Selasa, 31 Mei 2011

KOMPAS.com - Regional

KOMPAS.com - Regional


Kesaksian Marto, Kakek Renta Umur 100 Tahun

Posted: 31 May 2011 07:58 AM PDT

PINRANG, KOMPAS.com - Di kompleks Yayasan Baramuli, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, hidup bapak tua bernama Marto. Konon, umur Marto hampir mencapai 100 tahun. Meski sudah bongkok saat berjalan, mata si kakek yang sudah mempunyai 20 cucu, masih sangat awas, untuk ukuran orang seusianya.

Di usia rentanya, kemandirian Marto masih terlihat. Mengandalkan dua bidang lahan kosong bekas pabrik karung goni yang masih satu areal dengan kompleks Yayasan Baramuli, Marto ditemani seorang anak laki-lakinya,  bercocok tanam berbagai komoditi.

"Bapak sudah tua nak, tapi bapak tidak bisa diam atau hanya berpangku tangan. Bapak tidak ingin menjadi beban bagi keluarga, jadi harus tetap kerja. Tapi itu ada anak saya yang biasa menemani," katanya dalam bahasa daerah Pattinjo, kepada Kompas.com.

Ada yang menarik dari penuturan bapak tiga anak ini. Ia mengaku sempat merasakan beratnya hidup di masa penjajahan Belanda hingga kekejaman bangsa Jepang.

Ia mengatakan, pada masa kekuasaan Belanda di Kabupaten Pinrang, yang sebelumnya bernama Pinra-pinra, rakyat tidak hanya hidup di bawah tekanan, tapi juga dipaksa bekerja membajak dan mengelola pertanian untuk kepentingan para penjajah.

Bahkan, seluruh hasil pertanian rakyat ikut dikuasai Belanda ketika itu. "Hanya sedikit bagian yang diberikan kepada warga pribumi ketika itu. Bapak lupa tahun berapa, tapi masa itu betul-betul sangat berat. Tenaga kami dikuras untuk imbalan yang hanya cukup untuk makan sekali," kata Marto.

Selain dipaksa menggarap lahan pertanian kolonial Belanda, sebagian masyarakat pribumi dijadikan buruh pikul untuk mengangkut hasil pertanian dari perkampungan warga ke kamp Belanda. Tidak tanggung-tanggung, kata Marto, mereka harus memikul beban hingga 60 kilogram, menempuh jarak puluhan kilometer selama dua hari dua malam.

Ketika itu akses menuju Letta ke Basseang, melalui belantar, perbukitan hingga menyeberang sungai. Itu belum jika musim hujan, sebab jalanan yang menukik menjadi sangat licin.

"Tak jarang di antara kami ada yang beberapa kali terjatuh. Waktu itu kami diupah satu rupiah untuk sekali memikul. Tapi kami bersyukur, karena selama perjalanan kami diberi makan yang cukup, selain hadiah rempah-rempah dari komandan Belanda, saat tiba di kamp mereka," katanya.

Penderitaan rakyat berlanjut ketika bangsa Jepang menggantikan kekuasaan Belanda. Jepang yang awalnya masuk dengan propaganda sebagai pelindung Asia, justru semakin menyengsarakan rakyat. Kelaparan terjadi di mana-mana. Penyiksaan fisik seperti tendangan hingga hukuman cambuk, kerap mereka terima.

"Bahkan beberapa teman saya ada yang mati di tembak karena melakukan perlawanan," kata Marto.

Masa Jepang berakhir, penderitaan mereka belum berakhir. Proklamasi yang menandakan kemerdekaan Indonesia justru disusul aksi para gerilyawan. Semakin banyak nyawa rakyat yang melayang sia-sia, menjadi korban pembunuhan.

Warga yang dicurigai sebagai mata-mata atau korban fitnah kelompok tertentu ditembak hingga tewas. "Kami tidak boleh mengubur yang sudah mati di tembak, kalau tidak ingin ikut ditembak. Mayat-mayat hanya dihanyutkan ke sungai setelah dibunuh," tuturnya.

Di masa kemerdekaan, Marto sempat menerima santunan dari pemerintah sebesar Rp 700 ribu per bulan. Namun, semangat hidupnya tidak patah ketika tiba-tiba Pemerintah menghentikan santunan tersebut. "Saya lebih menikmati hidup saya yang sekarang, nak. Karena tiap hari anak dan cucu saya datang berkunjung," jawabnya.

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Sanksi Kepala Daerah Pelaku Kejahatan Lebih Berat

Posted: 31 May 2011 07:34 AM PDT

Kasus Kehutanan

Sanksi Kepala Daerah Pelaku Kejahatan Lebih Berat

Dwi Bayu Radius | Glori K. Wadrianto | Selasa, 31 Mei 2011 | 14:34 WIB

PALANGKARAYA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) akan mengusulkan agar kepala daerah yang melakukan kejahatan kehutanan dikenakan sanksi lebih berat. Sanksi akan diajukan dalam revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (31/5/2011) mengatakan, bentuk sanksi untuk kepala daerah itu berupa hukuman yang lebih besar sepertiga dari pelaku kejahatan pada umumnya. Patokannya yakni sanksi terhadap anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Anggota KPK yang melakukan pelanggaran akan terkena sanksi lebih berat sepertiga dari hukuman biasa. "Bupati atau wali kota pelaku kejahatan kehutanan juga harus seperti itu," katanya.

Tak hanya kepala daerah, sanksi yang lebih berat itu juga diusulkan dikenakan kepada pejabat kementerian dan pemerintah daerah. Mereka dianggap tahu banyak mengenai bidang kehutanan sehingga seharusnya dapat bertindak sebagai pendukung penerapan hukum yang tertib. Karena itu, jika menyalahgunakan wewenang dan justru melakukan pelanggaran, kesalahan mereka dianggap lebih berat.

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Kirim Komentar Anda

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan