Rabu, 26 September 2012

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


MK: Penyelidikan Kepala Daerah Tak Perlu Izin Presiden

Posted: 26 Sep 2012 01:06 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Undang-Undang No.12/2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Dengan demikian, Aparat penegak hukum terutama Kejaksaan dan Polisi Republik Indonesia (Polri) tidak lagi harus meminta persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan proses hukum penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang terlibat perkara dugaan korupsi.

"Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagian permohonan pemohon," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (26/9/2012).

MK berpendapat, persetujuan tertulis dari Presiden yang disyaratkan dalam proses penyelidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Pemda akan menghambat proses penyelidikan. Sebab, Presiden diberi waktu 60 hari untuk mengeluarkan persetujuan tersebut.

Dalam tenggang waktu itu, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Bahkan penyelidikan yang dirahasiakan dapat diketahui oleh yang bersangkutan.

"Syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan," ujar Hakim Konstitusi Akil Mochtar.

Akil menjelaskan, Mahkamah mempertimbangkan pendapat tertulis dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan bahwa persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden telah menghambat keseluruhan proses peradilan. Dia mengatakan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jelas menjamin bahwa sistem peradilan di Indonesia harus bebas dari intervensi.

"Persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau pejabat manapun tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negara secara berbeda di hadapan hukum," ucapnya.

Dia menjelaskan, proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana, meskipun mungkin mengganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah, namun tidak menghalangi yang bersangkutan untuk menjalankankan tugasnya. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diselidiki dan disidik masih dapat melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa.

Mengenai adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda, dan terhadap sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, menurut Akil, pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, namun pejabat negara juga merupakan warga negara.

Sebagai subjek hukum, terlepas dari jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di hadapan hukum.

"Oleh karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan kepala daerah yang bersangkutan karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah agar Presiden sebagai pimpinan dari para kepala daerah mengetahui bahwa pimpinan dari suatu daerah akan mengalami proses hukum yang membatasi ruang geraknya, sehingga yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas pemerintahan dengan baik, dan akan berakibat pada terjadinya kekosongan pimpinan daerah. Berdasarkan hal itu Presiden melalui Menteri Dalam Negeri segera dapat mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," paparnya.

Salah satu kuasa hukum para pemohon, Donal Fariz mengapresiasi keputusan Mahkamah. Menurut Donald, langkah Mahkamah ini merupakan percepatan kinerja aparat penegak hukum terutama Polri dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Sebab, selama ini fakta di lapangan membuktikan karena posisi jaksa dan polisi dibawah Presiden akhirnya muncul kegamangan bagi mereka untuk bertindak melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kepala dan/atau wakil kepala daerah.

"Walaupun keputusan MK tidak sempurna, sudah pasti ini menggembirakan bagi upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan. Kekecewaan kami hanya ketika masih dibutuhkan ijin terhadap penahanan para tersangka kasus korupsi kepala dan/atau wakil kepala daerah. Jadi, proses penyelidikan dan penyidikan bisa dilalui tanpa ijin dari Presiden namun yang dibutuhkan ijin hanya saat penahanan saja," kata Donald.

Pengujian UU Pemda ini dimohonkan sejumlah aktivis anti korupsi yaitu Indonesia Corruption Watch (ICW), Feri Amsari (Dosen FH Andalas), Teten Masduki (Sekjen TII), dan Zainal Arifin Mochtar (Direktur Pukat UGM).

Editor :

Erlangga Djumena

SRI: Pemerintah Kurang Serius Membangun Demokrasi

Posted: 26 Sep 2012 11:48 AM PDT

SRI: Pemerintah Kurang Serius Membangun Demokrasi

Penulis : Aditya Revianur | Kamis, 27 September 2012 | 01:39 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua bidang politik Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) Rocky Gerung mengungkapkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono - Budiono masih kurang serius membangun demokrasi. Hal tersebut terlihat dari kebijakan pemerintah yang selalu kontradiktif dan berperan ganda.

"Ada kontradiksi pemerintah dalam membangun demokrasi. Di satu sisi membangun soft democracy tapi di sisi lain hard democracy. Ini jelas setengah-setengah dalam membangun demokrasi yang sesungguhnya," ujar Rocky di acara diskusi Rusak Budaya Hancur Negara di Taman Ismail Marzuki Cikini, Jakarta, Rabu (26/9/2012).

Rocky menjelaskan, kebijakan mendua yang dilakukan pemerintah dalam membangun demokrasi dapat terlihat dari penerapan kebijakan di ranah nyata. Di satu sisi, penerapan soft democracy dengan jalan diplomasi untuk menyelesaikan masalah diimbangi dengan langkah hard democracy seperti penambahan anggaran militer atau pembiaran terhadap tindakan yang melawan hukum.

Ia juga melihat bahwa pemerintahan SBY juga turut mendua dalam hal pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi, lanjutnya, adalah salah satu aspek dalam membangun demokrasi yang sehat tanpa politik transaksional. "Kalau demokrasi dibangun dengan kontradiksi maka hasilnya dapat dipastikan bukan demokrasi. Pembangunan demokrasi harus diikuti oleh pemberantasan korupsi yang sungguh-sungguh," tambahnya.

Ia mengingatkan pemerintahan SBY - Budiono untuk serius membangun demokrasi yang sehat berdasakan upaya soft democracy. Terlebih lagi, kewenangan KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi harus dilindungi dan disokong penuh oleh presiden.

Pemerintahan SBY, lanjutnya, harus tegas dalam menentukan sikapnya membangun demokrasi. Penegasan sikap tersebut harus dilakukan dengan kebijakan soft democracy karena Indonesia bukan negara tiran. Keadaan mendua hanya akan menimbulkan kegeraman masyarakat atas kinerja SBY.

Editor :

Erlangga Djumena

Tiada ulasan:

Catat Ulasan