Sabtu, 30 Jun 2012

Republika Online

Republika Online


Bagaimana Memberi Tip alias Persenan?

Posted: 30 Jun 2012 08:16 PM PDT

REPUBLIKA.CO.ID,Dengan wajah panik, Vonny merogoh satu per satu saku baju dan celana. Tak ditemukan uang kecil. Di saku celananya terselip Rp 50 ribu. ''Masa sih memberi tip ke bellboy Rp 50 ribu? Kebesaran,'' pikirnya.Ia melirik barangnya yang ditenteng si bellboy. Tidak berat, hanya koper kecil berisi dua stel pakaian.

Tebersit di benak Vonny hanya memberi senyuman dan ucapan terima kasih. Tapi, lelaki berseragam dengan topi mirip kopiah itu tak beranjak dari depan pintu kamar. Dia mematung tersenyum ke arah Vonny. Walau tak terucap, Vonny paham betul bahwa ia menunggu tip.Di benak si bellboy, tampaknya, ''Sudah membawakan koper, mengantar, membuka kamar, dan menyalakan lampu-lampu. Jerih payah ini harus mendapat imbalan. Para tamu memberi tips hal biasa. Semua orang sudah tahu.''

Sedangkan Vonny menganggap, ''Itu kan tugas dia sebagai karyawan hotel. Masa harus ada bayaran lagi?'' Suasana saling menunggu harus segera diakhiri. Dengan terpaksa karyawati swasta itu menyerahkan selembar Rp 50 ribu. Si bellboy tersenyum senang.

''Terima kasih Bu. Selamat istirahat,'' tuturnya sambil memasukkan uang tip ke saku bajunya. Giliran Vonny yang kesal, Rp 50 ribu melayang. Untung di dalam negeri, kalau di luar negeri memberi tips 50 dolar AS, pasti merugi.

Proses pembelajaran yang berlaku selama ini, ketika ada yang membantu harus dibalas. Tip alias persenan, kata Rizal Manan SPsi, bentuk balas jasa kepada seseorang yang telah membantu kita. Tapi, sebenarnya memberi tip bukan sebuah kewajiban. ''Tidak ada kata `harus','' kata lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) ini. Sebab, tidak ada aturan tertulis yang mengharuskan memberi tip.

Jadi, tip bersifat sukarela. Terserah masing-masing pihak apakah akan memberi atau tidak. Berapa jumlah tip yang harus dikeluarkan pun tak ada patokan.Dilihat sejarahnya, lanjut Rizal, tips merupakan budaya Barat. Di Barat orientasinya keuntungan. Apa pun selalu dikaitan dengan untung rugi. Pelayan di luar negeri secara to the point menyodorkan tangan meminta tips setelah melayani tamu. Di restoran, kafe, tip dicantumkan dalam struk pembayaran.

Tertulis dalam daftar service. Namun, meski membayar tip sebesar lima persen, biasanya para tamu masih menyisihkan tip tambahan.Kata 'tip' itu sendiri konon berasal dari abad ke-16. Artinya, memberi, menyerahkan, kemungkinan berasal dari bahasa Jerman lama tippen. Tapi, dalam bahasa Jerman modern, istilah persenan disebut Trinkgeld, uang untuk minum. Bahasa Prancis, le pourboir, artinya pun sama.

Di negara-negara Uni Eropa praktik pemberian tip beragam. Namun, secara umum tak dianggap sebagai kewajiban. Di Prancis, misalnya, meski tak diharapkan, tapi tak jarang orang menyisih kan, meninggalkan uang kembalian di meja. Di AS, pemberian tip berlaku luas. Bila Anda sedang di luar negeri mau tidak mau harus mengikuti budaya setempat. Jika tidak memberi tips, Anda dianggap lain, aneh.

Nah ... budaya Barat ini diadopsi ke Tanah Air. Akibatnya, kata Rizal Manan, kini menjadi kebiasaan. Seakan-akan setelah memberi jasa, `harus' ada balasan. Restoran, kafe di kota-kota besar kini mencantumkan service pada bon pembayaran. Di daerah-daerah pariwisata pun sudah akrab dengan budaya tip.
`'Perilaku itu yang kini menetap di Indonesia. Setiap memberi jasa, tidak cukup ucapan terima kasih tapi harus ada tip,'' ujar psikolog di Lembaga Terapan Psikologi UI ini.

Gara-gara adopsi kebiasaan Barat itulah, kini setiap jasa apa pun harus mengeluarkan 'uang terima kasih'. Mendorong mobil, mencarikan parkir, membukakan pintu taksi, dan lainnya harus memberi tip. Tidak ada lagi yang gratis.

Sebetulnya, kata Rizal, terserah saja mau memberi, atau tidak. Namanya juga sukarela. Tapi kalau semua memberi, si penerima jasa yang tidak memberi, dianggap aneh. Akibatnya, tidak enak hati. Di sisi lain, si pemberi jasa akan setia menunggu, tidak mau pergi sebelum mendapat tips.`'Rasa bersalah dan emosi kita sebenarnya yang dimanfaatkan si pelayan,'' ujar Rizal. Padahal, bila kita berpikir dengan rasio, si pelayan sudah digaji oleh perusahaan tempat ia bekerja.

Bila emosi kita tidak terpancing, cukup terima kasih saja sebenarnya tidak masalah. ''Sekarang tergantung emosi Anda, apakah Anda tega mendiamkan orang yang sudah membantu Anda,'' tambahnya. Namun, Rizal mengingatkan perkembangan lain yang mengerikan. Kini tip diibarat alat keamanan. Ambil contoh, parkir di kawasan tertentu bila pengendara mobil tidak memberi tip kepada tukang parkir liar akan menghadapi risikonya kendaraan digores. Lalu, bagaimana dalam keadaan seperti ini? `'Demi keamanan lebih baik mengeluarkan uang berapa ribu daripada risikonya lebih besar,'' kata Rizal. Penyelesaian soal tip ternyata bolak-balik antara perasaan dan rasio.

Liburan ke Bandung, Kunjungi Kampung Gajah

Posted: 30 Jun 2012 08:11 PM PDT

REPUBLIKA.CO.ID,Berlibur ke Bandung, Jawa Barat, dengan membawa anak-anak yang berbeda-beda selera? Rasanya, itu bukan masalah besar karena ada satu alternatif yang bisa dipilih. Kampung Gajah namanya, walaupun tak ada seekor pun gajah di sana.

Berada di lereng perbukitan Lembang, lokasi wisata ini memiliki luas hampir 70 hektare. Kampung Gajah menyediakan wahana beragam. Dari bayi sampai remaja, bahkan dewasa, bisa berwisata ke sana.
Menuju lokasi ini dari Kota Bandung, bisa melalui Jalan Sukajadi atau Jalan Setiabudi ke arah Lembang. Tepat di seberang Sub Terminal Ledeng, pengunjung tinggal berbelok ke kiri dan mengikuti lajur yang berkelok. Tak perlu khawatir tersesat karena hanya satu ruas jalan di situ.

Melewati beragam tempat singgah-berupa aneka kafe-dan pedagang bebungaan di sepanjang jalan, Kampung Gajah terletak di sisi kiri jalan. Tandanya mudah, lihat saja deretan patung gajah di tepi jalan.
Tiket masuk yang dikenakan adalah Rp 10 ribu per orang, Rp 20 ribu untuk bus, Rp 10 ribu untuk mobil, dan Rp 5 ribu untuk sepeda motor. Untuk masing-masing wahana, dikenakan tarif lagi. Besarannya berkisar Rp 15 ribu sampai Rp 175 ribu, tergantung wahananya. Ada 25 wahana-dari petik strawberi sampai bungee trampoline-yang tersedia.

Salah satu wahana unggulan untuk anak-anak di Kampung Gajah adalah Tubby Slide. Public Relation Officer Kampung Gajah Susan Dewi P mengatakan, wahana ini diadopsi dari Italia, dan masih satu-satunya di Asia. "Dengan material khusus juga," kata dia. Permainan berupa lintasan seluncuran ini tidak berakhir di air, tetapi di hamparan tanah dengan pelapis khusus yang tak akan mencederai anak-anak. Kampung Gajah tak hanya berbeda dengan lokasi wisata di sekitarnya dari jumlah wahana, tapi juga dalam lokasi yang sama, tergabunglah wisata kuliner, wahana, dan pemandangan alam sekaligus. Slogan yang diusung memang "fun, exotic, recreation".

Penggemar aktivitas luar ruangan bisa menjajal touring ATV, fun bike, segway, menunggang kuda, out bond, dan aktivitas menantang lain. Rekreasi anak bisa terpuaskan dengan arena bermain, mini flying fox, dan trek sepeda. Penyuka belanja dan kuliner pun mendapat fasilitas tersendiri di sini.

Ada empat restoran di Kampung Gajah. Masing-masing menggoyang lidah pengunjung dengan masakan Jepang, Sunda, Barat, dan oriental. Selain restoran, pengunjung pun masih bisa mencicipi masakan lokal seperti tahu gejrot khas Cirebon dengan harga pedagang asongan. Makanan lokal itu bisa disantap dengan Rp 8 ribu per porsi.

Haduri, salah satu pedagang tahu gejrot, mengatakan, ia memang mendapat kesempatan dari Kampung Gajah untuk berdagang tanpa ada biaya lapak dan modal. Kesepakatannya hanya pembagian hasil penjualan per hari.

Memburu paket keluarga
Pemandangan Kota Bandung dari ketinggian, merupakan salah satu hidangan gratis untuk mata pengunjung Kampung Gajah. Kalau kurang puas, tersedia balon udara yang akan melayang setinggi 10 meter.
Sonny Ginanjar, staf Kampung Gajah, mengatakan, pada akhir pekan pengunjung tempat wisata ini bisa mencapai 30 ribu orang. Memasuki liburan sekolah, kata dia, sudah ada peningkatan jumlah pengunjung, tapi belum seramai akhir pekan. "Mungkin karena sekarang liburan sekolah tidak serempak," kata dia.

Pengunjung Kampung Gajah ternyata tak hanya datang dari kawasan Bandung dan sekitarnya. Republika menjumpai satu rombongan keluarga, yang jauh-jauh datang dari Pontianak, Kalimantan Barat.
"Tahu lokasi ini dari internet," kata Ana yang tengah mengawasi anak-anaknya bermain mini ATV. Situs yang dia buka adalah www.kampunggajah.com. Menurut Ana, tarif lokasi wisata dengan wahana bervariasi ini tidak mahal. Apalagi, kata dia, tersedia paket keluarga.

Bukan berarti, semua pengunjung datang dari jauh. Ny Toni dari Cimahi pun membawa anak-anaknya yang sedang libur sekolah ke sana. "Komplet, tidak perlu pindah-pindah, sudah banyak variasinya," kata dia, yang mengawal dua anak lelaki dan satu anak perempuan. Jadi, di sini anak-anak bisa berlibur dan menjelajah. Selamat berlibur ke Kampung Gajah, meski tanpa gajah.
 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan