KOMPAS.com - Nasional |
Verifikasi Lahan untuk Perbaiki Data Posted: 27 Nov 2011 11:40 AM PST BANDUNG, KOMPAS.com -- Badan Pusat Statistik bersama Kementerian Pertanian, tengah menyiapkan peta jalan untuk memperbaiki data pangan. Perbaikan antara lain ditempuh dengan memverifikasi luas lahan pertanian yang menjadi salah satu acuan penghitungan produksi pangan. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) yang kini menjabat Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan mengatakan, data luas baku lahan pertanian selama ini berasal dari beberapa sumber, yakni Kementerian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, dan Kementerian Dalam Negeri. Keragaman sumber itu turut memicu perbedaan data. Menurut Rusman, verifikasi diperlukan untuk mengetahui kondisi akhir terkait alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian. "Jika data luas lahan akurat, hasil penghitungan produksi pangan pun akurat. Situasi kontradiktif, yakni impor bahan pangan dan produksi yang surplus, pun bisa dihindari," kata Rusman, Minggu (27/11/2011) di Bandung, Jawa Barat. Selain verifikasi lahan, survei ditempuh untuk mengetahui angka konsumsi beras. Angka konsumsi yang dipakai selama ini, yakni 139 kilogram per kapita per tahun, dinilai terlalu tinggi karena pada sejumlah survei BPS hasilnya 113-114 kilogram per kapita per tahun. "Setelah diusut, angka konsumsi 139 kilogram per kapita per tahun itu ternyata hasil konsensus, tak pernah turun lima tahun terakhir. Ini harus dibenahi melalui survei agar data produksi, konsumsi, dan strategi lebih akurat," tuturnya. Direktur Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan BPS, Ardief Achmad menambahkan, verifikasi lahan kini masih berlangsung di Pulau Jawa dan ditargetkan hingga luar Jawa tahun depan. Verifikasi memanfaatkan teknologi citra satelit sehingga diharapkan menghasilkan data lebih akurat. Full content generated by Get Full RSS. |
Tanah Rakyat Terancam Tata Ruang Tak Beres Posted: 27 Nov 2011 07:59 AM PST Tanah Rakyat Terancam Tata Ruang Tak Beres Khaerudin | Nasru Alam Aziz | Minggu, 27 November 2011 | 21:59 WIB JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah tampaknya mengotot mengegolkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Dengan RUU ini, pemerintah bisa mencabut hak atas tanah rakyat dengan alasan digunakan untuk kepentingan pembangunan. Masalahnya, RUU tersebut sebenarnya menuntut tata ruang di semua daerah telah dibereskan sehingga pemerintah bisa dengan mudah menentukan di lokasi mana pembangunan dilaksanakan. Kenyataannya, menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agria Idham Arsyad, RUU Pengadaan Tanah dipaksa untuk digolkan di DPR saat tata ruang di sejumlah wilayah di Indonesia masih belum beres. "Kan RUU Pengadaan Tanah berhubungan dengan beberapa UU lain seperti yang saat ini belum siap pelaksanaannya, yakni UU Tata Ruang. Saat perencanaan tata ruang di sejumlah daerah belum beres, RUU Pengadaan Tanah sudah dikeluarkan. Jadi problematik di lapangan, sekarang saja ada 31.000 desa yang masuk kawasan hutan," kata Idham kepada Kompas di Jakarta, Minggu (27/11/2011) malam. Menurut Idham, dengan kondisi tata ruang yang belum beres, sementara pemerintah memaksakan RUU Pengadaan Tanah dengan alasan kebutuhan membangun infrastruktur, maka banyak sekali rakyat yang terancam kehilangan tanahnya. "Pembangunan pada dasarnya untuk kepentingan umum sehingga mestinya pemerintah sudah memastikan di wilayah mana kepentingan umum tersebut dibangun. Tanpa ada tata ruang yang jelas, pembangunan kepentingan umum tak akan demokratis dan berkeadilan. Pemerintah bisa seenaknya menggusur tanah rakyat," tutur Idham. |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan