013 meninggalkan retak-retak perpecahan pada partai berwarna biru itu.
Kondisinya amat berbeda ketika Ketua Umum Partai Demokrat dipegang oleh Subur Budhisantoso pada tahun 2001--2005 dan Hadi Utomo pada tahun 2005--2010 yang relatif solid dan membuat Yudhoyono sebagai pendiri dan pengendali utama partai itu tenang.
Yudhoyono tampaknya mesti membereskan kondisi internal di partainya agar keretakan tak makin melebar menjadi perpecahan terbuka. Simbol dia sebagai pemersatu di partainya kini dibutuhkan.
Nurhayati mengingatkan figur yang mampu memulihkan Partai Demokrat hingga kembali normal adalah Ketua Dewan Pembina/Ketua Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono. Yudhoyono sangat tepat menjalankan tugas juga sebagai ketua umum.
"Oleh karena itu, saya ingatkan kader yang lain untuk tidak maju sebagai ketua umum. Ini KLB bukan kongres biasa sehingga tidak perlu pertarungan antarcalon," katanya.
Semua kader berharap Yudhoyono bisa membangun kembali Partai Demokrat, meningkatkan elektabilitas, dan memenangi Pemilu 2014, kata Nurhayati.
Bila demikian adanya, ketergantungan Partai Demokrat kepada figur Susilo Bambang Yudhoyono tetap kuat dan KLB berjalan mulus. Langit pun membiru berhias bintang mercy seperti lambang Partai Demokrat.
Sebagai partai baru yang bersaing dengan 23 partai lain, Partai Demokrat dalam kepesertaan pertama kali pada pemungutan suara Pemilu anggota legislatif pada 5 April 2004 langsung menempati posisi kelima dengan perolehan suara sebanyak 8.455.225 suara atau 7,45 persen dari 113.462.414 suara sah dan mendapat 57 kursi dari 550 kursi di DPR-RI.
Partai Demokrat hanya kalah "jam terbang" dari Partai Golkar yang pada Pemilu 2004 bertengger di puncak dengan mengantongi 24,48 juta suara (21,58 persen) dan menempati 128 kursi DPR, PDI Perjuangan 21,02 juta suara (18,53) dan 109 kursi DPR, Partai Kebangkitan Bangsa 11,98 juta (10,57 persen) dan 52 kursi, dan Partai Persatuan Pembangunan yang meraih 9,24 juta suara (8,15 persen) dan 58 kursi DPR.
Namun pada Pemilu Presiden 5 Juli 2004 (putaran pertama), figur Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla mampu menarik 36.070.622 suara rakyat pemilih atau 33,58 persen dari 107.403.020 suara sah.
Pasangan itu mengalahkan pasangan Presiden Megawati Soekarnoputeri yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan yang berpasangan dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi yang mengantongi 28,18 juta suara (26,24 persen).
Karena tidak berhasil memperoleh 50 persen suara plus satu, pasangan itu kembali bersaing pada putaran kedua, sedangkan tiga pasangan calon presiden/wakil presiden lainnya yakni Wiranto dan Salahuddin Wahid, Amien Rais dan Siswono Yudohusodo, serta pasangan Hamzah Haz dan Agum Gumelar gugur.
Pada Pemilu Presiden tahap kedua, 20 September 2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2004-2009 dengan mengantongi 69.266.350 atau 60,62 persen dari 114.256.054 suara sah sedangkan Megawati dan Hasyim Muzadi hanya meraih 44.990.704 suara atau 39,38 persen.
Partai Demokrati menikmati masa kejayaan pada Pemilu 2009 karena berada pada peringkat pertama dalam perolehan suara pemilih pada Pemilu legislatif 9 April 2009 dan Pemilu Presiden pada 8 Juli 2009.
Partai Demokrat secara fantastis unggul di antara 44 partai peserta Pemilu anggota legislatif 2009 dengan mengantongi 21.703.137 suara atau 20,85 persen dari 104.099.785 suara sah dan menguasai 150 kursi dari 560 kursi di DPR-RI.
Partai Demokrat disebut fantastis karena hasil Pemilu 2009 jauh lebih baik daripada hasil Pemilu 2004 dan menggeser pesaing-pesaing utamanya yang lebih berpengalaman dalam Pemilu.
Partai Golkar hanya mampu meraih 15,03 juta suara (14,45 persen) dan 107 kursi DPR, PDI Perjuangan 14,60 juta suara (14,03 persen) dan 95 kursi DPR, Partai Keadilan Sejahtera 8,20 juta suara (7,88 persen) dan 57 kursi DPR, dan Partai Amanat Nasional 6,25 juta suara (6,01 persen) dan 43 kursi DPR.
Lebih fantastis, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono pun memenangkan Pemilu Presiden 8 Juli 2009, hanya dalam satu putaran, dengan meraih 73.874.562 suara atau 60,80 persen dari 121.504.481 suara sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputeri dan Prabowo Subianto mengantongi 32.548.105 suara atau 26,79 persen, dan pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto hanya mendapat 15.081.814 suara atau 12,41 persen.
Pemilu Presiden 2009 hanya berlangsung satu putaran karena pasangan Yudhoyono dan Boediono berhasil meraih lebih dari 50 persen suara dan menang di 29 provinsi dari 33 provinsi sehingga melampaui batas yang dipersyaratkan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bahwa calon yang terpilih adalah yang selain meraih lebih dari 50 persen suara juga menang di lebih 20 provinsi.
Yudhoyono sudah berusaha memberikan yang terbaik buat partainya, diri dan keluarganya, bahkan untuk negeri ini.