Republika Online |
Presiden Didesak Segera Atasi Permasalahan Ahmadiyah Posted: 08 Feb 2011 06:19 AM PST REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Badan Pengurus Setara Institute for Democracy and Peace, Hendardi, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera bertindak mengatasi persoalan Ahmadiyah. "Kami mendesak agar Presiden SBY bertindak mengambil langkah-langkah komprehensif atas kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah yang ada di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banteng," kata Hendardi di Jakarta, Selasa (8/2). Menurut dia, presiden juga harus memerintahkan Kapolri, Jenderal Timur Pradopo, untuk memberikan jaminan keamanan kepada jemaat Ahmadiyah, menangkap dan memproses secara hukum pelaku-pelaku kekerasan serta memeriksa Kapolres Pandeglang akibat kegagalannya memberikan perlindungan dan membiarkan aksi kekerasan terjadi. Ia menegaskan, pihaknya mengecam keras aksi kekerasan yang dilakukan warga dan kelompok organisasi Islam garis keras yang terus menerus melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah. Hendardi menyebutkan, jika melihat ke belakang, semua rangkaian peristiwa terhadap jemaat Ahmadiyah dipicu oleh fatwa MUI dan provokasi Menteri Agama RI yang terus bertekad membubarkan Ahmadiyah. "Selain Fatwa MUI dan provokasi Menag. Aksi kekerasan juga terus berlanjut akibat ketundukan aparat Polri pada organisasi-organisasi Islam garis keras tanpa mau mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang melakukan aksi kekerasan," papar Hendardi. Menurut dia, pembiaran terus-menerus terhadap aksi kekerasan telah mempertebal impunitas pelaku kekerasan dan melahirkan "preseden" buruk bahwa seolah-olah tindakan apapun terhadap Ahmadiyah dapat dibenarkan. "Apapun alasannya kekerasan adalah tindakan kriminal yang harus ditindak dan diproses secara hukum," katanya. Setara Institute mencatat pada tahun 2009 terjadi 33 tindakan pelanggaran dan jumlah itu meningkat tajam pada tahun 2010 menjadi 50 tindakan pelanggaran yang menimpa jemaat Ahmadiyah. Peningkatan itu, kata Hendardi di antaranya dipicu oleh provokasi pejabat publik yang menyulut kekerasan (condoning) yang dilakukan oleh Menteri Agama RI Suryadharma Ali dan ketundukan aparat Polri pada tekanan organisasi garis keras. Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, mengatakan, kekerasan antarkelompok atas nama apa pun dan argumentasi apa pun tidak dibenarkan, sehingga kekerasan dalam bentuk apa pun harus dihentikan. "Aparat kepolisian harus menindak pelaku kekerasan dan memproses hukumnya secara adil," katanya. Menurut dia, aparat kepolisian beberapa kecolongan dengan adanya kasus kekerasan yang menimpa warga Ahmadiyah, sehingga daya endusnya tentang kemungkinan adanya kekerasan perlu ditingkatkan, sehingga ada upaya pencegahan tindakan kekerasan. "Masyarakat harus melakukan dialog dengan Ahmadiyah karena membangun kesadaran bersama membutuhkan waktu, terlebih ada perbedaan pandangan keyakinan. Ikhtiar seperti ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat," kata Anas. |
DPR Nilai KPK Setengah-setengah Tuntaskan Kasus Cek Pelawat Posted: 08 Feb 2011 06:12 AM PST REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kalangan DPR menyatakan prihatin atas langkah-langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menuntaskan kasus cek pelawat pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom. "Kami prihatin terhadap langkah-langkah KPK karena ternyata lembaga itu belum mampu menjawab tiga isu besar," ujar Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dan Pramono Anung di Jakarta, Selasa (8/2). Tiga kasus besar itu adalah penuntasan bailout Bank Century yang semakin lama kian tidak jelas. Juga kasus mafia pajak, justru ketika ditangani KPK, DPR melihat lembaga itu belum meminta data mengenai 100-an perusahaan yang diduga bermasalah pajaknya serta kasus cek pelawat Miranda Goeltom. Dalam kasus cek pelawat, Priyo menegaskan, KPK dengan kewenangannya yang besar sudah menahan para anggota DPR dan DPR tidak bisa berbuat apa-apa. "Tapi ternyata juga ada ketidak adilan ketika pemberi suap tidak bisa diungkap oleh otoritas KPK," ujarnya. Kejadian semacam ini, tambah Priyo, telah menimbulkan pertanyaan apakah KPK ceroboh dengan ketidak adilannya itu atau ada alasan-alasan yang lebih kuat dengan langkah-langkah KPK dimana publik masih harus menunggu perkembangan selanjuutnya. "KPK telah menggunakan otoritas besarnya melakukan penangkapan itu (anggota DPR) tapi jangan lakukan politisasi hukum," ujar politisi Partai Golkar itu. Secara terpisah, Pramono Anung menyatakan Nunun Nurbaiti yang turut terlibat memberikan cek pelawat kepada anggota DPR hingga kini belum diproses hukum. Karena itu ia mendesak KPK harus membuktikan apakah yang bersangkutan itu benar-benar lupa ingatan atau tidak. "Tidak mungkin ibu Nunun itu tiba-tiba menjadi pelupa. Kita tahu dulu ibu Nunun adalah satu sosialita yang selalu tampil di acara-acara yang bersifat terbuka, kok tiba-tiba menjadi pelupa," ujar Pramono. Karenanya, ia menambahkan, menjadi tugas KPK untuk menelusurinya dan tidak ada alasan bagi KPK tidak mengetahuinya mengingat institusi itu telah dibekali dnegan peralatan yang cukup lengkap. Menurut Pramono, jika KPK sungguh-sungguh mau mengejar dan menyelidiki persoalan Nunun itu, pasti dengan mudah ia ditemukan dan diketahui kondisi sesungguhnya. "Kalau orang bertanya apakah saya tahu isteri saya dimana, lalu saya jawab tida, artinya saya bohong banget. Pasti saya tahu isteri saya ada dimana," ujarnya. Pramono mengatakan bahwa publik menaruh harapan besar pada KPK untuk menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi. Persoalan korupsi di tanah air, imbuhnya benar-benar akut dan hanya bisa diselesaikan tidak dengan obat biasa. |
You are subscribed to email updates from Republika Online To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |