Oleh Dahono Fitrianto
KOMPAS.com - Dalam wawancara dengan majalah Rolling Stone (2008), vokalis band rock Coldplay asal Inggris, Chris Martin, mengatakan, warga seluruh dunia harusnya dilibatkan dalam setiap pemilihan presiden Amerika Serikat. Pasalnya, kebijakan presiden AS secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada kehidupan semua orang di planet ini.
Martin tentu saja bukan seorang pakar politik, tetapi kegelisahannya itu mewakili kegelisahan banyak orang. Bisa dikatakan, tak ada tempat di dunia ini yang luput dari sentuhan pengaruh Amerika Serikat, satu-satunya negara adidaya yang masih tersisa di dunia.
Itu sebabnya, proses pemilihan presiden AS, seperti yang sedang berlangsung saat ini, selalu menarik untuk diikuti. Dunia perlu tahu sosok seperti apa yang kira-kira akan menjadi presiden AS, dan kebijakan luar negeri apa yang akan ia ambil, yang akan berdampak bagi warga dunia.
Tahun ini, mata dunia terpusat pada enam kandidat calon presiden (capres) yang masih tersisa dari Partai Republik. Salah satu dari mereka akan menjadi penantang Barack Obama dalam pemilu presiden AS, November nanti. Siapa tahu, sang penantang akan menggantikan Obama memimpin AS selama empat tahun ke depan.
Lalu, seperti apa pemikiran para kandidat republiken itu tentang dunia dewasa ini, dan kebijakan apa saja yang akan mereka ambil? Jawaban pertanyaan ini, sayangnya, tak terlalu menjanjikan masa depan yang menyenangkan bagi dunia.
Leslie H Gelb, Presiden Emeritus Council on Foreign Relations (CFR), mengatakan, seluruh kandidat capres Republik, kecuali Ron Paul dan Jon Huntsman, terkesan tak mengikuti perkembangan dunia akhir- akhir ini, terutama terkait fakta bahwa kekuatan ekonomi saat ini lebih penting dalam percaturan dunia daripada kekuatan militer semata.
"Para serigala republiken itu masih berteriak-teriak soal dunia yang telah berlalu, yang penuh dengan ancaman militer, (atau) dunia yang dihuni hantu-hantu global yang harus ditumpas dengan perang atau (teknik penyiksaan) waterboarding," tulis Gelb dalam kolomnya di The Daily Beast, 27 November tahun lalu.
Haus perang
Salah satu kandidat, mantan senator Rick Santorum, yang selalu tampil sebagai orang saleh dan taat beragama saat kampanye, tak ragu-ragu menegaskan ia akan mengebom Iran untuk menghentikan program nuklir negara itu. "Kadang kala, para ilmuwan yang bekerja untuk program nuklir Iran ditemukan telah mati. Saya rasa itu hal yang bagus," kata Santorum dalam pidato kampanye, Oktober 2011, seperti dikutip ABC News.
Dua calon lain—yakni mantan Gubernur Massachusetts Mitt Romney dan mantan Ketua DPR AS Newt Gingrich—juga terang-terangan mendukung perang terhadap Iran. Dalam pidato kampanyenya, November lalu, Romney bahkan mengatakan, jika Obama terpilih kembali, Iran dipastikan akan memiliki senjata nuklir.
"Ini adalah contoh pernyataan penuh kecurigaan yang pernah membawa kita pada perang di Irak, menggunakan taktik menakut-nakuti dan kebijakan-kebijakan sok jagoan untuk memicu keterlibatan di luar negeri yang tak perlu dan berbiaya besar," tulis Julia Bunting, peneliti di kelompok antiperang Citizens for Global Solutions, dalam artikel di globalsolutions.org.
Dalam beberapa hal, pernyataan para kandidat mencerminkan pengetahuan minim atau kurangnya pemahaman tentang suatu permasalahan di luar negeri. Gingrich, misalnya, menuai kemarahan para pejabat Palestina setelah menyebut bangsa Palestina adalah "bangsa rekaan" yang tak punya hak apa pun di tanah bangsa Israel.
