Isnin, 21 Mei 2012

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Politisi Muda Korup Akibat Pragmatisme

Posted: 21 May 2012 01:14 PM PDT

Politisi Muda Korup Akibat Pragmatisme

Ilham Khoiri | Agus Mulyadi | Senin, 21 Mei 2012 | 23:46 WIB

TRIBUN JAKARTA/HERUDIN

Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin membacakan eksepsi atau keberatan atas dakwaan pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, Rabu (7/12/2011).

TERKAIT:

JAKARTA, KOMPAS.com Sejumlah politisi muda terlibat korupsi karena terseret arus pragmatisme bahwa uang dianggap sebagai modal paling menentukan dalam mencapai tujuan politik.

"Sebagian politisi muda masuk dalam lingkaran korupsi karena tidak sabar menempuh proses untuk menuju puncak dan menganggap uang adalah modal utama. Padahal kemampuan dan integritas merupakan modal utama," kata Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Amanat Nasional (Ketua DPP PAN) Bima Arya Sugiarto saat dihubungi dari Jakarta, Senin (21/5/2012).

Bima Arya Sugiarto mengakui, ada banyak faktor lain yang mendorong terjadinya korupsi. Selain politik berbiaya tinggi, memang ada juga faktor "tradisi" fund raising (pengumpulan dana) dalam tubuh partai.

"Tokoh muda yang bersih cukup banyak, tapi biasanya menjadi minoritas dan tersingkir dari pusaran utama partai politik akibat derasnya arus pragmatisme," katanya.

Karena itu, politisi muda harus mengubah paradigma dan meyakini bahwa modal utama adalah kompetensi dan integritas. "Politisi muda harus membangun 'pagar pengaman' untuk jaga integritas dengan tetap menjaga hubungan dengan komunitas pendukung, seperti kampus, lembaga swadaya masyarakat, dan aktivis," ucap Bima.

Dia juga menekankan pentingnya reformasi sistem finansial partai yang lebih transparan, untuk menutup ruang bermain. Perlu juga audit rutin untuk semua anggota DPR dan pengurus partai, di samping pembuktian terbalik harta kekayaan, serta laporan kekayaan yang bisa diakses publik.

"Perbaiki sistem pengaderan dan promosi di partai serta perberat sangsi bagi kader yang korup. Itu harus dicantumkan dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) partai," kata Bima.

Seperti diberitakan sebelumnya, ada sejumlah politisi muda yang terjerat kasus korupsi, seperti mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin; mantan Wakil Sekjen Partai Demokrat, Angelina Sondakh; dan anggota DPR dari PAN, Wa Ode Nurhayati. Mereka dianggap mewakili politisi muda yang tersangkut kasus korupsi.

Tinjau Ulang Perjalanan Reformasi

Posted: 21 May 2012 10:07 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Empat belas tahun sudah Reformasi berjalan sejak tahun 1998, tetapi sistem demokrasi di Indonesia justru masih dirundung berbagai masalah, terutama korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

KKN baru ini bahkan lebih marak, karena dilakukan dalam jaringan lebih luas dan merata.

"Kita perlu meninjau ulang secara menyeluruh sistem demokrasi yang telah dicapai sejak reformasi sampai sekarang," kata Direktur Reform Institute, Yudi Latif, di Jakarta, Senin (21/5/2012).

Reformasi 1998 berhasil menjatuhkan pemerintahan Orde Baru, tetapi belum berhasil membangun tatanan demokrasi baru yang ideal. Saat ini bangsa Indonesia justru terjerat oleh berbagai masalah serius, KKN baru, hukum yang lemah, dan sistem ketatanegaraan yang masih tumpang tindih.

Menurut Yudi Latif, setelah otoritas rezim Orde baru runtuh, kita masuk dalam pemerintahan yang lemah, bahkan tanpa otoritas. Lewat demokratisasi dengan sistem multipartai, otoritas politik kemudian meluas dan tersebar dalam banyak lembaga, bahkan sampai ke daerah-daerah.

Demokrasi cenderung memberi tempat bagi kekuatan modal, ketimbang kekuatan kapasitas manusia, sehingga biaya politik menjadi mahal. Sementara penegakan hukum lemah.

"Kondisi itu mendorong penyelenggara negara berperilaku korup dengan jaringan korupsi yang meluas. Negara yang diharapkan mengontrol keadaan ternyata tak mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang demikian cepat," kata Yudhi.

Untuk mengatasi kondisi ini, bangsa Indonesia harus mengevaluasi seluruh institusi demokrasi kita dan menata ulangnya kembali. Kurangi lembaga kenegaraan yang tumpang-tindih, bangun partai politik secara lebih bertanggung jawab dengan melakukan penyederhanaan dan pengembangan fungsinya, serta perlu aturan dan audit arus pemasukan dan pengeluaran uang dalam partai.

"Kita harus memperbaiki sistem pemilihan yang berbiaya politik tinggi dan meninjau ulang sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung di semua daerah," ucap Yudhi.

Saat bersamaan, lanjutnya, harus mendorong penegakan hukum dengan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengontrolnya dengan lembaga-lembaga hukum dan dengan kekuatan masyarakat sipil, media, dan kekuatan internasional. Kekuasan politik harus dikontrol dengan membatasi peluang korupsi, termasuk dengan menata ulang otonomi daerah.

"Selama 14 tahun Reformasi, kita banyak melakukan dekonstruksi, tapi belum berhasil melakukan rekonstruksi. Kita perlu membuat blue print (cetak biru) langkah-langkah Reformasi sehingga dapat menjadi acuan bersama. Jangan biarkan reformasi mengalir tanpa arah," katanya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan