Sabtu, 1 Jun 2013

KOMPAS.com - Internasional

KOMPAS.com - Internasional


Mereka Bilang, Lelaki Tua Itu Bisa Kasih Makan...

Posted: 02 Jun 2013 01:43 AM PDT

  • Penulis :
  • Maria Hartiningsih
  • Minggu, 2 Juni 2013 | 08:43 WIB

Berbagai praktik keji terhadap anak perempuan terus berlangsung di balik hiruk-pikuk kemajuan yang dicapai peradaban. Salah satunya adalah praktik kawin paksa yang terus berlangsung di berbagai komunitas di dunia.

Praktik diam-diam itu menempatkan anak perempuan sebagai sandera untuk membebaskan keluarga dari kemiskinan atau sebagai bayaran atas utang keluarga.

Laporan Human Rights Watch, diluncurkan 7 Maret 2013, This Old Man Can Feed Us, You Will Marry Him, memapar dan merekam suara anak-anak usia 12-15 tahun yang dipaksa kawin dengan laki-laki seusia ayah, bahkan seusia kakeknya.

"Saya tidak suka laki-laki itu, tetapi keluarga saya bilang, 'Laki-laki itu memberi kita makan. Kamu harus mengawininya'," ujar Atong G (15) dari suatu desa di Sudan Selatan yang dipaksa kawin dengan laki-laki berusia 50 tahun, Juli 2011.

Aguet (15) dipaksa kawin dengan laki-laki 75 tahun. Ia bersaksi, "Laki-laki itu datang kepada paman dan membayar mahar 80 lembu. Saya menolak, tetapi paman dan ibu saya mengancam. Mereka bilang, 'Suka atau tidak suka kamu harus kawin dengan dia karena ia akan memberi kita makan.'"

Bagaimana kalau mereka menolak? Di salah satu desa di Afrika, seorang gadis berusia 17 tahun dipukuli sampai mati karena menolak kawin dengan laki-laki tua renta. Di salah satu desa di Etiopia, ibu si gadis mengancam bunuh diri kalau anaknya yang berusia 13 tahun itu menolak dikawinkan.

Saat ini sekitar 39.000 anak perempuan di dunia setiap hari menjadi korban kawin paksa dan dijual atau ditukar dengan ternak demi menghidupi keluarganya.

Satu dari tiga

Data Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) menunjukkan, satu dari tiga anak perempuan di 42 negara menikah di bawah usia 18 tahun. Jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 140 juta antara tahun 2011 dan 2020.

Satu dari tiga anak perempuan di negara berkembang menikah pada usia 18 tahun dan satu dari sembilan menikah pada usia 15 tahun atau lebih muda lagi. Pada banyak kasus, perkawinan usia muda dianggap sebagai "kehormatan" karena "menyelamatkan remaja perempuan dari kehamilan di luar nikah".

Jumlah kasus terbesar terdapat di Asia Selatan dan di daerah pedesaan Afrika sub-Sahara, seperti Banglades (66 persen), Afrika Tengah dan Chad (68 persen), Niger, Afrika Barat (75 persen), India (47 persen), Afganistan (40 persen), Brasil (36 persen), dan Sudan (33 persen).

Perkawinan anak dan perkawinan paksa menjadi salah satu hal kritis dalam Konferensi Women Deliver ke-3, di Kuala Lumpur, Malaysia, 28-30 Mei 2013.

Kekerasan yang direstui

Perkawinan anak dan perkawinan paksa menyembunyikan berbagai kekejian terhadap anak perempuan yang "direstui" komunitas. "Banyak anak mengalami pemaksaan hubungan seksual dan sangat rentan terhadap infeksi seksual menular, termasuk HIV/AIDS," ujar Lakshmi Sundaram, Koordinator Global Gerakan Girls Not Brides: Kerja Sama Global Menghapus Perkawinan Anak.

Menurut ilmuwan dari Organisasi Kesehatan Dunia, Dr V Chandra Mouli, praktik yang masih terjadi di berbagai komunitas di dunia itu sangat serius. "Anak perempuan hanya dianggap sebagai partner seksual, statusnya sangat rendah," ujarnya.

Mereka meninggalkan sekolah, hamil pada usia sangat muda, dan makin terasing dari komunitas. "Kalau dia terus hamil, ibaratnya, satu digendong di belakang, satu di samping, satu di perut, kesehatannya akan memburuk, juga kesehatan bayi-bayinya," ujar Melinda Gates, pendiri Gates Foundation, lembaga dana yang mendukung prakarsa-prakarsa pendidikan, kesehatan, dan kependudukan.

Anak-anak itu tumbuh kurang gizi dan menjadi kerdil karena pertumbuhannya terhambat. Mereka juga tak mampu menyerap pelajaran di sekolah. "Sayangnya, siklus ini terus berulang," ucap Melinda.

Perkawinan seperti itu, menurut Sundaram, membuat kehamilan gadis-gadis kecil itu rentan komplikasi saat melahirkan dan membawa kematian pada ibu berusia 15-19 tahun di negara berkembang.

Suatu studi oleh Profesor Anita Taj dari Universitas California di San Diego dan Ulrike Boehmer, PhD dari Departemen Kesehatan Masyarakat Universitas Boston menunjukkan, berkurangnya 10 persen perkawinan anak berarti berkurangnya 70 persen angka kematian ibu melahirkan di suatu negara.

Angka kematian ibu adalah indikator peradaban. Saat ini masih 800 perempuan di dunia meninggal setiap hari karena melahirkan atau satu kematian dalam setiap 10 menit.

Upaya menghentikan praktik yang merendahkan kemanusiaan itu terus dilakukan. Di Bihar, India, Gerakan Jagriti menolak perkawinan usia muda, diprakarsai Premnath (18). Dia menolak dipaksa menikah oleh ayahnya yang ingin menantunya melakukan kerja domestik yang ditinggalkan mendiang istrinya.

Direktur Eksekutif Girls Empowerment Network Malawi, Faith Phiri, memaparkan bahwa upaya menghapus perkawinan anak dalam proses perubahan sosial yang melibatkan anak perempuan sebagai watch dog.

"Lebih dari 50 persen anak perempuan di Malawi menikah di bawah usia 18 tahun, bahkan banyak yang menikah di bawah 15 tahun," ujarnya. "Sayangnya dalam UU kami, batas usia minimum perkawinan adalah 15 tahun bagi anak perempuan."

Membuat remaja berani

Proses itu membuat remaja berani menantang status quo dan bersuara. "Melalui proses yang berat, sekarang 22 komunitas membuat peraturan yang mengkriminalkan perkawinan anak," ucap Phiri.

Proses itu mulai berdampak. Menurut Phiri, ada kepala desa diturunkan karena gagal menerapkan peraturan itu. Angka putus sekolah turun dan komunitas lain mulai mereplikasi model itu. Namun, perjuangan masih sangat panjang karena "Peraturan di satu komunitas tak berlaku di komunitas lain dan UU kami masih seperti itu."

Remmy Shawa dari Sonke Gender and Justice Network, Afsel, mengatakan, isu kesehatan dan hak-hak reproduksi perempuan bukan isu eksklusif perempuan. Dalam organisasinya, ia bekerja bersama laki-laki.

"Kami meredefinisi maskulinitas. Kami menantang norma kultural dan tradisional yang tak mau menginterogasi kuasa laki- laki dan kekerasan berbasis jender yang melanggengkan pandangan yang seksis," ujar Shawa, satu dari tiga penerima Women Deliver Rising Star.

Pandangan bahwa patriarkhi menguntungkan laki-laki adalah keliru. "Jauh di dalamnya, nilai- nilai patriarkhi sangat merugikan laki-laki karena persis itulah yang menghancurkan kemanusiaan mereka."

 

Sumber : Kompas Cetak

Editor : Hindra

Protes di Turki Masuki Hari Kedua

Posted: 01 Jun 2013 01:50 PM PDT

  • Sabtu, 1 Juni 2013 | 20:50 WIB

Protes yang berujung bentrok di Turki kini memasuki hari kedua. Pada hari ini terjadi bentrokan antara polisi dan demonstran di Istanbul dan ibukota Ankara.

Protes tersebut bermula dari aksi demonstran menentang pembangunan pusat perbelanjaan di lokasi taman bernama Gezi Park. Gezi Park adalah sebuah ruang terbuka hijau yang sangat jarang dijumpai di kota sibuk macam Istanbul.

Ketegangan terjadi ketika polisi mulai menembakkan gas air mata ke arah demonstran. Gas tersebut ditembakkan lagi hari ini ketika ratusan demonstran berusaha untuk menyebrangi jembatan Bosphorus, yang menghubungkan pantai-pantai di benua Asia dan Eropa, di Istanbul pada Sabtu (01/06) pagi untuk bisa memasuki alun-alun kota itu.

Sementara di Ankara, para demonstran berusaha berjalan ke arah parlemen.

Polisi berusaha membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata, yang kemudian dibalas dengan lemparan batu oleh para demonstran. Selain itu, polisi  menembakkan meriam air dan gas air mata di Taksim Square ketika demonstran berteriak "bersatu melawan fasisme" dan "pemerintah mundur."

Bentrokan juga serupa juga dikabarkan terjadi di distrik Besiktas.

Lalu-Lintas Lumpuh

Salah satu warga Istambul yang mengaku bernama Lily mengatakan kepada BBC's World Service, "Ada 40.000 orang menyebrangi jembatan ini. Semua transportasi publik lumpuh."

Menurutnya, polisi menjatuhkan gas air mata dari helikopter sepanjang malam. "Sekitar pukul setengah dua seluruh kota mulai bergema. Orang-orang memukuli pot, panci dan meniup peluit," kata dia.

Wartawan BBC, Louise Greenwood, di Istanbul mengatakan polisi dari wilayah yang cukup jauh seperti Antalya diterjunkan langsung untuk membantu memadamkan kerusuhan. Ia mengatakan bahwa pusat distrik Taksim dan wilayah sekitarnya tetap tertutup dan jembatan tidak bisa dilalui kendaraan.

Sementara itu, pemerintah kota Istanbul menyatakan puluhan orang dilarikan ke rumah sakit dan lebih dari 60 orang ditahan setelah bentrokan pada Jumat kemarin.

Di Ankara, para demonstrasi meluas dan para demonstran menggelar apa yang mereka sebut sebagai aksi solidaritas, dengan banyak partisipannya berteriak: "Dimana-mana ada penolakan, dimana-mana adalah Taksim!"

Mereka juga meneriakkan slogan anti-pemerintahan dan berusaha untuk mendatangi gedung parlemen. Sebagian demonstran khawatir Turki akan kembali menjadi negara Islam karena baru-baru ini pemerintahnya membatasi penjualan minuman beralkohol.

Editor : Egidius Patnistik

Tiada ulasan:

Catat Ulasan