Sabtu, 4 Jun 2011

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Anggaran dan UU, Jurus Korupsi di DPR

Posted: 04 Jun 2011 12:34 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat ekonomi, Hendri Saparini, menyesalkan fungsi penentuan anggaran negara yang biasa diberikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) justru diambil alih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tumpang tindih fungsi itu menyebabkan potensi korupsi oleh anggota DPR semakin besar.

Menurutnya, tak banyak anggota Dewan yang bersikap netral. Para anggota DPR saat ini lebih mengutamakan kepentingan partai, pribadi, dan konstituen yang dulu memilih mereka untuk duduk di kursi legislatif.

"Sebelum reformasi, peran dari Bappenas sangat besar. Perkiraan biaya untuk kebutuhan negara ada di Bappenas. Sekarang perannya minimal. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kadang tidak dipakai. Sekarang yang menentukan lebih banyak di DPR," ujar Hendri saat menghadiri diskusi "Indonesiaku Dibelenggu Koruptor", Sabtu (4/6/2011).

"Semua dibuat harus berdasarkan persetujuan DPR karena fungsi anggaran. Dengan demikian, bukan lagi pada arahan untuk kepentingan nasional, melainkan ini untuk konstituen saya atau bukan, untuk daerah saya atau bukan. Seolah-olah cuma jatah-menjatah. Dibagi pertama bagi partainya, kemudian bagi daerahnya," lanjutnya.

Selain itu, kata Hendri, tingginya desakan globalisasi dan munculnya perusahaan-perusahaan swasta, baik nasional maupun asing, mengakibatkan DPR membuat undang-undang tentang kebijakan ekonomi yang justru tidak berpihak kepada rakyat. Bukan hanya anggota dewan, melainkan birokrasi dalam pemerintahan juga disuap hanya untuk menguntungkan para pengusaha. Alhasil, lanjut Hendri, susah untuk menghentikan cara-cara korupsi seperti demikian.

"Suap juga dilakukan untuk mengeluarkan undang-undang. Bukan hanya level perizinan di daerah. Mereka (pengusaha asing) pun akan cari celah. Selama pejabatnya masih bisa disuap, korupsi itu terjadi untuk mendorong regulasi yang menguntungkan swasta. Yang membuat itu ya birokrat dan DPR. Untuk anggaran, kayanya semua koalisi. Mana yang betul-betul oposisi, saya tidak tahu," katanya.

Hendri mengungkapkan, para pengusaha tersebut bisa melakukan apa pun lewat suap DPR atau pemerintah daerah (pemda). Salah satu contoh nyata adalah banyaknya perizinan perusahaan tambang yang bermasalah.

"Kita kan tidak boleh naif bahwa pemain global ingin menguasai ekonomi kita. Kalau undang-undang membolehkan mereka, ya sudah, tidak akan bawa pengaruh untuk menghentikan mereka," papar Hendri.

Hendri kemudian memberi contoh mengenai UU Migas dan UU Penanaman Modal. Menurutnya, kedua undang-undang itu dibuat bukan tanpa suap.

"Artinya, bukan tanpa timbal balik. Kita juga tahu itu. UU itu sangat liberal. Pembelokan arah kebijakan ekonominya sangat sulit untuk bisa dilacak. Terjadi korupsi yang mahadahsyat di situ, dan kita susah menghentikannya," ujarnya.

Ia mengatakan, berbagai dugaan korupsi dan suap ini mengakibatkan program-program pemerintah sering kali salah sasaran sehingga hasilnya bukan untuk rakyat yang benar-benar membutuhkan. Oleh karena itu, lanjutnya, bukan hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang harus bekerja, melainkan juga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"BPK harus punya orang-orang yang bisa dipercaya untuk melakukan audit terhadap anggaran yang dibuat dan telah digunakan untuk rakyat. Temuan banyak di situ (BPK), tetapi tebang pilih juga ada di situ. Di bawah yang bertugas menyidik, ada auditor. Di atasnya ada anggota badan yang menentukan hasilnya. Itu yang harus dikuatkan agar bisa melihat bahwa anggaran benar-benar dipakai dan tidak salah sasaran. Contoh, laporannya dana untuk pasar di daerah, padahal daerah membutuhkan penguatan di sektor kesehatan. Itu salah satu contoh salah sasaran," tutupnya.

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Biaya Politik Mahal, Politisi Rampok Uang Negara

Posted: 04 Jun 2011 11:53 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com Korupsi politik berawal dari politisi. Biaya politik yang mahal, terutama untuk pemilihan umum, memaksa para politisi melakukan berbagai cara termasuk korupsi.

Demikian disampaikan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, dalam diskusi "Indonesiaku Dibelenggu Koruptor" di Warung Daun, Jakarta Selatan, Sabtu (4/6/2011).

"Korupsi politik awalnya dari politisi. Itu segalanya harus benar-benar diperhatikan. Biaya untuk jadi politisi ini semakin mahal. Ada yang menyatakan biayanya Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar untuk jadi anggota DPR. Ada juga yang menyatakan tidak kurang dari setengah miliar. Kemudian ada yang bilang, kalau rajin di lapangan (saat kampanye), maka biaya hanya ratusan juta. Ini yang memaksakan mereka untuk melakukan berbagai cara untuk memenuhi biaya politiknya," ujar Ikrar dalam diskusi itu.

Menurut Ikrar, seorang wakil ketua DPR pernah menuturkan kepadanya bahwa sering kali anggota DPR yang tidak memiliki bisnis, selain menjadi anggota dewan, melakukan upaya-upaya untuk korupsi. Namun, Ikrar tidak menyebut siapa wakil ketua DPR RI yang dimaksud.

"Saya pernah mendengar, sumbernya wakil ketua DPR RI. Katanya, 'Saya masih punya bisnis, jadi bisa membiayai biaya politik. Teman-teman yang enggak punya duit itulah yang lakukan (korupsi)'. Jadi, bukan mustahil terjadi korupsi, baik di lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan," ungkapnya.

Ketika menjadi politisi di Senayan, lanjut Ikrar, berbagai upaya untuk korupsi bisa saja dilakukan para anggota Dewan. Salah satunya dengan menyedot dana dari APBN, terutama untuk proyek atau tender tertentu.

"Anggaran paling banyak diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBNP). Di situ ada mark-up. Misalnya nilai Rp 300 miliar dinaikkan menjadi Rp 500 miliar. Sisanya, Rp 200 miliar, untuk mereka," paparnya.

Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menyatakan, korupsi biasanya juga dilakukan untuk proyek di daerah dengan kerja sama bersama pemerintah daerah (pemda).

Ia menuturkan, sebelum proyek dijalankan, pembagian jatah untuk anggota dewan yang terlibat sudah ditentukan terlebih dulu. Hal ini dilakukan agar tak terjadi konflik, baik di antara mereka maupun dengan pemain di daerah. Ia menyebut orang-orang tersebut sebagai mafia anggaran dalam Senayan.

Potensi korupsi lainnya, lanjut Ade, adalah penggunaan kewenangan dari politisi di DPR untuk menerima suap dalam pemilihan posisi pejabat tinggi tertentu. Ia langsung merujuk pada kasus dugaan suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Dalam kasus itu, sekitar 26 anggota Dewan periode 1999-2004 diduga mendapat cek pelawat yang totalnya mencapai Rp 24 miliar.

"Potensi lainnya dalam pemilihan pejabat untuk posisi penting atau calon kepala daerah. Yang penting ada transaksi. Kadang orang yang dipilih tidak ada hubungan antara bidang dan jabatan. Ujung-ujungnya untuk kepentingan partai politik. Tidak hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka ada juga yang terpaksa rampok uang negara beramai-ramai. Cari sumber-sumber untuk pertahankan kekuasaan atau jabatan," paparnya.

Ade menilai, kondisi politisi mencari sumber dana bagi partainya inilah yang menyebabkan partai cenderung melindungi anggotanya yang diduga melakukan korupsi.

"Pengakuan dari teman-teman partai itu begitu. Biaya politik mahal sehingga mereka melakukan segala cara mencari sumber dana untuk partai. Inilah makanya partai tidak akan tegas untuk menindak anggotanya, bahkan cenderung melindungi. Itu karena pemilu dan kegiatan politik butuh uang yang sangat besar," ujarnya.

Melihat korupsi politik yang muncul dari politisi ini, Ikrar menyatakan perlu adanya kewaspadaan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik pusat maupun daerah, dalam melihat calon-calon yang akan mengikuti pemilihan umum. Kalau tidak, maka akan muncul bibit-bibit koruptor yang siap memangsa uang negara untuk biaya politik dan kekuasaan ke depan.

Selain itu, independensi Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan tetap terjaga karena mereka sering menjadi tempat terakhir dalam penyelesaian sengketa pemilihan umum (pemilu). "KPU dan KPUD, Panwaslu, juga Mahkamah Konstitusi harus teliti dan bersih menentukan siapa yang akan menjadi pemenang pemilu," tandas Ikrar.

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan