Ilham Bintang. (dokumen pribadi)
"Kalau mau dapat Piala Citra mesti bejalar pada suami Nani."
Berita Terkait
Jakarta (ANTARA News) - Dunia perfilman Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya. Setelah dirawat sebelas hari di EKA Hospital Bumi Serpong Damai (BSD), Banten, sutradara, penulis cerita/skenario, dan pendiri Sinematek Indonesia, Haji Misbach Jusa Biran, menghembuskan nafas terakhirnya, Rabu, 11 April 2012 pukul 07.12 WIB.
Meski telah berusia sepuh, 78 tahun, tapi tiada menyangka suami artis kawakan Nani Wijaya, secepat itu berlalu. Pak Misbach --begitu ia akrab disapa-- masuk RS, Sabtu (31/3) karena gangguan pernafasan setelah lebih sebulan mengalami batuk berkepanjangan. Hari itu keluarga memutuskan membawa ke RS karena dia semakin sulit bernafas. Berjalan tiga langkah saja sudah ngos-ngosan, cerita Nani Wijaya. Dokter mendiagnosa Misbach alami infenksi paru-paru.
Misbach lahir di Rangkasbitung, Lebak, Banten 11 September 1933. Mengawali debutnya sebagai wartawan dan penulis karya sastra, namun Misbach lebih dikenal luas sebagai orang film. Karya sastranya, yang terkenal antara lain "Bung Besar", " Keajaiban di Pasar Senen", "Oh, Film".
"Bung Besar" sarat kritik pada Bung Karno yang dimasa itu mengangkat dirinya sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Gara-gara Bung Besar, ia hampir saja celaka lantaran dimusuhi oleh pendukung Bung Karno.
"Keajaiban Pasar Senen" juga sarat satir pada orang-orang yang mengaku seniman yang ikut berkumpul dengan komunitas seniman di Pasar Senen. Di tahun 1960an komunitas Seniman Senen amat terkenal, selain Misbach, almarhum aktor Soekarno M. Noer dan wartawan muda Harmoko termasuk yang sering berkumpul di warung kopi di sudut Pasar Senen. Dalam "Oh, Film" Misbach sajikan satire tentang orang orang film.
Misbach juga menulis buku "Teknik Menulis Skenario Film Cerita". Buku terbarunya, "Kenang2an Orang Bandel", yang merupakan biografinya.
Pak Misbach mengawali kiprahnya di dunia film sebagai penulis skenario film "Saodah" yg ceritanya diangkat dari cerpen"Keroncong Kemayoran" karya Sumandjaya.
Film pertama yang disutradarainya adalah "Di balik Cahaya Gemerlapan" yang dibintangi artis Nani Wijaya. Kerja sama dengan Nani Wijaya berlanjut di dalam film "Menyusuri Djedjak Berdarah". Kerja sama berikutnya, menjadi pasangan suami istri dalam kehidupan nyata.
Misbach-Nani menikah 16 Januari 1969 di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka dikarunia enam anak dan sepuluh cucu. Salah satu puterinya, Sukma Ayu, yang juga tercatat sebagai artis muda berprestasi, telah mendahuluinya.
Tokoh film nasional lain yang istrinya juga aktris film adalah Asrul Sani. Istri Pak Asrul, Mutiara Sani, dan Nani Wijaya sering masuk dalam daftar nominasi Festival Film Indonesia (FFI). Suatu kali ketika Nani berhasil memboyong Piala Citra FFI, sedangkan Mutiara Sani tidak. Seorang wartawan meminta komentar Misbach. "Kalau mau dapat Piala Citra mesti bejalar pada suami Nani," katanya enteng, bercanda. Memang di balik sosoknya yang terkesan selalu serius, Misbach sesungguhnya memiliki selera humor yang tinggi.
Karya Misbach yang monumental adalah Sinematek Indonesia. Pusat dokumentasi film terbesar di Asia itu didirikan tahun 1975 ditopang biaya dari Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Ali Sadikin. Ia sekaligus menjadi pimpinan pertama lembaga begengsi itu.
Meskipun sudah sekian tahun tidak menjabat lagi, namun hingga akhir hayat, perhatiannya pada Sinematek Indonesia tak pernah pupus. Pak Misbach terus saja berpikir mengusahakan pendanaan Sinematek yang selalu kekurangan biaya. Ia memang identik dengan lembaga tersebut. Misbach amat kecewa karena setelah Bang Ali hampir tak ada lagi Gubernur DKI yang memberi perhatian serius pada Sinematek Indonesia, kalau tak mau dikatakan malah menelantarkan lembaga penting tersebut.
Atas pengabdiannya itulah pada tahun 2008 Misbach menerima Bintang Budaya Parama Dharma dalam bidang kebudayaan dari pemerintah. Penyematan penghargaan yang setara bintang jasa kelas utama itu dilakukan oleh Presiden Susilo Bamba ng Yudhoyono (SBY) di Istana Negara, Jakarta, 14 Agustus 2008.
Sebelum itu, Misbach sudah dua kali terima penghargaan dari Asosiasi Arsip Audiovisual Asia Tenggara (SEAVAAA) yang bermarkas di Bangkok, Thailand. Yang pertama, pada tahun 1997 ia memperoleh Lifetime Achievement Award. Kedua, Fellows SEAPAVAA tahun 2010 sebagai inspirator bagi komunitas arsip di Asia Pasifik.
Saya mengenal Pak Misbach lebih tiga puluh tahun lalu. Hubungan semakin intensif saat dia menjadi Ketua Umum organisasi karyawan film dan televisi (KFT). Di tahun 1982, di masa memangku jabatan itulah saya membongkar penjiplakan film pemenang FFI.
Saya tahu Misbach amat gusar karena heboh kasus itu bisa saja menurunkan semangat anggotanya. Namun, sebagai orang yang pernah bekerja sebagai wartawan dia dapat menghargai pendapat saya. Bahwa pengungkapan penjiplakan film justru menjadi momentum bagi KFT membersihkan diri dari perbuatan segelintir anggota yang bermental plagiator. Kesalahpahaman seperti dia tunjukkan di awal-awal, Alhamdulillah, bisa diatasi. Setelah itu kami malah semakin akrab, bersahabat.
Saya beruntung pada perjalanan selanjutnya, dalam kurun lama tetap dekat dengan Pak Misbach, dan hingga akhir hayatnya. (*)
*) Ilham Bintang adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Tabloid Cek & Ricek (C&R).
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © 2012
Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com