Amr Moussa (ANTARA/REUTERS)
Saya datang untuk bergabung memperjuangkan kemakmuran rakyat dan mengakhiri 30 tahun rezim korup
Berita Terkait
Video Terkait
Kairo (ANTARA News) - Di tengah prahara politik yang terjadi sekarang, masyarakat Mesir kini ramai membicarakan siapa yang bakal menggantikan Presiden Hosni Mubarak.
Jika Mubarak mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya pada September 2011, maka sudah pasti Wakil Presiden Omar Suleiman menjabat presiden transisi untuk menyiapkan pemilu legislatif baru, sekaligus pemilihan presiden definitif.
Berikut analisis mengenai beberapa tokoh Mesir yang berpotensi menggantikan Mubarak sebagai presiden pilihan rakyat.
Amr Moussa
Kehadiran Dr. Amr Moussa di Lapangan Tahrir pada Jumat (4/2) dielu-elukan sebagai bakal presiden oleh kalangan pendukung pro-demokrasi.
Moussa tampaknya menggunakan momentum itu untuk mengenalkan diri kepada jutaan pendukung pro-demokrasi yang menunaikan salat Jumat bersama di Lapangan Tahrir.
"Sebagai warga negara yang baik, tentu saja saya siap mengemban amanat rakyat untuk membangun negara ini jika diminta," kata tokoh berusia 74 tahun itu.
Posisi politiknya yang tidak terafiliasi kepada partai politik mana pun, membuat Moussa yang kini menjabat Sekretaris Jenderal Liga Arab itu bisa diterima semua kalangan rakyat.
Lagi pula sejauh ini dan selama demonstrasi pro-demokrasi selama hampir dua pekan ini, pernyataan-pernyataan Moussa pun cukup seimbang dan mendapat simpati banyak kalangan.
"Kendati Moussa dekat dengan Presiden Mubarak, tapi ia juga tidak kehilangan muka di kalangan pro-demokrasi," kata analis politik Osama Sayed.
Menurut Sayed, sebagian besar pendukung pro-demokrasi yang umumnya pemuda terpelajar tidak terafiliasi kepada partai politik tertentu sehingga mereka bebas memilih pemimpin dambaannya.
Pengamat sosial dan politik, Leila Makram menilai Moussa cukup akomodatif dalam menjembatani pihak pro-status quo dan pro-demokrasi.
Selain diterima masyarakat Mesir, ujar Leila, mantan menteri luar negeri Mesir itu diterima pula negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.
Jebolan Universitas Kairo itu telah malang melintang mengemban misi diplomasi Mesir.
Karir politik putra kelahiran Kairo pada 3 Oktober 1936 itu pun cemerlang. Pernah menjabat menteri luar negeri selama tahun sepuluh tahun dari 1991-2001, mantan Duta Besar Mesir untuk Swiss dan PBB di New York, dan dua kali terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Liga Arab --organisai regional beranggotakan 22 negara-- sejak 2001 hingga sekarang.
Mohamed ElBaradei
Seperti Moussa, Dr. Mohamed ElBaradei juga muncul di Lapangan Tahrir awal pekan ini dan dielu-elukan sebagai presiden dambaan.
Mantan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) itu menjadi ikon perlawanan terhadap rezim Mubarak.
Maret tahun silam, tokoh berusia 69 tahun itu dipinang untuk menjadi calon presiden oleh Ikhwanul Muslimin, oposisi utama Mesir.
Pilihan Ikhwanul Muslimin atas Elbaradei itu untuk menghimpun simpati massa pemilih, namun ternyata hanya meraih dua kursi dalam pemilihan parlemen pada November lalu yang dituding penuh kecurangan.
ElBaradei yang bermukim di Wina baru tiba di Kairo Kamis (27/1), sehari menjelang "Jumatul Ghadab (Revolusi Jumat) yang menewaskan lebih 100 orang.
"Ini merupakan saat yang amat kritis dalam kehidupan politik Mesir. Saya datang untuk bergabung memperjuangkan kemakmuran rakyat dan mengakhiri 30 tahun rezim korup," kata peraih Hadiah Nobel Perdamaian pada 2005 itu.
Beberapa kalangan Mesir memang meminta ElBaradei kembali ke negaranya dalam upaya menyatukan faksi-faksi oposisi yang lemah untuk menciptakan perubahan ke arah demokrasi.
Kendati demikian, kehadiran mantan diplomat karir di kancah politik Mesir ini dipertanyakan beberapa kalangan di dalam negeri.
"Ia banyak tinggal di luar negeri dan tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat, bagaimana mungkin memecahkan persoalan masyarakat yang kompleks?" tulis pemimpin redaksi suratkabar Al Ahram, Osama Saraya.
Penilaian senada diutarakan pakar nuklir Mesir, Mohamed El-Mashaay.
"Pengalaman politik dia amat minim sehingga sulit untuk memimpin masyarakat yang lebih luas," ujarnya dalam wawancara dengan jaringan televisi Al-Arabiya.
Selain itu, kalangan lobi Yahudi di AS dikabarkan tidak menyenangi ElBaradei karena saat memimpin IAEA dia kerap mengkritik Israel menyangkut senjata Nuklir.
Akibat sikap kerasnya terhadap Israel, ElBaradei sempat dihambat pemerintah AS di masa Presiden George W.Bush untuk posisi Direktur Jenderal IAEA.
Mantan Dubes Israel untuk Mesir, Eli Shaked menyatakan kekhawatirannya atas kepemimpinan Mesir pasca-Mubarak di bawah Elbaradei yang diusung Ikhwanul Muslimin.
"ElBaradei memang tokoh internasional pluralis, tapi sangat mungkin ia dipengaruhi Ikhwanul Muslimin terkait hubungan diplomatik Mesir-Israel dan perjanjian perdamaian kedua negara," kata Shaked kepada CNN.
Ayman Nour
Tokoh muda berusia 47 tahun dan bernama lengkap Ayman Abd El Aziz Nourini ini baru muncul di ranah politik lima tahun silam dan kehadirannya membuat gerah partai berkuasa, Partai Nasional Demokrat (NDP).
Mantan pengacara kelahiran 5 Desember 1964 ini dikenal sebagai pendobrak utama tembok kokoh politik rezim Mubarak.
Ayman mencuri perhatian dunia ketika pada 2005 ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah atas tuduhan memalsukan dokumen saat mendirikan Partai Al-Ghad (partai masa depan).
Penangkapan itu menimbulkan reaksi keras dari kalangan internasional termasuk AS dan PBB.
Menlu AS ketika itu Condolizza Rice dan Sekjen PBB Kofi Annan secara khusus bertemu Mubarak untuk pembebasan Ayman Nour.
Sayangnya, Ayman tidak banyak punya pengaruh di masyarakat, termasuk anak mudanya.
Partai Ghad dianggap sebagai partai gurem karena pengurusnya hanya mencakup keluarga dan teman.
Gamila Ismail, istri Ayman Nour saat ini menjabat Wakil Ketua Partai Ghad.
Selain ketiga tokoh tersebut, ada beberapa tokoh lagi seperti Omar Suleiman yang kini menjabat Wakil Presiden dan juga Gamal Mubarak, putra sulung Presiden Mubarak.
Sebelum prahara politik melanda Mesir, Gamal Mubarak menempati posisi teratas sebagai calon penggati Mubarak.
Namun setelah krisis, banyak pengamat menilai kans Gamal dan Suleiman tidak bakal meraih simpati massa pemilih karena mereka dianggap cermin rezim Mubarak dan bagian dari masa lalu.
ANT/M043
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © 2011
Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com