KOMPAS.com - Nasional |
Pencalonan SBY dan Ani Hindari Gontok-gontokan Posted: 25 Mar 2013 04:16 PM PDT JAKARTA, KOMPAS.com — Pengusungan Susilo Bambang Yudhoyono dan Ani Yudhoyono sebagai calon ketua umum Partai Demokrat dinilai sebagai dinamika menjelang kongres luar biasa (KLB). Keduanya pun dianggap merupakan calon yang tepat lantaran tidak akan menimbulkan friksi di tubuh Partai Demokrat. "Saya juga melakukan komunikasi dengan daerah-daerah dan mereka sebut Pak SBY, Ibas, dan Bu Ani dalam KLB agar bisa cepat dan tidak akan gontok-gontokan," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Ramadhan Pohan di Kompleks Parlemen, Senin (25/3/2013). Menurut Ramadhan, KLB nanti bukanlah ajang unjuk kekuatan atau menggalang konsolidasi. Dalam waktu yang relatif cepat, kata Ramadhan, hanya diminta mempersiapkan Demokrat untuk Pemilu 2014. Yang terdekat adalah penyusunan daftar caleg sementara (DCS). "Kalau mau deklarasi, tim sukses, galang kekuatan habis-habisan itu nantilah saat Kongres 2015," imbuh Ramadhan. Ramadhan juga menegaskan bahwa pencalonan SBY bukanlah bentuk haus kekuasan. Ia melihat, dengan jabatan SBY sekarang sebagai Ketua Majelis Tinggi, maka Presiden RI itu tak perlu lagi mencari kedudukan. Di Partai Demokrat, kedudukan tertinggi ada pada Ketua Majelis Tinggi. Wakil Ketua Komisi I ini pun mengaku tak khawatir dengan rangkap jabatan SBY selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. "Tidak akan ada benturan apa pun karena partai kan tetap bisa dijalankan waketum, lalu ada juga wacana ketua harian dan sebagainya. Jadi, tidak ada masalah," kata Ramadhan. Sebelumnya, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat SBY mengumpulkan Majelis Tinggi dan pengurus DPD di Cikeas pada Minggu (24/3/2013). Di dalam pertemuan itu terungkap beberapa dukungan pengurus DPD yang menginginkan SBY atau Ani Yudhoyono menjadi calon ketua umum Partai Demokrat. Berita terkait dapat dibaca dalam topik: Jelang KLB Demokrat Editor : Ana Shofiana Syatiri |
Putusan PTTUN Soal PKPI Dinilai Janggal Posted: 25 Mar 2013 03:25 PM PDT JAKARTA, KOMPAS.com- Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) terkait gugatan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dinilai janggal dan melampaui kewenangan. Karenanya, diperlukan eksaminasi atas putusan tersebut. Hal ini disampaikan Pengajar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra dan Pengajar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Krisnadwipayana Lodewijk Gultom secara terpisah, Senin (25/3/2013). Salah satu kejanggalan dalam putusan itu terkait tiadanya peluang KPU untuk mengajukan kasasi. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim PTTUN yang terdiri atas Ketua Santer Sitorus serta Anggota Nurnaeni Manurung dan Arif Nurdua, menilai KPU adalah tergugat. Peraturan perundangan tentang penyelenggaraan pemilu pun tidak mengatur hak gugat bagi KPU. Karena tidak mempunyai hak gugat di PTTUN, KPU juga tidak memiliki hak mengajukan kasasi. "Persamaan perlakuan ini merupakan perwujudan azas-azas umum penyelenggaraan Pemilu yang efisien dan efektif. Bila hak gugat dan kasasi diberikan kepada KPU, akan menghambat proses jadwal pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu," demikian bunyi pertimbangan majelis hakim. KPU juga dianggap tidak boleh menguji atau mengingkari keputusan Bawaslu. Sebab, tidak satu pasalpun yang tersirat dan memberi kewenangan ini kepada KPU. Majelis hakim juga menyebutkan tindakan KPU tidak mematuhi putusan Bawaslu terkait gugatan PKPI sebagai bertentangan dengan prinsip hukum dan bertentangan dengan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Saldi menilai, hakim seharusnya tidak boleh menutup ruang untuk banding atau kasasi. "Menutup kesempatan kasasi artinya keluar dari logika beracara di pengadilan. Bisa juga dianggap ketidakadilan," katanya. Lodewijk juga mengatakan, dalam prinsip hukum, tidak ada hak hakim untuk membatasi pihak yang berkepentingan untuk banding atau kasasi, kecuali diatur dalam perundang-undangan. Kenyataannya, lanjut Lodewijk yang juga Rektor Unkris, hal itu tidak diatur dalam UU 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD. Karenanya, ini bisa dimaknai pemaksaan kehendak dari majelis hakim. Selain itu, penilaian KPU melanggar kode etik di luar kewenangan pengadilan. "Itu jelas kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, bukan kewenangan pengadilan," tambah Saldi. Selain itu, kata Lodewijk, seharusnya Majelis Hakim tidak menilai dari segi kelembagaannya. Hakim PTTUN seharusnya menilai apakah fungsi lembaga berjalan sesuai perundang-undangan. Karenanya, Saldi maupun Lodewijk sepakat, putusan PTTUN perlu segera dieksaminasi. Hal ini, menurut Saldi, bisa dilakukan lembaga pemantau peradilan atau lembaga-lembaga yang bergerak di kepemiluan. Sebab, perlu ada perbaikan pada proses penanganan sengketa pemilu. Pengadilan harus berhati-hati dan memahami betul masalah sengketa Pemilu. Tanpa eksaminasi dan perbaikan penanganan sengketa Pemilu, kata Lodewijk, tidak akan ada kepastian hukum, rasa keadilan masyarakat terganggu, serta politik dan uang akan "bermain". Kendati demikian, KPU kemarin menyatakan menerima PKPI sebagai peserta Pemilu 2014 dengan nomor urut 15. Editor : Tjahja Gunawan Diredja |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan