Selasa, 27 November 2012

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Parpol Gurem Nilai Putusan DKPP Diskriminatif

Posted: 27 Nov 2012 12:23 PM PST

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum Partai Buruh Sonny Pujisasono menilai, putusan DKPP terkait KPU harus memverifikasifaktualkan 18 parpol merupakan bentuk diskriminasi. Pasalnya, DKPP menyatakan verifikasi faktual kedelapan belas parpol harus tidak mengubah jadwal tahapan pemilu.

"Ini jelas tidak adil. Soalnya dulu waktu putusan MK terkait verifikasi, parpol besar diberikan waktu oleh KPU, tetapi kami kini tidak diberikan waktu dan tetap menjalani verifikasi dengan keterbatasan waktu itu tadi," kata Pujisasono, di Jakarta, Selasa (27/11/2012).

Pujisasono menambahkan, DKPP seharusnya memundurkan jadwal verifikasi faktual pada kedelapan belas parpol itu. Sebab, sejak pengumuman verifikasi administrasi, KPU telah merusak infrastruktur parpol.

Putusan KPU itu, terangnya, ibarat bencana tsunami bagi parpol yang dinyatakan tidak lolos. Parpol yang tidak lolos diakuinya butuh waktu menyosialisasikan ke setiap Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Sementara waktu tahapan verifikasi faktual lanjutnya sudah mau habis.

"MK sudah jelas menyebutkan semua parpol harus diberikan keadilan. Semuanya sama tidak ada yang dibeda-bedakan seperti ini. Ini sangat bertentangan dengan putusan MK yang bersifat mengikat," katanya.

Hal serupa diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) Kun Abyoto. Menurutnya, diskriminasi DKPP terlihat dalam kedelapan belas parpol menjalani tahapan verifikasi faktual di waktu yang tidak tepat. Sebab, tahapan itu dilakukan saat parpol lain sedang menjalani perbaikan verifikasi faktual.

"Akan lebih baik partai yang tidak lolos ini diberikan pengecualian terhadap tahapan yang ada," kata Abyoto.

Meskipun demikian, PDK tidak risau atas putusan DKPP. Sebab, partainya telah menyiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam verifikasi faktual. Selain itu, semangat anggota partainya juga tinggi agar dapat dinyatakan menjadi peserta pemilu 2014.

Sebelumnya, DKPP memutus Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib mengikutsertakan parpol yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diikutkan dalam verifikasi faktual. Penyertaan kedelapan belas parpol itu harus sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU.

Hal itu disampaikan Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie saat membacakan sidang putusan dugaan pelanggaran kode Komisioner KPU di gedung BPPT, Jakarta, Selasa (27/11/2012).

"Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar 18 partai politik (Parpol) calon peserta Pemilu, yang terdiri atas 12 parpol yang direkomendasikan oleh Bawaslu ditambah 6 partai politik lainnya yang tidak lolos verifikasi administrasi tetapi mempunyai hak konstitusional yang sama," kata Jimly.

Selanjutnya, DKPP memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan putusan ini. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta DKPP untuk mengawasi pelaksanaan putusan itu.

"Kedelapan belas parpol ini diikutsertakan dalam verifikasi faktual dengan tidak mengubah jadwal tahapan pemilu. Kedelapan belas parpol tersebut harus menyesuaikan dengan ketentuan verifikasi faktual yang ditetapkan oleh KPU," ungkapnya.

Adapun kedelapan belas parpol tersebut adalah

1. Partai Demokrasi Kebangsaan
2. Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia
3. Partai Kongres
4. Partai Serikat Rakyat Independen (SRI)
5. Partai Karya Republik
6. Partai Nasional Republik
7. Partai Buruh
8. Partai Damai Sejahtera (PDS)
9. Partai Republik Nusantara
10. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
11. Partai Karya Peduli Bangsa
12. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia
13. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
14. Partai Kebangkitan Nasional Ulama
15. Partai Republik
16. Partai Kedaulatan
17. Partai Bhinneka Indonesia
18. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia

Eks Penyidik Sebut KPK Rawan, Harus Diselamatkan

Posted: 27 Nov 2012 12:08 PM PST

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Komisaris Polisi (Kompol) Hendy F Kurniawan mengaku khawatir dengan kondisi lembaga antikorupsi tersebut di bawah pimpinan Abraham Samad.

Ia menilai, ada beberapa standard operating procedure (SOP) yang telah ditabrak oleh Abraham.

"Ini KPK sudah rawan karena kompetensi pimpinan, terutama Abraham Samad, ini sudah di luar harapan kami dari awal," ujar Hendy di lingkungan Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/11/2012).

Ia membeberkan beberapa pelanggaran yang terjadi di KPK, di antaranya ketika Abraham Samad menetapkan Miranda S Goeltom dan Angelina Sondakh sebagai tersangka dalam kasus yang berbeda.

Menurut Hendy, saat itu belum ada bukti permulaan yang cukup untuk menjerat keduanya sebagai tersangka dan belum dilakukan ekspos perkara. Surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) saat itu juga belum diterbitkan.

"Penyidik dan jaksa penuntut umum berkeyakinan tidak ada alat bukti dalam kasus itu dan kami sudah tuangkan dalam notulen melalui beberapa gelar, memang tidak ada bukti. Kemudian Abraham serta-merta mengungkap kepada publik bahwa Miranda Goeltom sebagai tersangka. Apakah kami kemudian mau melakukan itu (penyidikan)? Kami digaji oleh rakyat, kami tidak mau munafik," paparnya.

Penetapan tersangka di KPK harus berdasarkan keputusan bersama atau adanya kolektif kolegial. Namun, Hendy mengatakan saat pengumuman Miranda Goeltom sebagai tersangka, beberapa pimpinan juga tidak mengetahuinya.

"Waktu pengumuman itu, tidak semua pimpinan tahu. Ada pimpinan Pak BW (Bambang Widjojanto) yang mencoba mencairkan suasana dengan mempertemukan kami, tetapi dari Abraham sendiri tidak ada yang mau menjelaskan kepada kami," terangnya.

Namun, Hendy yang sudah 4 tahun bertugas di KPK itu, enggan berkomentar dengan anggapan bahwa antara pimpinan di KPK sering bertentangan. "Aduh, kompak tidaknya tanyakan Abraham," terangnya.

Ia juga merasa terganggu saat Abraham mengatakan pada media bahwa kasus Hambalang tinggal menghitung hari dan akan ada tersangka seorang menteri. Ia sendiri mengaku selalu menentang keputusan Abraham yang dianggapnya tidak sesuai prosedur. Beberapa hal itulah, menurutnya, yang harus menjadi bahan evaluasi bagi Abraham dan KPK agar tidak kembali terulang.

"Dulu saya keras, sampai saya tunjuk-tunjuk Abraham Samad dan sekarang di Century itu diulangi lagi. Kalau begitu masyarakat harus bisa menilai, ada apa dengan KPK? Apakah sedang ingin dirobohkan dari dalam? Ini harus diselamatkan," terangnya.

Hendy mengaku terpaksa mengungkapkan hal tersebut kepada publik untuk perbaikan di KPK. Sebagai mantan penyidik, ia merasa ada tanggung jawab moril untuk mengkritisi lembaga penegak hukum tersebut.

"Kami ini beban moral untuk berkata yang sebenarnya. Jangan kemudian kami digaji besar, kami tidak profesional. Kami ingin menunjukkan dulu bahwa kami ini mampu. Mungkin Samad ini hanya cari popularitas murahan dengan janji-janji ke DPR," terangnya.

Hendy sendiri termasuk mantan penyidik yang ikut dalam pertemuan dengan Komisi III DPR beberapa waktu lalu. Ia memang mengungkapkan beberapa pengalamannya saat di KPK, tetapi perihal soal penyadapan, tidak dijelaskannya secara teknis. Hendy membantah pengakuannya tersebut untuk melemahkan KPK.

"Saya mengungkap ini sebagai mantan penyidik KPK dan saya mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelamatkan KPK dari tindakan-tindakan yang berefek untuk citra maupun KPK masa depan," ujarnya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan