JAKARTA – Lobi-lobi terus dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Hillary Clinton untuk menggolkan Resolusi 1973 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).
Selama enam hari yang krusial di bulan Maret, Hillary mulai terbiasa hidup di atas pesawatnya. Dalam kurun waktu tersebut Ibu dari Chelsea Clinton ini sudah menempuh jarak terbang sejauh 20 ribu mil, melalui rute Washington-Paris-Kairo-Tunis-Washington-Paris-Washington.
Pada 14 dan 15 Maret, Hillary melakukan pertemuan dengan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy. Saat itu Sarkozy sudah tidak sabar untuk menyerang Khadafi. Setelah menerima pencerahan dari Mahmoud Jibril yang dianggap sebagai pemimpin oposisi Libya, yang ia temui di Paris bersama Sarkozy, AS melalui Hillary akhirnya menetapkan sikap.
Hillary pun menyetujui keterlibatan Negeri Paman Sam di Libya dengan catatan mendapatkan dukungan dari PBB. Namun setelah melihat rekaman video dari kebrutalan rezim Khadafi di mata Barat, yang ia tonton di Kedutaan Besar AS di Paris, makin menguatkan hati Hillary untuk mendukung serangan atas Libya.
Hubungan pribadi Hillary dengan Sarkozy yang memang dikenal akrab, makin mempermudah jalan pembentukan koalisi tersebut. Keduanya memang dekat, pada 2010 lalu, Sarkozy membantu Hillary memasang sepatunya yang lepas saat menaiki tangga dari Istana Elysee. Sejak saat itu keduanya amat mudah melakukan pembicaraan bilateral antara kedua negara.
Dari Paris, pada 15 Maret Hillary menyempatkan diri untuk singgah di Kairo, Mesir. Disana ia ditunggu oleh para pemuda yang marah karena memberikan dukungan kepada Mubarak. Selama di Kairo politisi senior Partai Demokrat ini berbicara banyak mengenai pembangunan demokrasi. Dirinya pun sempat mampir ke Tunisia pada 17 Maret sebelum akhirnya kembali ke Washington pada 18 Maret.
Tidak lama bagi Hillary untuk tetap berada di Washington, dirinya pun kembali terbang ke Paris, Prancis pada 19 Maret pada pukul 6 pagi waktu setempat. Di Paris, Hillary kembali bekerja keras untuk mengumpulkan dukungan dari para sekutu-sekutu lain.
Disaat bersamaan pengerahan "aksi militer" sebuah istilah yang digunakan untuk menggantikan kata "perang", dianggap mulai salah arah. Hillary tidak mendapatkan pemberitahuan dari Sarkozy sebelumnya, bahwa pesawat Prancis sudah berkeliaran di wilayah udara Libya.
Dalam konferensi pers di Paris, Hillary membentuk opini bahwa pihak lain selain Amerika Serikat yang memimpin operasi militer di Libya. Dirinya berada di dalam pesawat pulang menuju Washington pada 19 Maret sore waktu Prancis, dunia pun mulai menyadari bahwa inti dari serangan yang dilakukan memang dipusatkan oleh AS. Dibuktikan dari 112 peluru kendali yang dilesakan ke Libya di hari itu pula.
Segera setelah rudal tersebut dilesakan, Hillary pun melakukan perjalanan ke London, Inggris 10 hari setelah kepulangannya dari Paris. Di London, Hillary mengatur kampanye militer yang akan dilaksanakan di Libya dan menyerahkannya kepada North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Seperti yang terjadi kini, NATO pun mengambil alih operasi militer di Libya hingga detik ini pula. Serangan udara pasukan koalisi pun terus menyerang di Tripoli khususnya instalasi militer Libya. Korban pun terus bertambah, dengan pihak oposisi masih belum mampu meraih kemenangan besar atas pasukan Khadafi.
Meski pihak oposisi masih terus bertahan di Benghazi dan Misrata, belum ada tanda-tanda kejatuhan dari Rezim Khadafi yang sudah berjalan selama 41 tahun. Hingga saat ini Khadafi masih terus menantang pasukan koalisi NATO dan menolak untuk keluar dari negaranya sendiri. (faj)(ahm)
Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.