Genap 3 bulan sudah kami berada di Jalur Gaza, merintis program yang menurut kami akan menguatkan silaturahim antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Palestina di Gaza. Ya, kami berharap Rumah Sakit bernama RS Indonesia yang dibangun dari sumbangan masyarakat Indonesia bisa menjadi prasasti abadi yang bercerita tentang dukungan Indonesia untuk Palestina yang masih terbelenggu dari kemerdekaannya.
Masih ada ganjalan sebelum kepulangan kami. Beberapa surat-surat penting belum kami terima. Kami hanya berpegang pada janji pihak-pihak yang menyetujui usulan program ini. Dalam dunia bantuan kemanusiaan di tengah kondisi peperangan dan perpolitikan yang terus berputar, janji akan jauh lebih bermakna setelah disegel di atas selembar kertas.
Di sisi lain, kehadiran tim berikut untuk meneruskan tugas kami di Gaza masih belum ada kejelasan. Pemerintahan Mesir masih belum mengeluarkan visa bagi tim insinyur yang akan meneruskan pembangunan rumah sakit di Gaza.
Sementara, sisi perbatasan Mesir-Palestina seakan tidak bisa berkompromi. Sistem buka tutup yang mereka berlakukan menghambat pergerakan masuk relawan dan barang menuju Gaza. Hanya hari-hari tertentu yang sulit diprediksi mereka mau membuka gerbangnya, bahkan untuk keluar orang sakit yang membutuhkan perawatan lanjut di luar Gaza.
Jadilah selama seminggu terakhir kami berkeliling menyambangi kenalan-kenalan kami yang membantu seluruh kerja kemanusiaan kami selama di Gaza. Tidak banyak memang, tapi adanya pekerjaan dan sulitnya bepergian di malam hari sedikit membatasi aktivitas tersebut. Beberapa yang tidak bisa didatangi hanya bisa kami telepon untuk mengabari rencana kepulangan kami.
Sudah bisa ditebak, keramahtamahan mereka sebagai orang Arab lagi-lagi "merepotkan" kami karena hampir seluruhnya mengundang untuk hadir makan siang atau malam di rumahnya. Beberapa yang gencar mendesak tak kuasa kami tolak, sisanya dengan puluhan kata maaf tidak bisa kami penuhi undangannya.
Termasuk juga dengan Acting Minister of Health, Dr. Bassim Naim. Pertemuan langsung dengan beliau selain penting untuk menjaga silaturahim juga perlu untuk mengetahui pendapat pribadi beliau tentang bantuan yang selama ini mengalir dari rakyat Indonesia.
Tidak sembarang orang yang bisa bertemu langsung dengan beliau. Bukan dalam artian birokrasi yang pelik, namun kesibukan beliau di kantor dan luar kantor menyulitkan untuk menemui beliau setiap hari di kantornya. Bukan rahasia lagi jika hampir seluruh petinggi pemerintahan di Jalur Gaza adalah orang-orang pergerakan. Jadi kesempatan langka untuk berdiskusi dengan beliau terlalu berharga untuk dilewatkan.
Di akhir pertemuan, beliau mengundang kami untuk ikut dalam rihlah (acara santai, jalan-jalan) ke pantai keesokan harinya (kamis,30/4). Untuk yang satu ini, kami merasa kurang sopan jika menolaknya.
Adu Bola dengan Menkes Gaza
Keesokan harinya, kami pun berangkat menuju lokasi yang sudah disepakati. Rupanya, hari itu adalah hari jalan-jalan nasional karena seluruh aktivitas belajar dan kantoran libur. Di pantai yang kami tuju, sudah terlihat ratusan orang hadir dengan tujuan yang sama.
Satu demi satu anggota rombongan kami hadir, hingga akhirnya genap setelah Dr. Bassim tiba beserta asistennya.
Acara diawali dengan sholat dhuhur berjamaah selanjutnya langsung acara inti, makan siang. Tanpa banyak acara sampingan karena di kelompok kami hanya hadir bapak-bapak dan anak lelaki mereka. Lebih mirip pesta bujang.
"Arief, kamu makan dengan saya, ya!" ujar Dr. Bassim saat nampan-nampan didatangkan ke hadapan kami. Ya, kebiasaan di sini untuk makan bersama. Satu nampan bisa dihabiskan oleh 2-3 orang. Buat kami orang Indonesia, satu nampan untuk 4 orang pun masih kebanyakan. Bersama saya ikut bergabung Dr. Hassan, ahli bedah digestif. Keahliannya melakukan laparotomi sudah terkenal di seluruh Gaza. Perbicangan kami saat makan berputar di kondisi pendidikan kedokteran, perpolitikan, hingga pergerakan islam. Saya hanya menjawab sebisanya, apalagi persoalan aktivitas pergerakan. Maklum, saya tergolong pasivis bukan aktivis.
Selesai makan, tantangan itu datang lagi. Kali ini main bola. Hah? Siang bolong, di pasir tebal main bola? Saya sendiri tidak jago main bola, postur saya yang kurus tidak mendukung untuk berlarian menggiring bola. Tapi, lebih dari itu, saya adalah penonton bola yang baik bukan pemain bola yang baik. Tapi, nampaknya kali ini saya harus "berjuang" demi Indonesia. Masak jauh-jauh dari Indonesia main bola aja nggak bisa, begitu pikir saya.
Mulai lah pertandingan 5 on 5 itu. Tanpa wasit tanpa waktu. Saya sendiri bergabung bersama kelompok anak-anak yang akan bertanding melawan bapaknya, termasuk Dr. Bassim juga. Mentang-mentang postur saya kecil, saya digabung satu tim dengan anak-anak. Tapi oke sajalah. Yang penting happy, bukan masalah menang atau kalah.
Sepuluh menit panas yang menyengat membuat kepala saya nyut-nyutan. Saya keluar untuk mendinginkan badan sambil minum. Saat itu skor masih 0 - 0. Nampaknya semua pemain lebih suka menunggu di depan gawang daripada menggiring bola di atas pasir putih yang tebal itu. Beratnya bukan main.
Saat saya masuk, giliran Dr. Bassim keluar lapangan. Kali ini beliau merasa cukup, tidak masuk ke lapangan lagi. Pertandingan berjalan kacau dan skor berakhir 4 - 2 untuk kemenangan tim kami. Saya cukup bangga bisa bertahan hingga selesai dan mengusir beberapa kali ancaman ke gawang. Maklum, saya cuma bek saja.
Keluar dari Gaza
Hari Selasa (2/5), akhirnya kami pulang ke Tanah Air. Tak disangka, surat yang tadinya kami pikir hanya akan dikirim via email ternyata bisa kami pegang sendiri untuk dibawa pulang. Perasaan bahagia lebih membuncah dalam hati kami karena paling tidak surat yang otentik lebih bermakna daripada scan via email.
Kami menuju ke perbatasan Rafah difasilitasi oleh Kantor Ministry of Health. Tidak hanya sekedar mengantar, tetapi pihak mereka juga mengatur dan menghubungi petugas imigrasi di perbatasan agar siap di tempat. Kami serasa pejabat penting dalam perjalanan dinas. Dan memang benar, dua kali check point sebelum mencapai pintu perbatasan, kata sakti "dokter dari Indonesia" seakan menghipnotis penjaga keamanan untuk mempercepat perjalanan kami.
Sesampai di Ruang Tunggu pun demikian, beberapa petugas menyambut kami, membantu membawa barang kami (barang Abdillah lebih ribet karena dia bawa pohon Tin dan Zaitun) menuju ke ruangan. Duduk pun dipilih sofa terbagus, lalu paspor kami diminta dan tak sampai sepuluh menit dengan jabat tangan, ucapan terima kasih atas kehadiran dan bantuannya, juga doa semoga bisa datang kembali ke Gaza, kami dilepas menuju perbatasan Mesir. That's it? Ga pake macem-macem? Alhamdulillah, lalu kami menuju salah satu mobil yang tersedia bergerak menuju perbatasan Mesir.
Di bangunan seberang, petugas pertama yang menyambut kami adalah pria berseragam tentara. Tidak ada salam, tidak ada senyuman. Barang kami diminta dilewatkan ke mesin pemindai, selanjutnya seorang dokter menanyai kami apakah sedang demam atau mengalami keluhan lain. Oh, saya mafhum. Di mesir pun sedang dilanda kepanikan Flu Babi. Well, kami sehat-sehat saja untungnya.
Keluar dari mesin pemindai, salah satu ransel punggung saya diminta untuk dibongkar. Rupanya kabel-kabel charger untuk kamera digital dan perekam video mencurigakan mereka. Tapi ada lagi yang lebih mereka cari karena walau sudah saya jelaskan mereka tetap membongkar tas saya hingga semua isinya berantakan.
Aha, rupanya mereka melihat silica gel untuk mengurangi kelembaban udara dari mesin pemindai. Mungkin disangkanya spesimen mesiu atau sejenisnya. Lagi saya jelaskan dalam bahasa inggris kegunaan silica gel tersebut. Sudah hampir tamat saya menerangkan, ternyata mereka nggak paham bahasa Inggris.
Dan interogasi itu tidak berhenti di situ. Kami sendiri sudah mengantisipasinya. Laporan dari anggota tim sebelumnya tentang kondisi imigrasi Mesir sudah memberikan bayangan dalam benak kami. Yang luput dari persiapan adalah ternyata petugas di sana entah menolak entah tidak bisa, tidak mau berkomunkasi dalam bahasa Inggris.
Jadilah Abdillah tarik urat leher menjelaskan alasan keberadaan kami di Gaza, kenapa sampai tiga bulan padahal visa cuma 2 bulan, ngapain aja di dalam, tinggal dimana, ketemu siapa saja. Untung saja tidak ditanya apakah nikah lagi di Gaza sana?
Harus diakui dan diberikan apresiasi, perjuangan teman satu tim saya, Abdillah, untuk menterjemahkan kepentingan kami hingga tiga bulan kepada petugas imigrasi tersebut. Betul-betul menguras energi. Saya sampai bilang bahwa kami tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Arab pasaran, lebih baik menggunakan Arab Ammiyah, akan lebih baik lagi dengan bahasa Inggris. Namun rupanya mereka lebih memilih bahasa mereka sendiri.
Dan proses interogasi itu tidak sekali jalan, namun datang dan pergi. Ketika mereka merasa mentok, kami disuruh keluar dari ruang. Selanjutnya dipanggil lagi untuk ditanyai, terkadang pertanyaannya out of context, seperti ngobrol biasa.
Setelah dua jam menunggu, kami dipanggil lagi. Petugas tersebut menanyakan apakah kami sudah punya tiket untuk pulang. Kami jawab ya, tapi harus reschedulle karena jadwal berubah. Oke katanya, kami diperbolehkan melintas tapi harus menandatangani ikrar bahwa kami hanya berada di tanah mesir selama 3 hari (72 jam) sejak tanda tangan. Apa? Saya minta seminggu karena kuatir tidak dapat seat pesawat dalam 3 hari ke depan. Dia pun tetap menolak. Kami pun menyerah, berdoa saja tiket memang ada. Setelah tanda tangan, paspor kami pun dicap oleh imigrasi. Kali ini dengan keterangan tulisan tangan transit pulang ke negaranya, maksimal 72 jam (tulisan arab).
Keuntungannya, kami tidak perlu membuat visa on arrival. Biaya yang kami keluarkan hanya untuk biaya kedatangan sebesar 38 pon mesir.
Tapi jam sudah menunjukkan lima sore. Taksi pun tinggal satu. Tanpa pilihan lain, dengan 350 pon mesir (sekitar 700 ribu rupiah) kami menuju Kairo.
Catatan perjalanan
dr. Arief Rachman
Ketua tim relawan ke-2 MER-C untuk Palestina
Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas relawan 'AlamSemesta'.
AlamSemesta Institute didukung oleh Mer-C.
Rekening Donasi MER-C untuk pembangunan RS Indonesia di Gaza: BCA, 686.0153678