Kementrian Kerja Sama Pembangunan Belanda telah mengalokasikan 850.000 euro atau setara Rp 10.2 miliar) untuk Rawagede (sekarang Balongsari). Namun sampai kini, tidak ada buktinya. Ke mana dana itu disalurkan?
Pada awal 2009 Bert Koenders, waktu itu menjabat sebagai Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda, mengalokasikan 850.000 euro untuk Balongsari, (atau dulu desa Rawagede).
Menurut Radio Nederland, Selasa (13/9/2011), dana ini tidak boleh disebut ganti rugi atau kompensasi untuk pembunuhan massal yang dilakukan tentara Belanda pada 1947 di Rawagede. Karena jika dana itu disebut ganti rugi atau kompensasi, itu berarti Belanda mengakui kesalahan mereka, hal yang ditolak negara kincir angin ini selama hampir 64 tahun. Jadi, sebutlah itu bagian dari dana kerja sama pembangunan, dan tidak hanya untuk Rawagede, tetapi juga untuk wilayah sekitarnya.
Dari 850.000 euro itu rencananya akan dibangun sebuah sekolah dan pasar di Rawagede. Dan rumah sakit di Balongsari juga akan diperbesar.
Dua setengah tahun kemudian, masih belum ada rencana yang terwujud. Di pinggir desa terhampar sawah seluas satu hektar, menunggu untuk dibangun SMK. Rancangannya, menurut otoritas setempat, sudah selesai. Mereka tinggal menunggu dana turun.
Jika dana turun, sekolah akan langsung dibangun, kata Sukarman, ketua yayasan lokal yang sebelumnya pernah membangun sekolah di Rawagede. Sekolah yang dibagun yayasannya berdiri di seberang sawah, dan sekarang punya delapan ratus siswa. "Sekolah itu kami bangun dalam waktu tiga bulan. Bank Dunia memberikan uang kepada yayasan kami, dan semua langsung kami urus," kata Sukarman kepada Radio Nederland.
Depdagri
Nyatanya, prosesnya sangat berbeda dengan uang Belanda. Dana Belanda bukan untuk Rawagede. Bahkan bukan untuk Karawang, kabupaten yang menaungi Rawagede. Dana kerja sama pembangunan tersebut diberikan ke Kementrian Dalam Negeri di Jakarta. Merekalah yang akan memutuskan siapa yang boleh membangun sekolah, dan kapan.
Menurut Radio Nederland, Belanda punya MOU, semacam perjanjian, dengan Kemendagri Indonesia. Sebagian kecil dana akan ditransfer bulan Desember mendatang. Otoritas setempat sama sekali belum dihubungi Jakarta dan sama sekali tidak jelas apakah dan kapan proyek ini akan dimulai.
Kedutaan Besar Belanda di Jakarta membela diri. Birokrasi yang berbelit-belit ini harus ditempuh atas alasan "ketelitian". Proyek ini harus "berkesinambungan" dan karena itulah sejak awal harus didiskusikan dengan semua pihak dengan seksama. Dan "ketelitian butuh waktu," kata wakil duta besar Belanda Annemieke Ruigrok. Menurutnya "kementrian dalam negeri sibuk menyelesaikan rincian terakhir." Apa artinya, tidak jelas.
Yang jelas, tidak ada "perundingan" terjadi. Walau rencana pemerintah setempat sudah selesai sejak dua tahun lalu, kementrian sama sekali belum menghubungi mereka.
Tidak semua dana dari menteri Koenders ada di Jakarta. 254.500 euro disalurkan ke yayasan Belanda Hivos, yang mempergunakan dana tersebut untuk kredit mikro di Rawagede. Ratusan orang di desa, dan ratusan lain di desa sekitar, memanfaatkan pinjaman tersebut. Total 106.533 euro telah dikeluarkan. Dari keseluruhan dana Koenders, cuma itulah yang benar-benar sampai ke rakyat.
Hivos mendirikan koperasi yang sekarang memiliki 1247 anggota. Mereka juga mengalokasikan sekitar 50.000 euro untuk toko organik yang dikelola koperasi tersebut. Tokonya belum ada, ketua koperasi Riyadi mengakui. Sampai sekarang koperasi hanya berbisnis tabung gas. Selain itu 50.000 euro yang mereka terima juga digunakan untuk "biaya operasional" koperasi dan gaji karyawan.
Radio Nederland menanyakan masalah ini kepada Harry van Bommel, anggota parlemen Belanda dari partai sosialis SP, yang berkunjung ke Rawagede tahun 2009, bersama Menteri Luar Negeri Belanda ketika itu, Maxime Verhagen. "Dana sudah disediakan. Bahwa dana itu belum dipakai, merupakan masalah. Masalah ini pertama dirasakan masyarakat setempat, karena mereka dijanjikan pelbagai fasilitas, yang hingga sekarang belum ada. Pemerintah Belanda harus menghubungi pihak kedubes Belanda di Jakarta, atau di tingkat bilateral, menghubungi kementerian luar negeri Indonesia, untuk menanyakan seberapa cepat masalah ini bisa diatasi."