KOMPAS.com - Nasional |
Kepolisian Jangan Jadi Alat Kelompok Radikal Posted: 14 May 2012 09:54 AM PDT JAKARTA, KOMPAS.com -- Polri didesak untuk tidak menjadi alat kelompok-kelompok radikal, terutama dengan cara membiarkan mereka melakukan kekerasan atas nama agama. Polisi semestinya harus menjadi alat negara yang menjamin perlindungan atas kebebasan berpikir, berpendapat, dan berkeyakinan. "Sikap intoleran juga merasuk dalam tubuh kepolisian sehingga menjadi alat untuk melancarkan aspirasi kelompok radikal. Padahal, semestinya kepolisian bertugas melindungi konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat, beragama, dan berkeyakinan," kata Wakil Direktur The Wahid Institute, Rumadi, Senin (14/5/2012) di Jakarta. Ia mengemukakan, konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 menjamin siapa pun merdeka untuk berpikir, berbeda pendapat, dan menyuarakannya. Jaminan ini harus dilaksanakan sehingga ruang publik menjadi sarana untuk mempertukarkan gagasan. "Aparat kepolisian harus bekerja untuk memastikan jaminan perlindungan atas hak konstitusional itu. Jika tidak, nanti masyarakat akan mencari jalan keluar untuk melindungi diri dengan caranya sendiri. Dikhawatirkan, muncul gerakan masyarakat yang melawan kelompok radikal," katanya. Rumadi mengungkapkan, selama ini Indonesia diklaim sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia yang cenderung toleran, moderat, dan menerima demokrasi. Itu disodorkan sebagai model untuk negara-negara Islam lain di dunia. Klaim itu sekarang mendapat tantangan serius. "Saat ini, ada cara baru dalam menyikapi perbedaan yang tumbuh di kalangan kelompok-kelompok tertentu, yaitu hasrat dengan memusnahkan kelompok yang dianggap berbeda dan sesat. Ini harus dicegah agar kekuatan Indonesia sebagai negara Muslim yang moderat bisa dipertahankan," tuturnya. |
Kepolisian Diminta Lebih Lindungi Hak Warga Posted: 14 May 2012 09:38 AM PDT Kepolisian Diminta Lebih Lindungi Hak Warga Ilham Khoiri | Agus Mulyadi | Senin, 14 Mei 2012 | 23:24 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Kepolisian tampak sering gamang dalam mengantisipasi kekerasan atas nama agama, bahkan cenderung membiarkannya. Ini bisa memperburuk situasi, bahkan menyuburkan perilaku intoleran yang menentang kebebasan berpikir dan berpendapat. Imbauan itu disampaikan Direktur Center for Study Religion and Culture (CSRC) Irfan Abubakar, di Jakarta, Senin (14/5/2012). "Sikap aparat keamanan selama ini sering diliputi kebingungan. Sikap yang tak jelas itu justru bikin situasi menjadi tidak jelas juga," katanya. Irfan Abubakar menyoroti berbagai kasus kekerasan atas nama agama. Kelompok mayoritas berusaha melakukan kekerasan terhadap kelompok minoritas yang dianggap menyimpang, bahkan itu dilakukan dengan kekerasan. Kepolisian yang semestinya sebagai pengayom dan pelindung warga, justru kerap bingung dan membiarkan kekerasan itu terjadi. Kebebasan berpikir, berpendapat, beragama dan beribadah sesuai keyakinan itu dilindungi Undang-undang 1945 yang merupakan penurunan dari Pancasila. Ini mestinya dijaga oleh semua pihak, termasuk kepolisian. "Orang boleh berbeda pendapat atau mengkritik orang lain. Tapi, semua itu semestinya dilakukan lewat diskusi, adu argumentasi, dalam damai. Bukan dengan pembubaran dan kekerasan," kata Irfan. Untuk itu, aparat keamanan harus melakukan tugasnya untuk mengawal konstitusi dan melindungi hak warga, untuk berpendapat dan berkeyakinan secara bebas. Itu merupakan aturan main yang harus ditegakkan. "Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan harus dikembangkan sebagai kesadaran bersama, termasuk dalam lingkungan aparat keamanan," ucap Irfan. |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan