REPUBLIKA.CO.ID, GUYANA--Dr Sabeel Ahmed seolah tak percaya dengan yang dilihatnya. Ketika menuju hotel setiba dari bandara, direktur GainPeace Project itu menyaksikan banyak sekali masjid di sepanjang jalan yang dilalui. Adzan bergema dari tiap masjid itu.
Jamaah pria dengan kopiahnya, maupun jamaah wanita yang berjilbab, tampak bersemangat hendak melaksanakan ibadah shalat fardhu. Sejenak dia berpikir, apakah dirinya sedang di Pakistan, atau di negara di Timur Tengah?
Pada kenyataannya, Dr Sabeel berada di Guyana. Sebagian masyarakat dunia mungkin belum mengenal Guyana, namun yang jelas, di negara ini umat Muslim bukan merupakan mayoritas.
Mengutip laman wikipedia, Guyana adalah negara kecil di pesisir utara Amerika Selatan. Luasnya sekitar 214 ribu meter persegi. Populasi penduduk kurang dari satu juta jiwa, tepatnya 777 ribu jiwa pada tahun 2006.
Tapi, di sinilah, agama Islam menemukan momentumnya. Bahkan termasuk yang paling pesat perkembangannya di kawasan. Salah satu indikator adalah jumlah masjid yang cukup banyak di negeri itu.
Seperti dicatat Organisasi Islam Pusat Guyana (CIOG), terdapat sekitar 145 unit masjid. Sarana ibadah itu tersebar di seluruh penjuru negara. Padahal komunitas Muslim sendiri mencakup sekitar 7 persen dari populasi.
Lebih lanjut Dr Sabeel melukiskan kehidupan keagamaan umat Muslim di Guyana. Beberapa waktu lalu, Dr Sabeel berkesempatan berkunjung ke negara yang bertetangga dengan Brazil ini, untuk kegiatan dakwah dan presentasi mengenai agama Islam.
Dirinya merasakan kegairahan beragama di kalangan umat. Setiap acara yang dihadiri Dr Sabeel, senantiasa disambut antusias warga Muslim. Mereka seolah haus akan syiar dan bimbingan agama.
Sejak beberapa tahun terakhir, Umat Muslim setempat mengekspresikan semangat itu pada sebuah kegiatan besar, bertajuk Festival Islam. Acara berlangsung sepekan penuh, dilakukan di kota-kota besar, sampai ke desa. Beragam aktivitas keagamaan digelar, juga mengundang tokoh-tokoh Muslim dari luar negeri. "Islam sedang menuju era baru di kawasan Amerika Selatan,'' kata Dr Sabeel lagi.
Pada festival yang kini rutin diselenggarakan setiap tahun, pesan dan informasi tentang Islam disebarluaskan. Tausiyah mengisi relung jiwa, baik di kota, desa, jalan-jalan, sekolah, hingga kampus. Melalui televisi dan media lain, kalangan di luar Islam bisa turut memberi perhatian.
''Saya telah melakukan sebanyak 24 presentasi dan dakwah, juga berbicara di lima stasiun televisi,'' kata Dr Sabeel bangga, dalam tulisannya berjudul /Islam Spreading Fast in South America/.
Menurutnya, umat Muslim Guyana mamandang ajaran Islam sebagai pegangan kehidupan. Itu dijalankan secara nyata. Islam menjadi solusi dari setiap permasalahan. Selain juga acuan dalam membina kerukunan dan toleransi antaragama.
Hal itu dialami langsung oleh Dr Sabeel. ''Seusai saya menyampaikan presentasi tentang Islam, seorang peserta non Muslim berdiri, dan berkata ingin mengikuti anjuran Rasulullah SAW dalam menjaga kesehatan,'' ungkapnya.
Kebetulan, saat itu dia menguraikan aspek kesehatan tuntunan Nabi, termasuk bisa mencegah obesitas atau kegemukan. Dengan hubungan yang sangat cair semacam itu, tak heran, jarang terjadi konflik atau gesekan di tingkat komunal karena dipicu perbedaan keyakinan.
Warga non Muslim menghormati warga Muslim, begitu pula sebaliknya. ''Kesalahpahaman terhadap Islam sangat sedikit, tidak seperti di negara lain,'' sambung dia.
Dialog antara Muslim dan non Muslim terus diintensifkan. Akhirnya muncul simpati. Cukup banyak kaum non Muslim memilih beralih agama dan memeluk Islam. Mengetahui itu, pada setiap presentasi, Dr Sabeel pun berusaha mengajak umat non Muslim bersedia menjadi Muslim.
Gayung bersambut, sejumlah orang, antara lain penganut Hindu maupun Nasrani, usia tua dan muda, tertarik memelajari Islam. Fenomena itu sudah berlangsung lama, tidak sedikit kaum non Muslim memutuskan menjadi mualaf.
Mereka menemukan kebenaran dalam Islam, juga kedamaian melalui ajarannya. Puluhan bahkan ratusan orang tercatat telah menyatakan keislamannya, hal ini tentu patut diapresiasi.
Raymond Chickrie dalam tulisannya berjudul /Muslim in Guyana, The South Asian Connection/ memberikan pernyataan senada. Islam memang sedang tumbuh dengan pesat di Guyana, maupun negara-negara lain di wilayah tersebut.
Sepanjang kegairahan itu berlangsung, muncul keinginan dari masyarakat Muslim untuk mempelajari bahasa Arab. Karena itu semakin banyak lembaga pendidikan agama menyediakan sarana pelatihan bahasa ini. Dengan bahasa Arab memudahkan pemahaman terhadap kitab suci Alquran dan hadis.
Kemajuan Islam di Guyana, dan kawasan Amerika Latin, membanggakan Profesor Zahid Bukhari, ketua Islamic Circle of North America. Dia melihat sejumlah indikator yang dapat terus mendukung geliat itu saat ini dan di masa mendatang.
Menurutnya, komunitas Islam di negara tersebut sudah mencapai generasi keempat dan kelima. Dan mereka tetap mengamalkan ajaran Islam maupun menimba pengetahuan agama. Di samping itu, kian banyak kaum non Muslim yang terketuk hatinya dan memilih memeluk Islam.
Kondisi tersebut memberinya harapan. Meski begitu diakuinya perjuangan umat untuk menjaga nilai-nilai Islam di kehidupan bernegara sangat berat. Mengingat maraknya kecurigaan terhadap umat. Namun kendala ini dapat diatasi bersama.
Bukan hanya di Guyana, melainkan di negara lain di dunia, Prof Zahid menekankan pentingnya memperkuat dialog. Dari situ, toleransi dan saling pengertian terwujud. ''Perspektif ini hendaknya mendasari hubungan antarumat agama,'' tegasnya.
Setidaknya ada lima hal yang penting dilakukan umat Muslim guna mempertahankan identitas dan keimanan. Antara lain, mendirikan rumah ibadah, menjaga nilai-nilai Islam dari generasi ke generasi, jangan melupakan tradisi asal.
Di samping itu terus mengikuti perkembangan terkini dan isu-isu keumatan, maupun mengukuhkan peran di masyarakat. Akademisi dari Universitas Georgetown ini menegaskan dengan meletakkan kelima hal tadi sebagai acuan dalam membina kehidupan, umat akan mampu mengarungi setiap tantangan zaman.