detikcom |
Kameramen Reuters Dibunuh dengan AK-47, Bukan Senjata Tentara Bangkok Posted: 27 Feb 2011 12:33 PM PST Senin, 28/02/2011 03:33 WIB Direktur Jenderal DSI Tharit Pengdith menyatakan jika peluru yang bersarang di tubuh korban berasal dari senjata AK-47. Senjata tersebut tidak cocok dengan senjata yang digunakan tentara di Bangkok saat aksi di jalan pada waktu itu. "Sekarang kita mengetahui secara pasti bahwa peluru yang menewaskan dia merupakan buatan Rusia yang berasal dri AK-47, yang tidak digunakan oleh tentara militer," kata Pengdith seperti dikutip Reuters, Minggu (27/2/2011). Kesimpulan tersebut menyangkal laporan temuan awal DSI yang dibocorkan kepada Reuters pada Desember 2010 lalu. Saat itu Reuters mendapat bocoran jika peluru yang membunuh wartawan asal Jepang pada 10 April 2010 lalu itu berasal dari arah pasukan. Muramoto adalah wartawan Reuters yang berbasis di Tokyo. Dia ditugaskan oleh Reuters untuk membantu meliput demontsran 'kaos merah' anti-pemerintahan yang berlangsung pada Maret hingga Mei 2010 lalu. Muramoto merupakan salah satu di antara 91 warga sipil yang tewas dalam bentrokan dengan tentara militer saat itu. Juru bicara angkatan bersenjata Bangkok, Sansern Kaewkamnerd tidak berkomentar akan kesimpulan DSI mengenai penyebab kematian Muramoto itu. Dalam Harian Minggu Bangkok, Sansern menyatakan tentaranya tidak menggunakan senjata AK-47. Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda! Redaksi: redaksi[at]detik.com |
Perkuat Pemerintahan Cukup Dua Fraksi di Parlemen Posted: 27 Feb 2011 12:03 PM PST Senin, 28/02/2011 03:03 WIB Atas hal tersebut, anggota Wantimpres, Jimmly Asshidiqie ikut bersuara. Menurutnya pengaturan pengaturan koalisi memang perlu diatur dalam sebuah UU. "Ya seharusnya memang demikian. Bahkan saya dulu pernah mengusulkan agar di parlemen hanya ada dua fraksi. Fraksi pemerintah dan oposisi," terang Jimmly saat berbincang dengan detikcom, Minggu (27/2/2011). Menurut Jimmly, pengaturan terhadap koalisi tidak perlu dibuat sebuah UU baru, melainkan cukup dengan merevisi UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Usulnya agar fraksi dimasukan ke dalam salah satu alat kelengkapan dewan. "Jadi partai yang lolos parliamentary treshold (PT) tinggal memilih, ikut parlemen pendukung pemerintah atau parlemen koalisi. Tidak perlu ada format koalisi," terangnya. Aturan yang demikian, menurut Jimmly juga tidak akan membatasi jumlah partai. Berapapun partainya asal memenuhi PT bisa mendudukan wakilnya di Senayan. Di sisi lain, pengaturan itu akan membuat posisi pemerintah semakin kuat karena dukungan dari parlemen juga kuat. "Jadi yang diatur adalah struktur parlemen, bukan sekedar format koalisi. Kalau fraksi parlemen tentu dia mendukung setiap kebijakan pemerintah. Jadi tidak ada lagi perbedaan pendapat dalam koalisi nantinya," imbuhnya. Sebelumnya, untuk menyikapi pembangkangan yang dilakukan oleh Golkar dan PKS, Demokrat mewacanakan untuk mengatur koalisi dalam sebuah UU. Hal ini disampaikan oleh Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafsah, beberapa waktu lalu. "Seyogyanya koalisi itu diatur dalam sebuah undang-undang. Atau paling tidak ada AD/ART," ujar Jafar. Menurut Jafar, koalisi perlu diatur dalam UU karena sistem pemerintahan menganut sistem presidensil. Di sisi lain, Indonesia juga menggunakan sistem multi partai dalam pemilihan umum. "Jadi seharusnya kalau sistem presidensil, itu cuma ada dua partai. Partai pemerintah dan oposisi, tapi kita kan tidak. Kita multi partai. Supaya kinerja pemerintah baik harus didukung parlemen yang kuat juga, makanya koalisi perlu diatur dalam UU," terangnya. (her/mei) Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda! Redaksi: redaksi[at]detik.com |
You are subscribed to email updates from detikcom To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan