Jumaat, 11 Mei 2012

ANTARA - Mancanegara

ANTARA - Mancanegara


Wapres Irak jalani pemeriksaan medis di Turki

Posted: 11 May 2012 01:21 PM PDT

Wakil Presiden Irak, Tariq al-Hashemi. (reuters.com)

Berita Terkait

Ankara (ANTARA News) - Wakil Presiden Irak Tareq al-Hashemi, yang diburu dan diadili in absentia di Baghdad atas tuduhan terlibat dalam terorisme, menjalani pemeriksaan medis "rutin" di Turki, kata kantornya, Jumat.

Hashemi, yang kini menjadi buronan internasional setelah Interpol mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap dirinya, pergi dari Istanbul menuju Ankara pada Kamis untuk perawatan di sebuah rumah sakit militer, siar televisi swasta Turki NTV, lapor AFP.

Kementerian Luar Negeri Turki mengkonfirmasi bahwa wakil presiden yang diburu itu berada di Ankara namun menolak berkomentar mengenai alasan kunjungannya.

"Wakil Presiden Tareq al-Hashemi menjalani pemeriksaan medis rutin dan hasilnya normal," kata kantor Hashemi dalam sebuah pernyataan yang dipasang di situs resminya.

Hashemi terus melakukan kontak dengan para pemimpin politik Irak, kata pernyataan itu tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai pemeriksaan medis tersebut.

Hashemi, salah satu pemimpin utama Sunni Arab Irak yang berada di Turki sejak 9 April, menghadapi persidangan yang akan digelar lagi pada 15 Mei setelah dua penundaan.

Turki telah menyatakan tidak akan mengekstradisi Hashemi untuk diadili.

"Kami tidak akan mengekstradisi seseorang yang kami dukung sejak awal," kata Deputi Perdana Menteri Turki Bekir Bozdag, seperti dikutip oleh kantor berita Anatolia, Rabu.

Hashemi dan sejumlah pengawalnya menghadapi sekitar 150 kasus, termasuk tuduhan membunuh enam hakim dan pejabat-pejabat tinggi lain, kata seorang juru bicara pengadilan.

"Banyak kejahatan yang dituduhkan pada Hashemi dan pengawal-pengawalnya dan pengakuan telah diperoleh mengenai mereka, termasuk pembunuhan enam hakim, sebagian besar dari Baghdad," kata juru bicara Dewan Pengadilan Tinggi Irak Abdelsattar Bayraqdar dalam sebuah pernyataan pada 30 April.

Ia mengatakan, sekitar 13 pengawal Hashemi telah dibebaskan karena kurangnya bukti dan 73 orang masih ditahan.

Irak dilanda kekerasan yang menewaskan puluhan orang dan kemelut politik sejak pasukan AS menyelesaikan penarikan dari negara itu pada 18 Desember 2011, meninggalkan tanggung jawab keamanan kepada pasukan Irak.

Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki (Syiah) sejak Desember mengupayakan penangkapan Wakil Presiden Tareq al-Hashemi atas tuduhan terorisme dan berusaha memecat Deputi Perdana Menteri Saleh al-Mutlak. Keduanya adalah pemimpin Sunni.

Para ulama Sunni memperingatkan bahwa Maliki sedang mendorong perpecahan sektarian, dan pemrotes memadati jalan-jalan di Irak dengan membawa spanduk mendukung Hashemi dan mengecam pemerintah.

Para pejabat Irak mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Wakil Presiden Tareq al-Hashemi pada Senin (19/12) setelah mereka memperoleh pengakuan yang mengaitkannya dengan kegiatan teroris.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Irak Mayor Jendral Adel Daham mengatakan pada jumpa pers, pengakuan para tersangka yang diidentifikasi sebagai pengawal Hashemi mengaitkan wakil presiden tersebut dengan pembunuhan-pembunuhan dan serangan.

Surat perintah penangkapan itu ditandatangani oleh lima hakim, kata Daham.

Puluhan pengawal Hashemi, seorang pemimpin Sunni Arab, ditangkap dalam beberapa pekan setelah pengumuman itu, namun tidak jelas berapa orang yang kini ditahan.

Hashemi, yang membantah tuduhan tersebut, bersembunyi di wilayah otonomi Kurdi di Irak utara, dan para pemimpin Kurdi menolak menyerahkannya ke Baghdad.

Pemerintah Kurdi bahkan mengizinkan Hashemi melakukan lawatan regional ke Qatar, Arab Saudi dan Turki.

Presiden wilayah otonomi Kurdi Irak Massud Barzani menyerukan perundingan darurat untuk mencegah runtuhnya pemerintah persatuan nasional, dengan memperingatkan bahwa "keadaan sedang mengarah ke krisis yang dalam".

Barzani sendiri bersitegang dengan pemerintah Maliki dan menuduh PM Irak itu bergerak ke arah kediktatoran dengan "membunuh proses demokrasi" setelah ketua komisi pemilu Irak ditangkap atas tuduhan korupsi.

Pemimpin Kurdi itu menentang penjualan pesawat tempur F-16 AS kepada Irak bila Maliki masih menjadi PM, karena ia khawatir pesawat-pesawat itu akan digunakan untuk menyerang Kurdistan.

Irak akan menerima 24 dari 36 jet tempur F-16 yang dipesannya dari AS pada awal 2014, kata seorang pejabat tinggi Irak kepada Reuters, Minggu (29/4). (M014)

Editor: B Kunto Wibisono

COPYRIGHT © 2012

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Pasukan koalisi akui kematian sipil dalam serangan di Afghanistan

Posted: 11 May 2012 11:53 AM PDT

Kabul (ANTARA News) - Pasukan AS dan NATO di Afghanistan mengakui, Jumat, sejumlah warga sipil tewas dalam dua serangan udara terpisah, beberapa hari setelah Presiden Hamid Karzai memperingatkan bahwa insiden semacam itu bisa memperburuk hubungan dengan AS.

Sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan Pasukan Bantuan Keamanan Intenasional (ISAF) pimpinan NATO dan pasukan AS tidak memberikan penjelasan terinci mengenai bagaimana banyak warga sipil tewas dalam peristiwa itu, namun beberapa pejabat setempat menyebut jumlah kematian sipil lebih dari 20, lapor AFP.

"Koalisi bertanggung jawab penuh atas insiden-insiden tragis dan patut disesalkan ini, dan kami akan bertemu dengan anggota keluarga korban tewas atau cedera untuk mengungkapkan bela-sungkawa kami yang sungguh-sungguh," kata pernyataan itu.

Panglima ISAF Jendral John Allen akan memberikan penjelasan kepada Karzai tentang hasil penyelidikan awal atas insiden-insiden pada 5 Mei di provinsi Helmand, Afghanistan selatan, dan pada 6 Mei di provinsi Badghis, Afghanistan baratlaut.

"Presiden akan memperoleh kepastian lagi mengenai komitmen kami mengambil segala tindakan yang tepat untuk meminimalisasi kemungkinan kejadian serupa pada masa datang," kata pernyataan bersama itu.

"Jika penyelidikan kami menemukan orang-orang yang bertanggung jawab, maka tindakan yang tepat akan diambil terhadap mereka," katanya.

Minggu, Karzai memanggil Allen dan Duta Besar AS Ryan Crocker untuk memperingatkan bahwa kematian sipil akibat serangan pasukan koalisi yang memerangi Taliban mengancam perjanjian strategis yang ditandatanganinya dengan Presiden AS Barack Obama.

Presiden Hamid Karzai dan negara-negara Barat pendukungnya telah sepakat bahwa semua pasukan tempur asing akan kembali ke negara mereka pada akhir 2014, namun Barat berjanji memberikan dukungan yang berlanjut setelah masa itu dalam bentuk dana dan pelatihan bagi pasukan keamanan Afghanistan.

Pada Oktober, Taliban berjanji akan berperang sampai semua pasukan asing meninggalkan Afghanistan.

Menurut data yang disiarkan situs independen icasualties.org, 145 prajurit asing tewas di Afghanistan sepanjang tahun ini.

Gerilyawan meningkatkan serangan terhadap aparat keamanan dan juga pembunuhan terhadap politikus, termasuk yang menewaskan Ahmed Wali Karzai, adik Presiden Hamid Karzai, di Kandahar pada Juli dan utusan perdamaian Burhanuddin Rabbani di Kabul bulan September.

Konflik meningkat di Afghanistan dengan jumlah kematian sipil dan militer mencapai tingkat tertinggi tahun lalu ketika kekerasan yang dikobarkan Taliban meluas dari wilayah tradisional di selatan dan timur ke daerah-daerah barat dan utara yang dulu stabil.

Jumlah warga sipil yang tewas meningkat secara tetap dalam lima tahun terakhir, dan pada 2011 jumlah kematian sipil mencapai 3.021, menurut data PBB.

Sebanyak 711 prajurit asing tewas dalam perang di Afghanistan pada 2010, yang menjadikan kurun waktu itu sebagai tahun paling mematikan bagi pasukan asing, menurut hitungan AFP yang berdasarkan atas situs independen icasualties.org.

Jumlah kematian sipil juga meningkat, dan Kementerian Dalam Negeri Afghanistan mengumumkan bahwa 2.043 warga sipil tewas pada 2010 akibat serangan Taliban dan operasi militer yang ditujukan pada gerilyawan.

Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al Qaida Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.

Sekitar 130.000 personel Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO yang berasal dari puluhan negara berada di Afghanistan untuk membantu pemerintah Kabul memerangi pemberontakan Taliban dan sekutunya.

Sekitar 521 prajurit asing tewas sepanjang 2009, yang menjadikan tahun itu sebagai tahun mematikan bagi pasukan internasional sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan membuat dukungan publik Barat terhadap perang itu merosot.

Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.

Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer. (M014)

Editor: B Kunto Wibisono

COPYRIGHT © 2012

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Tiada ulasan:

Catat Ulasan