BANDA ACEH, KOMPAS.com — Komisi Independen Pemilihan Aceh, Selasa (17/4/2012), akhirnya menetapkan Zaini Abdullah, mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka, sebagai calon gubernur Aceh terpilih untuk periode 2012-2017. Zaini yang menggandeng Muzakir Manaf yang juga mantan Panglima GAM meraih suara signifikan, yaitu 55,78 persen dalam Pilkada Aceh.
Di tangan bekas pucuk pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itulah nasib Aceh lima tahun ke depan dipertaruhkan. Bagi Zaini, ini tentu sebuah pencapaian politik tersendiri setelah periode konflik RI-GAM yang memaksanya harus empat tahun hidup di hutan, dan 30 tahun menghabiskan waktu di pengasingan di luar negeri.
Dokter Zaini, begitulah dia biasa dipanggil, harus menyelesaikan masalah-masalah mendasar di Aceh yang kompleks. Perdamaian yang rapuh, kemiskinan, dan korupsi adalah serentetan persoalan di Aceh yang sampai saat ini belum terselesaikan.
Nah, apa rencana Zaini dalam masa kepemimpinannya di Aceh lima tahun ke depan? Berikut petikan wawancara Kompas dengan pria kelahiran Pidie, 72 tahun silam itu, Selasa lalu di Banda Aceh.
Bagaimana perasaaan Anda setelah ditetapkan sebagai gubernur terpilih oleh KIP (Komisi Independen Pemilihan) Aceh?
Saya berterima kasih kepada keputusan yang dibuat KIP. Dan kami mengucap syukur alhamdulillah, demikian pula kepada seluruh masyarakat Aceh yang telah memercayai saya untuk memegang pucuk pimpinan di Aceh. Tak lupa juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait, tim sukses, dan media yang tak kenal lelah dalam memberikan informasi melalui media.
Saya tentu senang dan terharu sekali dengan keputusan tersebut walaupun ini telah kami dapat dari hasil-hasil survei LSI pada malam itu.
Pada tahun pertama, apa yang akan Anda lakukan?
Pada tahun-tahun pertama kepemimpinan kami ini, prioritas kebijakan yang akan kami lakukan adalah terus menjaga perdamaian yang hakiki dan menyeluruh bagi seluruh rakyat Aceh.
Kemudian, kami juga memprioritaskan masalah perekonomian rakyat, termasuk di dalamnya masalah kesehatan, pendidikan, pertanian, tata kelola pemerintahan, dan konsolidasi regulasi, dan lain sebagainya. Sesuai visi dan misi yang telah kami tetapkan.
Sesuai yang kami sampaikan kepada masyarakat di dalam kampanye, kami juga akan mengurangi faktor-faktor kemiskinan. Kemudian juga masalah pengangguran. Jadi, tujuan utama kami adalah masyarakat menengah ke bawah agar ada peningkatan perekonomian mereka. Perbaikan hasil petani, pekebun, dan nelayan, serta untuk rakyat kecil korban konflik dan tsunami, yang mengalami kemiskinan, yang sebagian besar angkanya ada di pedesaan, juga sebagian di perkotaan
Konkretnya?
Kami tentu akan mengadakan perbaikan pada struktur dan administrasi dan cara kerja. Ini APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) kami fokuskan. Kenapa di Aceh ini ada begitu banyak uang, dari hibah-hibah, tetapi kemiskinan justru terjadi di Aceh.
Kemudian, kami juga akan lihat hasil bumi di Aceh. Ada demikian banyak hasil bumi di Aceh, tetapi rakyat kecil dalam keadaan miskin. Ini yang akan kami lihat, di mana letak kesalahan tersebut.
Kesalahan itu ada di mana?
Tepatnya tak bisa saya katakan di sini. Mungkin nanti saat sudah bekerja, kami akan mengetahui di mana letak kesalahan. Demikian pula pada sisi manajemen, yaang semestinya mereka berjalan menurut apa yang diprogramkan partai.
Kemudian, faktor-faktor meningkatnya korupsi, ini juga suatu hambatan sehingga tak bisa dicapai sesuai semestinya.
Angka korupsi di Aceh tinggi, apa yang akan dilakukan?
Tujuan kami nanti setelah pelantikan, kami akan membina good governance dan clean government, juga ditambah dengan disiplin. Itu yang harus ditancapkan sebagai momen yang harus dikejar. Semua harus bekerja secara disiplin. Dengan demikian, mereka yang bekerja bertanggung jawab dari awal hingga selesai.
Langkah kongkret membangun pemerintahan yang bersih?
Itu tak bisa serta merta. Berilah waktu. Ini secara bertahap saya kira, dan bergantung taraf mana dan di mana terjadinya keadaan tersebut. Sejak semula kami mengatakan bahwa pemerintahan ini akan kami pimpin, dan tujuannya adalah mengurangi itu semua dan dihapus, serta menurunkan korupsi.
Persoalan di Aceh adalah tingginya proporsi anggaran di Aceh untuk belanja rutin dan gaji pegawai. Birokrasi gemuk. Apakah akan ada reformasi birokrasi?
Yang saya lihat, seperti saat saya lama di luar negeri, kami akan mencoba memperbaiki birokrasi yang ada di Aceh. Kami akan mencoba mempermudah sistem birokrasi di Aceh. Karena seperti yang kami lihat sekarang, untuk mendapatkan izin lama sekali dan mesti harus dilicinkan dengan uang, bersalaman di bawah meja. Sesuatu yang tak seharusnya ada. Jika tidak dihapuskan akan gagal.
Ini sistem yang harus kami tegaskan, kami daerah syariah. Jangan hanya lips servic syariah. Akan tetapi, dilaksanakan ajaran Islam itu. Kami akan adakan diskusi, ikut sertakan semua pihak, termasuk soal-soal akidah, pendidikan, ekonomi, kami nanti akan pilah-pilah, siapa saja yang mempunyai kemahiran.
Proporsi anggaran pembangunan kecil, apa yang akan Bapak lakukan?
Itulah sebabnya saya heran. Saya dengar bahwa semua ingin menjadi PNS. Apa pun mereka korbankan. Jual tanah untuk menjadi PNS. Itu sayang sekali. PNS itukan bukan segala-galanya. Tak menjadi PNS seakan-akan hilang kepercayaan diri mereka. Ini yang kami coba alihkan dengan cara mengikutrsertakan swasta. Pendidikan menjadi sangat penting.
Dengan mencoba mengalihkan ini, dengan mengutamakan pendidikan yang cepat dan profesional, seperti pendidikan kejuruan. Dengan demikian, mereka yang tamat langsung bisa bekerja membidangi tentang apa yang sudah mereka pelajari. Percaya pada diri sendiri dan mampu mengelola bidang yang dipelajari sehingga mereka akan berdiri di atas kaki sendiri.
Ini perlu bantuan-bantuan perbaikan irigasi, pemberdayaan nelayan, juga penting sekali diadakan dalam jangka waktu pendek adalah koperasi untuk menampung hasil perkebunan, persawahan, dan perikanan. Dengan demikian, mereka membeli produk petani dengan harga yang pantas. Selama ini, kan, mereka menjual kepada cukong-cukong, yang menjualnya ke Medan dengan harga murah dan menjualnya kembali ke Aceh dengan harga tinggi. Yang rugi rakyat Aceh sendiri.
MOU Helsinki belum tecermin secara keseluruhan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, apa yang akan dilakukan nanti?
Ini termasuk di dalam visi dan misi kami, di mana untuk melanjutkan perdamaian yang ada supaya merata. Itu poin-poin yang harus diterapkan dalam UUPA.
Kami sadari bahwa masih banyak poin-poin MOU yang belum diwujudkan oleh gubernur terdahulu, misalnya Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2005 yang menyangkut implementasi MOU kepada pihak-pihak terkait, salah satunya kepada gubernur, yaitu mempersiapkan undang-undang untuk pemerintahan Aceh, dan hal ini sudah ditatkan UU Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA), selanjutnya masalah batas wilayah Aceh, simbol, himne, lambang, bendera, dan Lembaga Wali Nanggroe, tetapi hal ini belum terlaksana sampai sekarang, di samping beberapa hal lain yang belum terakomondasi dalam UUPA, dan ini semua akan dibentuk tim untuk menyisir kembali hal-hal yang belum terakomodasi tersebut.
Perlu proses dan lobi-lobi ke pusat untuk dapat mewujudkan implementasi MOU Helsinki secara total karena tindak lanjutnya mau tidak mau harus berupa undang-undang. Nah, apa yang akan dilakukan nanti?
Itu sudah kami lakukan, kami sudah adakan diskusi dan konsolidasi dengan pemerintah pusat. Kami sudah menjalankan hal-hal tersebut. Akan tetapi, realisasinya belum tampak seperti yang diharapkan. Namun, belakangan, dengan telah kembalinya pihak CMI (Crisis Management Initiative) untuk meneruskan kerja mereka walaupun kali ini bukan sebagai mediator, tetapi pemantau. Kami sudah bertemu beberapa kali dengan mereka. Ini hal-hal yang kami bicarakan dengan hal-hal yang semestinya dibicarakan dengan pemerintah pusat.
Jadi, saya kira kami sudah ada kata yang sepakat untuk itu. Jika tak ada hal-hal lain, ini akan tercapai. Ini juga salah satu poin di dalam komitmen bersama antara Partai Aceh dengan Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Otda. Itu sebabnya pada waktu itu kami tak ingin mendaftar sebagai calon.
Dua kali kami bertemu, pertama Oktober, dan kedua Desember. Yang sudah kami setujui bersama ada 4 hal, yaitu pilkada ditunda, ada penjabat gubernur, diterima putusan MK, dan yang keempat lain kali tak boleh ada pemangkasan atas pasal-pasal dalam UU Pemerintahan Aceh, serta poin-poin dalam MOU Helsinki harus diimplementasikan.
Dalam beberapa perundingan, Aceh dikhianati pemerintah pusat, apakah ada keyakinan untuk dapat mendorong terimplementasikannya MOU Helsinki?
Saya kira sudah menjadi bagian dari upaya konsolidasi dan komunikasi dengan pemerintah pusat. Di sini saya fokuskan kepada tiga perkara, yaitu keikhlasan, ketulusan, dan keterbukaan. Ini kunci tercapaiannya keadilan. Ini yang menjadi masalah di masa lalu sehingga rakyat Aceh memberontak, dan terakhir kejadian ini. Ini yang kami tunggu dari pemerintah pusat. Sekarang kami damai, damai setelah 30 tahun konflik. Itu harganya darah, nyawa, dan air mata.
Di samping itu, juga ada faktor-faktor lain, seperti kemiskinan, banyak janda-janda, banyak warga kehilangan harta, rumah, dan tak tahu harus ke mana. Jadi, itu yang menjadi pokok persoalan. Kedua belah pihak, tak hanya mereka saja, kami juga. Kami sudah curahkan hati kami berdamai di bawah NKRI. Tuntutan merdeka sudah kami kesampingkan. Sekarang apa yang kami bina adalah apa yang sesuai dengan MOU, perdamaian di bawah NKRI. Jadi, dengan demikian faktor-faktor lain yang bisa mengganggu perdamaian dapat kami buat diskusi face to face, lobi, dan lain sebagiannya. Insya Allah akan berjalan baik, dengan keterbukaan dan kerja sama dengan pemerintah pusat.
Soal Pilkada Aceh
Akan ada luka politik setelah pilkada yang panjang dan penuh kekerasn di Aceh ini, apa yang akan Anda lakukan?
Saya kira kami akan melibatkan semua pihak, berdiskusi dengan semua pihak, di mana sebenarnya persoalan ini, apa sebabnya. Dengan demikian kami kembalikan apa sebenarnya tujuan kami hidup di Aceh. Tak lain pikiran mereka adalah untuk menyejahterakan rakyat Aceh.
Dengan menjadikan ini sebagai tujuan kami, maka saya yakin semua dari kami akan bekerja keras tanpa mementingkan tujuan pribadi dan kelompok, hanya rakyat Aceh. Mereka sudah cukup lama menderita akibat konflik, berulang-ulang. Ini harus diakhiri.
Jelang pilkada, GAM terpecah, akan ada rekonsiliasi politik?
Tak ada perpecahan. Semua yang ada, siapa saja yang terlibat di situ melaksanakan apa yang menjadi amanat dari organisasi. Akan tetapi, apa yang terjadi jauh dari itu. Mereka yang dulu menjalankan pemerintahan waktu itu, bukan sebagai yang punya prinsip yang sama. Saya sebagai salah seorang pucuk pimpinan dan lama berkecimpung di dalam gerakan GAM sejak 1977, kami mendapatkan tempaan yang betul-betul.
Saya berkorban meninggalkan segala hal yang saya punyai, kalau saya berpikir pribadi sebagai dokter zaini, saya pikir sudah cukup, tak perlu lagi yang lain. Akan tetapi, sekarang rakyat Aceh membutuhkan, saya pun terpanggil.
Sejak muda, saya tinggal di pegunungan 4 tahun, setelah itu harus tinggal di luar negeri. Di luar negeri. saya juga harus memperkenalkan gerakan Aceh ke seluruh dunia, yang alhamdulillah kami dapat berkat arahan dari almarhum. Bersama Wali Mahmud.
Tentunya, kami sebagai orang yang dididik demikian, paham bagaimana menjadi manusia-manusia yang idealis. Adapun yang lain menjadi pihak-pihak pragmatis, mereka datang belakangan. Mereka mungkin baru datang setelah tahun 1998. Mereka bukan dengan fitrah. Mereka tidak sama. Kalau mereka sama tentu akan menggunakan amanat partai.
Mereka hanya menggunakan baju. Akan tetapi, mereka tetap anak-anak kami, rekan-rekan kami, bekerjalah sesuai dengan amanat yang ada. Jangankan konsultasi, jumpa pun tidak pernah. Namun, bagi kami tak ada waktu untuk melihat perubahan-perubahan, yang kami utamakan adalah persatuan rakyat Aceh. Itu yang kami sampaikan dalam kampanye.
Bagaimana jika Irwandi kembali?
Saya kira bukan hanya Irwandi, semua masyarakat terbuka untuk dapat berkecimpung. Ini kepemimpinan tak bisa hanya dipegang Zaini-Muzakir, semua pihak dilibatkan. Mungkin ada pemeriuntah bayangan misalnya, itu contoh. Duduklah orang-orang yang mempunyai keahlian, seperti think tank. Jadi nanti kebersamaan dalam membesarkan sesuatu yang perlu untuk Aceh, itu perlu.
Apakah orang-orang Partai Aceh saja nantinya yang menikmati pembangunan?
Saya kira kami telah berulang kali memberikan informasi kepada rakyat Aceh. Dulu kami GAM, berubah menjadi KPA (Komite Peralihan Aceh), dan dibolehkan buat partai lokal. Nah, partai lokal ini hasil terakhir dari perjuangan yang begitu lama. Dari semula kami berjuang, kalau tak ada rakyat Aceh kami tak bisa hidup.
Kami ini hanya pion, mengikuti gerakan yang dipimpin Hasan Tiro. Pion agar perubahan di Aceh terjadi. Perubahan yang waktu itu kami pandang tak ada jalan lain kecuali berperang. Jadi bukan untuk memisahkan, tidak ada itu. Jadi untuk mendapatkan suatu tujuan perubahan.
Karena itulah, partai Aceh ini untuk rakyat Aceh. Partai Aceh bukan hanya untuk kombatan, tetapi juga seluruh rakyat Aceh. Kami datang ke Bener Meriah, Aceh Selatan, bukan hanya orang Aceh ada orang Jawa, China. Tanggung jawab yang sama.
Soal NKRI
Bagaimana komitmen Zaini-Muzakir terhadap NKRI?
Manyangkut dengan komitmen kami terhadap NKRI sebenarnya apa yang telah tercantum dalam konsideran MOU Helsinki, dan juga dengan lahirnya UUPA, telah memperkuat argumentasi bahwa Aceh merupakan bagian dari NKRI dalam Konstitusi Indonesia.
Apakah Zaini-Muzakir siap untuk terbuka dan transparan dalam masa pemerintahannya ke depan?
Ya, dan salah satu misi kami adalah keterbukaan dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan amanah
Ada 3 jenderal purnawirawan dalam tubuh timses Zaini-Muzakir, apakah mereka kepanjangan tangan dari kekuatan-kekuatan politik di Jakarta?
Bagi kami kehadiran tiga mantan jenderal itu adalah dalam rangka memperkuat komitmen terhadap perdamaian Aceh.
Apakah ada deal politik dengan partai-partai politik di Jakarta terkait kemenangan PA dalam pilkada ini?
Mereka terpanggil untuk memperkuat perdamaian yang sudah tercipta di Aceh.
Pada Pemilu tahun 2009, PA dekat dengan Partai Demokrat dan SBY, bagaimana dengan tahun 2014 nanti?
Pada prinsipnya kami selalu terbuka dan ingin bekerja sama dengan semua pihak, apalagi dengan Pak Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan instrumental dalam usaha perdamaian Aceh.
Sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur Aceh yang diusung oleh Partai Aceh, yang notabene adalah partai yang didirikan para eksponen GAM, bagaimana langkah Zaini-Muzakir nanti untuk meneruskan garis perjuangan GAM?
GAM telah berubah menjadi Partai Politik Lokal (Partai Aceh). PA akan melanjutkan perdamaian berdasarkan MOU Helsinki dan UUPA dalam konstitusi Indonesia.
Bagaimana dengan masa depan syariah Islam di Aceh?
Bagi kami, persoalan Syariat Islam bukanlah hal baru, karena hal ini telah ada, jauh sebelum kita mengenal istilah itu sekarang. Menurut kami, istilah syariat Islam mulai dikembangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), waktu itu yang kemudian dikeluarkannya UU No 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh.
Salah satunya menyangkut dengan Agama, dan peran MPU, selanjutnya dipertegas dalam UU No 18 Tahun 2001 tentang Otsus Aceh. Namun, jauh dari istilah itu, kami sangat konsen dalam hal ini, yang jelas masalah ini menjadi fokus kami untuk melihat Aceh yang lebih baik, khususnya Aceh yang bermartabat, sejahtera, berkeadilan, dan mandiri berlandaskan UUPA sebagai wujud MOU Helsinki.