Republika Online |
Stres Berisiko 1,2 Kali Sebabkan Hipertensi Posted: 23 Dec 2010 03:19 AM PST REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR--Orang yang mengalami stres membawa risiko terkena hipertensi 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengalami stres. Hal ini dikatakan Hardinsyah dari Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB. "Perubahan gaya hidup, terutama di perkotaan telah menyumbang munculnya berbagai penyakit tidak menular di antaranya hipertensi dan diabetes melitus," katanya. Hardinsyah menjelaskan, hipertensi dan diabetes melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang prevalensinya cukup tinggi di dunia. Perokok memiliki risiko 1,4 kali lebih tinggi terkena hipertensi dibanding yang tidak pernah merokok. Orang yang memiliki status gizi gemuk berisiko terkena hipertensi 1,2 kali lebih tinggi dibanding yang berstatus gizi normal. Lingkar perut berisiko memiliki risiko terkena hipertensi 1,5 kali lebih tinggi dibanding yang memiliki lingkar perut tidak berisiko. Dalam penelitian ini orang yang biasa melakukan aktivitas fisik berat memiliki risiko 24 persen lebih kecil terkena hipertensi dibanding yang tidak terbiasa melakukan aktivitas fisik berat. Dijelaskannya, di Indonesia, penderita hipertensi terus meningkat. Hasil Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas, 2001) menunjukkan proporsi hipertensi pada pria 27 persen dan wanita 29 persen. Sedangkan hasil SKRT (2004), hipertensi pada pria 12,2 persen dan wanita 15,5 persen. Sementara hasil SKRT tahun 1992, 1995, dan 2001, kata Herdinsyah, penyakit hipertensi selalu menduduki peringkat pertama dengan prevalensi terus meningkat yaitu 16,0 persen, 18,9 persen, dan 26,4 persen. "Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas (2008) mengungkap bahwa prevalensi hipertensi berdasar pengukuran pada penduduk umur diatas 18 tahun adalah sebesar 31,6 persen," kata Herdinsyah. Sementara kata Herdinsyah, penderita diabetes di Indonesia telah mencapai angka 8,4 juta pada 2000 dan diperkirakan menjadi sekitar 21,3 juta pada 2020. Herdinsyah menyebutkan, tingginya jumlah penderita tersebut, menjadikan Indonesia menempati urutan keempat dunia setelah Amerika Serikat, India dan China (Diabetes Care, 2004). |
Salaman Bisa Jadi Indikator Kesehatan Manula? Posted: 23 Dec 2010 02:17 AM PST REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Orang tua kita dalam kondisi sehat? Ajaklah beliau berjabat tangan. Menurut penelitian, manula yang saat dijabat cengkeraman tangannya masih kuat, maka bisa menjadi indikator dia sehat dan usianya akan lebih lama. Setidaknya, inilah yang disimpulkan dari penelitian terbaru Medical Research Council Inggris. Indikator lain, adalah kecepatan mereka berjalan. Studi ini adalah yang pertama untuk memberikan pandangan yang komprehensif tentang penelitian yang ada dengan mengumpulkan semua data yang relevan. Hal yang dianalisis adalah kekuatan pegangan, kecepatan berjalan, waktu untuk bangun dari kursi ,dan kemampuan untuk menyeimbangkan tubuh pada satu kaki, terutama pada mereka yang berusia 70 tahun atau lebih. "Langkah-langkah ini telah digunakan dalam penelitian berdasarkan populasi untuk waktu yang cukup lama," kata Rachel Cooper dari Medical Research Council, sebuah organisasi riset yang didanai publik di London. "Mereka mungkin menjadi indikator yang berguna untuk kesehatan berikutnya." Hasil penelitian tim Cooper yang dipublikasi di British Medical Journal, mengatakan studi lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi apakah tindakan akan membantu dokter sebagai alat skrining. "Saya tidak akan menyarankan bahwa mereka harus datang ke ruang praktik klinis besok, namun hal ini bisa menjadi salah satu indikasi di masa mendatang," katanya pada Reuters Health. Para peneliti memeriksa 33 dataset dari puluhan ribu orang yang tinggal berbaur dengan masyarakat, bukan di panti jompo. "Orang-orang dalam populasi umum yang memiliki kemampuan fisik yang lebih tinggi mempunyai tingkat kemungkinan hidup lebih lama," kata Cooper. Hasil penelitian menunjukkan, mereka yang memiliki pegangan tangan paling lemah saat bersalaman, 1,67 kali lebih mungkin meninggal lebih cepat dibanding mereka yang cengkeramnnya kuat saat diajak bersalaman. Sedang mereka yang kecepatan berjalannya lambat hampir tiga kali berresiko kematian dibandingkan dengan mereka yang masih lincah berjalan. Para peneliti mengatakan penemuan mereka mungkin mencerminkan kelemahan dan penurunan keseluruhan tubuh, atau penyakit yang tidak teridentifikasi. |
You are subscribed to email updates from Republika Online To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan