KOMPAS.com - Nasional |
Kelompok Rentan Miskin Jadi Bom Waktu Posted: 22 Jan 2013 09:35 AM PST JAKARTA, KOMPAS.com — Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyarankan kepada pemerintah untuk memperbaiki kebijakan ataupun membuat kebijakan baru yang tepat untuk mengurangi kesenjangan ekonomi di masyarakat. Pasalnya, jumlah kelompok yang rentan miskin sebesar 70 juta jiwa dinilai berbahaya. Hal itu dikatakan Sekretaris KEN Aviliani seusai sidang kabinet paripurna di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (22/1/2013). Dalam sidang kabinet paripurna itu, KEN menyampaikan pandangan dan rekomendasi kepada pemerintah terkait perkembangan ekonomi ke depan. Sidang kabinet itu dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Boediono. Ikut hadir jajaran menteri, Dewan Pertimbangan Presiden, pimpinan Bank Indonesia, dan pimpinan lembaga pemerintahan non-kementerian. Aviliani mengatakan, kenaikan pendapatan per kapita di Indonesia relatif kecil, yakni hanya 2 persen per tahun. Angka itu tidak sebanding dengan angka inflasi sebesar 4-5 persen. Akibatnya, masyarakat miskin atau yang rentan miskin tidak pernah naik kelas. Berbeda dengan kalangan menengah, kata Aviliani, peningkatan pendapatan per kapita mencapai 6 persen. Akibatnya, kesenjangan terus meningkat. "Itu bom waktu. Suatu saat kesenjangan itu tidak akan pernah bisa kita turunkan. Padahal kan kita ingin pertumbuhan itu merata dan tidak timpang. Kadang pertumbuhan makin bagus, ketimpangan semakin tinggi," kata dia. Aviliani memberi contoh program beras untuk rumah tangga miskin atau raskin yang seharusnya dapat membantu kelompok miskin dan rentan miskin. Setiap keluarga miskin dan rentan miskin semestinya mendapat 15 kg raskin tiap bulan. Nyatanya, hanya kelompok miskin yang mendapat jatah raskin. Itu pun yang diterima di bawah kebutuhan. "Terus juga harganya, tidak dapat Rp 1.600 per liter tapi di atas Rp 1.600 per liter. Ternyata orang miskin ini tidak punya akses informasi. Jadi dia enggak tahu haknya, yaitu dapat 15 kg raskin dengan harga 1.600 per liter," kata Aviliani. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, rekomendasi KEN yang bisa diterima pemerintah tentu akan diterjemahkan dalam program aksi. "Intinya agenda aksi sehingga kita bisa mengimplementasikan segera di anggaran 2013 ini," kata dia. Editor : Aloysius Gonsaga Angi Ebo |
Calon Hakim Agung Setuju Perda Larangan Mengangkang Posted: 22 Jan 2013 07:30 AM PST JAKARTA, KOMPAS.com — Salah satu calon hakim agung, Yakup Ginting, mendukung peraturan daerah di Lhokseumawe yang melarang perempuan mengangkang saat dibonceng dengan sepeda motor. Hal ini disampaikan Yakup saat menjawab pertanyaan anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, dalam uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung di Komisi III DPR, Selasa (22/1/2013). "Perda larangan mengangkang di Lhokseumawe, argumennya karena keunikan dari qanun. Ketika posisi qanun ini sebagai justifikasi produk perda dikaitkan dengan sistem yang bertentangan dengan HAM yang diatur undang-undang, bagaimana titik temunya?" tanya Eva. Yakup menjawab bahwa produk peraturan daerah sesuai dengan Undang-undang Otonomi Daerah, yang dalam hal ini daerah tersebut diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya. "Ketika perda itu tidak sesuai dengan aturan lebih tinggi, ini memang masalah. MA sebenarnya punya kewenangan uji materi terhadap peraturan di bawah UU, tapi persoalan ini sensitif," kata Yakup. Hakim Pengadilan Tinggi Makassar tersebut mengatakan, persoalan perda larangan mengangkang ini sensitif karena terikat dengan kondisi sosiologis masyarakat suatu daerah. "Sebenarnya secara sosiologis, perda itu bisa diterima dalam rangka Bhinneka Tunggal Ika," kata Yakup. Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan dialog untuk menemukan titik temunya. "Para pakar perlu diundang untuk menjelaskan soal perda itu. Ini jalan keluarnya," ujar dia. Hingga hari ini, Komisi III sudah melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 22 calon hakim agung. Besok, Rabu (23/1/2013), seleksi akan kembali dilanjutkan untuk dua calon hakim agung yang tersisa. Selanjutnya, Komisi III akan memilih delapan hakim agung baru. Editor : Inggried Dwi Wedhaswary |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan