Khamis, 3 Mei 2012

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Wacana "Justice Collaborator" Rawan Negosiasi Politik

Posted: 03 May 2012 11:46 AM PDT

Korupsi Wisma Atlet

Wacana "Justice Collaborator" Rawan Negosiasi Politik

Ilham Khoiri | Nasru Alam Aziz | Kamis, 3 Mei 2012 | 23:23 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Upaya untuk menggiring tersangka Angelina Sondakh sebagai justice collaborator, saksi pelaku yang mau bekerja sama untuk membongkar kejahatan, dalam kasus korupsi wisma atlet SEA Games, dianggap tidak efektif. Pasalnya, mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat itu merupakan aktor penting dalam kasus tersebut.

Selama ini dia juga tidak menunjukkan iktikad baik untuk bekerja sama, termasuk ketika menjadi saksi dalam pengadilan dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin dalam kasus yang sama.

"Jangan sampai wacana justice collaborator itu justru menjadi pintu masuk untuk terjadi negosiasi dan kompromi atas substansi perkara hukum dan melemahkan proses penyidikan. Tawaran itu agak mencurigakan," kata Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Kamis (3/5/2012) di Jakarta.

Hendardi menilai, ketertarikan beberapa elite Partai Demokrat untuk mendorong Angelina menjadi justice collaborator juga patut dicermati. Ini akan menciptakan komunikasi dekat antara KPK, Angelina, dan Partai Demokrat, yang memungkinkan terjadinya tawar-menawar atas substansi perkara hukum.

"Sebaiknya jauhkan pikiran untuk membujuk Angelina sebagai justice collaborator. Strategi penyidikan dengan mengandalkan Angelina justru akan melemahkan KPK dan mendekatkan peluang negosiasi yang bisa menciderai prinsip keadilan," katanya.

KPK diharapkan sungguh-sungguh menggunakan bukti-butki yang ada untuk menjerat aktor-aktor utama. Jangan sampai isu justice collaborator itu justru menghilangkan isu-isu besar lain.

KPK telah menetapkan Angelina sebagai tersangka dalam kasus suap wisma atlet SEA Games dan proyek pengadaan pembangunan fasilitas sarana pendidikan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Anggota DPR itu kini menjadi tahanan KPK.

Jika Angelina mau menjadi justice collaborator, KPK berjanji meringankan tuntutan hukum terhadapnya.

Reformasi Birokrasi Mandek

Posted: 03 May 2012 09:56 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Birokrasi pemerintahan di Indonesia yang gemuk, tidak produktif, dan boros menunjukkan reformasi birokrasi selama ini mandek. Masih lemah, komitmen dari pemerintah di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menata ulang birokrasi pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, dan bertanggung jawab.

Penilaian itu diungkapkan pengajar Hukum Administrasi dan Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Oce Madril, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (3/5/2012).

"Agenda reformasi birokrasi yang tak bisa jalan dengan baik di lapangan. Pemerintah tak konsisten untuk menjalankan penataan ulang aparatur negara. Apalagi, muncul juga perlawanan dari dalam birokrasi itu sendiri," katanya.

Sebagaimana diberitakan, pemerintah mengakui, birokrasi saat ini semakin gemuk sehingga lamban dalam bekerja. Selain tidak produktif, kondisi ini juga memboroskan anggaran negara.

Oce menyoroti rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) masih kental dengan permainan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahkan, penerimaan pegawai kerap menjadi salah satu janji kampanye kepala daerah yang kemudian dipenuhi saat menjabat. Akibatnya, pegawai yang dihasilkan tidak profesional, bermutu rendah, dan membebani birokrasi.

Saat menjadi pegawai, seseorang masuk dalam iklim kerja dengan tata kelola keuangan yang buruk. Sistem penggajian, honorarium, perjalanan dinas, kepanitiaan, dan tunjangan menjadi permainan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Belum lagi para pegawai membuat proyek-proyek dengan anggaran yang digelembungkan.

"Perjalanan dinas, misalnya, jadi sarana untuk menambah penghasilan, seperti untuk mengikuti seminar, pelatihan, studi banding, atau kunjungan. Itu sudah menjadi rahasia umum di kalangan PNS," katanya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan