KOMPAS.com - Ribuan orang mengepung dan menyerang sekelompok masyarakat lain. Senjata tajam, lemparan batu, dan pembakaran rumah warga mewarnai setiap aksi main hakim sekelompok warga dalam konflik komunal.
Di sisi lain, sebagian warga yang diserang dicekam rasa takut. Gelombang pengungsi pun mengalir dan membeludak. Kepolisian terkesan menjadi tidak berdaya mencegah dan mengatasi konflik komunal.
Sebagai contoh, bentrokan antarwarga itu terjadi di Way Panji, Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Akibatnya, setidaknya sembilan orang tewas dalam peristiwa tersebut.
Ribuan warga dari sejumlah daerah di Lampung datang berbondong-bondong ke Kampung Balinuraga, Way Panji. Mereka melengkapi diri dengan senjata tajam. Aksi tersebut sebagai balas dendam atas tewasnya warga Kalianda, pada konflik sebelumnya (Kompas, 30/10).
Tidak hanya di Lampung, di Sampang, Madura, Jawa Timur, konflik komunal juga terjadi. Warga komunitas Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Kabupaten Sampang, diserang massa bersenjata tajam. Seorang warga, Hamamah (45), tewas; enam orang terluka, dan 37 rumah dibakar dalam peristiwa itu (Kompas, 27/8).
Konflik komunal, baik berlatar belakang agama, ras, akses terhadap pengelolaan sumber daya, maupun ekonomi, terus jadi tren. Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas terjadinya konflik-konflik komunal yang merenggut nyawa warga, menghancurkan aset warga lain, dan bahkan dapat kehilangan sumber penghidupan atau mata pencarian warga karena harus pindah dari tempat asal?
Aparat kepolisian yang jadi "ujung tombak" pelaku penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat memang selalu menjadi "sasaran tembak". Kepolisian diharapkan dapat mengatasi dan menangani konflik komunal atau konflik sosial bagaikan tim pemadam kebakaran.
Sayangnya, aparat kepolisian sering kali dinilai tidak berdaya atau tidak mampu dalam penanganan aksi kekerasan dan konflik sosial. Bahkan, aparat kepolisian dinilai atau terkesan membiarkan aksi-aksi kekerasan seperti itu terjadi.
Penanganan konflik komunal memang tidak sepenuhnya dapat dibebankan kepada aparat kepolisian. Dengan massa yang banyak, aparat kepolisian bisa saja tidak sepenuhnya dapat atau mampu mengatasi karena jumlah personel yang sedikit atau tidak seimbang.
Terkait konflik di Kalianda, Lampung, misalnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar pernah menjelaskan, kepolisian sebenarnya sudah berupaya menyekat atau membendung massa. Namun, massa merangsek ke lokasi melalui akses jalan lain, seperti pematang-pematang sawah.
Kepolisian sebenarnya bisa mencegah jika peka dan mampu mendeteksi potensi kerawanan konflik komunal. Apalagi konflik komunal sebenarnya tidak terjadi sesaat, tetapi terjadi eskalasi dengan tingkat potensi konflik yang seharusnya dapat dibaca atau dimonitor.
Kemampuan membaca tingkat kerawanan atau potensi konflik komunal tentu tergan- tung pada sumber daya manusia kepolisian. Karena itu, jajaran aparat kepolisian di tingkat wilayah seharusnya memiliki peta kerawanan atau peta potensi konflik komunal dan mendeteksi setiap eskalasi konflik.
Koordinator Program Pascasarjana Psikologi Perdamaian Universitas Indonesia Ichsan Malik mengatakan, untuk memiliki kemampuan mengenal potensi konflik diperlukan pengembangan kapasitas.
Kemampuan untuk mendeteksi konflik, lanjut Ichsan, harus diperhatikan pemerintah daerah, aparat kepolisian, termasuk kalangan perguruan tinggi. Ia menilai, pemda, termasuk aparat, belum memiliki pemetaan potensi konflik, yang seharusnya dilakukan di seluruh wilayah Indonesia.
Karena itu, dalam acara serah terima jabatan beberapa kapolda, Kepala Kepolisian Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo menekankan bahwa kapolda di setiap wilayah harus menguasai peta masalah, khususnya terkait potensi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
"Kapolda harus firm dan secara cepat menguasai masalah," kata Timur. Dari evaluasi selama ini, terjadi berbagai dinamika masyarakat, seperti terkait konflik pertambangan, perkebunan, dan masalah perburuhan. Jika tidak diantisipasi, potensi kerawanan dapat menimbulkan pelanggaran hukum. Ia mencontohkan kasus konflik sosial yang terjadi di Lampung Selatan.
Peran pemerintah
Meskipun sebagai "ujung tombak" penanganan konflik komunal, penanganan konflik komunal memang tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada aparat kepolisian. Peran aparat pemda sangat penting dan menentukan. Berbagai latar belakang konflik komunal sebenarnya berbasis pada persoalan di daerah yang kurang atau tidak tertangani dengan serius.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Otto Syamsuddin Ishak menilai terjadi evolusi aktor dalam kasus pelanggaran HAM. Ketika ada konflik horizontal, muncul non-state aktor, seperti organisasi kelompok separatis atau kelompok-kelompok tertentu. Muncul pula aktor lain, yaitu korporasi yang memfasilitasi pengerahan aparat keamanan. Bahkan, saat ini, muncul juga komunitas-komunitas di suatu masyarakat yang melakukan penyerbuan.
Masyarakat di tingkat lokal, kata Otto, sering kali menjadi korban pelanggaran HAM karena hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya hilang akibat kegiatan eksploitasi sumber daya alam. Masalah pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya itu sebenarnya masuk ke ranah kebijakan.
Misalnya, sejauh mana persentase APBN sudah memenuhi hak-hak ekonomi masyarakat di tingkat lokal. "Sekarang, tidak ada instrumen untuk melihat itu dan tidak ada akses kontrol," katanya. Ia mencontohkan, ketika terjadi kesepakatan bersama antara pemerintah dan investor, masalah hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak atau belum dipertimbangkan.
Karena itu, peran pemda, termasuk pemerintah pusat, menjadi penting. Kebijakan pemda, suka atau tidak suka, kadang kala ikut memberikan kontribusi terhadap potensi gangguan keamanan di daerah.