"Ingat, tak pernah ada negara Palestina. Mereka dulunya bagian dari Kekaisaran Ottoman. Dan menurut saya, bangsa Palestina itu bangsa rekaan. Mereka aslinya orang Arab, dan secara historis selalu menjadi bagian dari komunitas Arab," kata Gingrich saat diwawancara kanal televisi Jewish Channel, 9 Desember.
Dukungan membuta
Gingrich juga mengatakan, begitu ia menjadi presiden, ia akan mengeluarkan perintah eksekutif untuk memindahkan kantor Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, kota yang menjadi salah satu pusat konflik Palestina-Israel.
Secara umum, para kandidat partai konservatif ini menunjukkan dukungan membuta terhadap Israel dan cenderung mengabaikan kompleksitas masalah Timur Tengah. Romney, yang sampai kini masih menjadi kandidat terkuat, terang-terangan menunjukkan dukungannya kepada Israel dengan berjanji akan menjadikan Israel tujuan kunjungan luar negeri pertamanya apabila ia kelak jadi presiden.
Dalam kolomnya di surat kabar online The Huffington Post, Presiden Arab American Institute James Zogby mengatakan, pernyataan-pernyataan berbahaya dan memalukan dari para kandidat capres Republik itu menunjukkan betapa Partai Republik saat ini telah begitu menjauh dari kebijakan luar negeri berbasis realitas seperti era duet Presiden George HW Bush (Bush senior) dan Menteri Luar Negeri James Baker awal 1990-an.
"Sungguh menakutkan untuk membayangkan ke mana mereka akan membawa kebijakan Timur Tengah-AS jika salah satu dari mereka terpilih nanti," ujar Zogby.
Lalu, bagaimana mereka memandang Asia?
Memandang Asia
Secara umum, para kandidat ini tak setuju dan berjanji akan mengubah setiap kebijakan Presiden Obama, termasuk keputusannya memusatkan perhatian ke kawasan Asia Pasifik. "Presiden Obama sepertinya berpikir kita akan memasuki abad global, abad Asia. Saya yakin kita harus memasuki abad Amerika," tukas Romney.
Dalam soal China, para kandidat juga berlomba-lomba mengeluarkan pernyataan keras. Romney berjanji akan langsung mengeluarkan perintah untuk menyatakan China sebagai "manipulator mata uang" begitu ia jadi presiden.
Gubernur Texas Rick Perry bahkan meramalkan nasib pemerintahan komunis China akan sama dengan Uni Soviet. "Saya kebetulan berpikir, pemerintah komunis China akan berakhir di tumpukan abu sejarah," ucap Perry.
Direktur Studi Asia CFR Elizabeth C Economy mencatat omong besar Perry itu tak sesuai praktik di lapangan. Sebagai Gubernur Texas, Perry mengizinkan perusahaan telekomunikasi asal China, Huawei, membuka kantor di Plano, Texas.
Padahal, pemerintah federal AS sudah tiga kali menolak masuknya raksasa industri telekomunikasi China itu ke AS dengan alasan keamanan terkait usaha spionase dan hubungan Huawei dengan Tentara Pembebasan Rakyat China.
Cheng Li, peneliti senior di Brookings Institution, memperingatkan pernyataan-pernyataan keras para calon pemimpin AS itu terhadap China bisa jadi bumerang. "Retorika semacam itu bisa dimanfaatkan oleh kelompok nasionalis dan sayap konservatif di pemerintahan China. Dan memperkuat kelompok garis keras seperti itu bisa berujung pada lebih dari sekadar ketegangan ekonomi, tetapi juga konfrontasi militer," tegas Cheng kepada The New York Times, November lalu.
Para kandidat ini memang selalu menjauh dari bayang-bayang pendahulu mereka, Presiden George W Bush, selama menjalankan kampanyenya. Namun, menurut Gelb, sejatinya mereka masih mengusung pola pikir yang sama dengan trio George W Bush-Dick Cheney-Donald Rumsfeld yang telah membuat AS terjebak dalam dua perang, terbelit utang dan krisis keuangan, dan menjadi negara bercitra buruk di mata dunia.
Akankah era Bush yunior tersebut terulang di tangan para republiken ini?
Full content generated by Get Full RSS.