KOMPAS.com - Nasional |
ICW : Revisi PP 28 Tahun 2006! Posted: 05 Nov 2011 08:42 AM PDT JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Badan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho berpendapat, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan seharusnya segera direvisi menyusul kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat terhadap koruptor. Hal tersebut penting dilakukan agar kebijakan kontrol pemberian remisi itu memiliki landasan hukum yang jelas. "Penting teman-teman Kementerian Hukum dan HAM untuk merevisi PP 28 itu," kata Emerson dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (5/11/2011). Salah satu poin yang seharusnya diperbaiki, katanya, terkait syarat bagi terpidana korupsi untuk memperoleh remisi atau pembebasan bersyarat. Misalnya, dengan memperjelas arti berkelakuan baik yang menjadi salah satu syarat. Menurut Emerson, konsep tersebut sangat subjektif sehingga cenderung disalahgunakan. "Beberapa kasus yang muncul, berbuat baik itu diartikan sebagai menyenangkan hati petugas sipil," tuturnya. Syarat lainnya yang mungkin diperbaiki, kata Emerson, terkait lama hukuman. Misalnya seperti di Jepang, koruptor boleh dapat remisi tapi harus dihukum 10 tahun. Tren di Indonesia, di pengadilan umum rata-rata (divonis) setahun, tipikor rata-rata tiga tahun. "Dihukum, lalu dapat PB (pembebasan bersyarat), efek jeranya tidak ada," katanya. Emerson juga mengatakan, dia sepakat jika remisi dan pembebasan bersyarat hanya diberikan kepada terpidana korupsi yang menjadi whistle blower atau justice collaborator. Namun juga, kata dia, sebaiknya tidak mengesampingkan indikator lain seperti ketekunan beribadah, berlaku sopan, dan menjaga ketertiban penjara. Kementerian Hukum dan HAM memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap koruptor. Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin menjelaskan, pihaknya hanya akan memberikan dua hak narapidana itu kepada terpidana korupsi yang menjadi whistle blower atau justice collaborator sementara dilakukan pengkajian terhadap syarat-syarat penerima remisi dan pembebasan bersyarat. Full content generated by Get Full RSS. |
Hikmahanto : Usut Dugaan Suap PT Freeport! Posted: 05 Nov 2011 06:54 AM PDT JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana meminta agar aparat penegak hukum segera memulai penyelidikan terkait pemberian dana yang diduga suap dari PT Freeport Indonesia kepada Kepolisian dan Militer di Indonesia. Hal itu diungkapkannya menanggapi surat Persatuan Pekerja Baja (United Steelworkers) kepada Departemen Kehakiman AS, pada Selasa (1/11/11). Ketentuan yang dirujuk dalam FCPA itu adalah larangan bagi perusahaan AS untuk membayar pejabat atau aparat negara lain -- Hikmahanto "Dengan adanya surat dari Persatuan Pekerja Baja AS ini maka aparat penegak hukum di Indonesia seperti Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus sudah memulai penyelidikan atas dugaan pidana yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia," ujar Hikmahanto kepada Kompas.com, di Jakarta, Sabtu (5/11/2011). Persatuan Pekerja Baja (United Steelworkers) yang berkedudukan di Pittsburg, Philadephia, Amerika Serikat mengajukan surat kepada Departemen Kehakiman AS pernyataan oleh Kapolri bahwa ada dana yang diberikan oleh PT Freeport Indonesia yang merupakan anak perusahaan Freeport McMaron Copper & Gold, sebuah perusahaan AS, kepada aparat kepolisian. Dalam surat itu juga dikutip laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) yang menyebutkan dana Rp 1.250.000 per bulan diberikan oleh Freeport Indonesia kepada 635 personel kepolisian dan militer. Menurut surat itu, Freeport McMoran harus diperiksa oleh Departemen Kehakiman atas dugaan pelanggaran Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) atau UU Praktek Korupsi di Luar Negeri. Hikmahanto mengatakan, dalam surat tersebut disebutkan, dengan pemberian dana secara langsung kepada personel polisi dan militer, hal itu dianggap sebagai suap yang ditujukan untuk memengaruhi agar para personel membela kepentingan Freeport McMoran. Tindakan itu dinilai bertentangan dengan pekerjaan yang sah dari polisi dan militer untuk melindungi rakyat Indonesia. "Ketentuan yang dirujuk dalam FCPA itu adalah larangan bagi perusahaan AS untuk membayar pejabat atau aparat negara lain. Dan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan pekerjaan atau jabatan dari pejabat tersebut yang sah. Jadi pemberian dana tersebut dinilai telah menyalahi aturan itu," jelasnya. Karena itu, kata Hikmahanto, karena saat ini pemerintah AS sudah melakukan proses penyelidikan, seharusnya Indonesia juga melakukan hal yang sama. Jika tidak, Hikmahanto menilai, publik akan mempersepsikan pemerintah Indonesia dan otoritas penegak hukum justru hendak melindungi PT Freeport Indonesia. "Dan publik pun akan mempertanyakan komitmen pemerintah dan otoritas Indonesia dalam melakukan penegakan hukum yang tidak diskriminatif. Jadi harus segera dilakukan. Jangan sampai aparat di Indonesia kalah cepat dengan aparat di AS," tegasnya. Full content generated by Get Full RSS. |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan