Selasa, 27 Mac 2012

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


DPD: Tolak Kenaikan Harga BBM

Posted: 27 Mar 2012 10:43 AM PDT

DPD: Tolak Kenaikan Harga BBM

Ilham Khoiri | Nasru Alam Aziz | Selasa, 27 Maret 2012 | 23:50 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah memutuskan menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah disarankan untuk mencari opsi lain di tengah meroketnya harga minyak dunia.

"Argumentasi pemerintah untuk menaikkan harga BBM itu lemah. DPD menolak kenaikan harga BBM," kata Wakil Ketua DPD Laode Ida, Selasa (27/3/2012) di Jakarta.

Keputusan itu diambil setelah DPD mengkaji masalah tersebut dengan mengundang sejumlah pakar. Banyak alternatif lain yang bisa dilakukan selain menaikkan harga BBM.

DPD juga berusaha memperjuangkan aspirasi masyarakat yang menolak kenaikan BBM. Arus penolakan itu tak bisa dinafikan begitu saja karena muncul dari berbagai lapisan masyarakat di berbagai wilayah. Terlebih lagi, kata Laode, kebijakan itu pasti memicu kenaikan harga bahan pokok dan akhirnya menyengsarakan rakyat. "Pemerintah harus mendengar suara rakyat itu," ujarnya.

Kepala Daerah Sepatutnya Menuntaskan Masa Jabatan

Posted: 27 Mar 2012 10:43 AM PDT

Kepala Daerah Sepatutnya Menuntaskan Masa Jabatan

Ilham Khoiri | Nasru Alam Aziz | Selasa, 27 Maret 2012 | 23:57 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Kepala daerah dan wakilnya sepatutnya harus bekerja sama dalam memerintah di daerah sampai akhir masa jabatannya. Selain mengefektifkan kepemimpinan, komitmen ini juga perlu untuk membangun demokrasi yang bertanggung jawab dan menghindarkan politik transaksional.

Harapan itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens, Selasa (27/3/2012) di Jakarta. "Kepala daerah dan wakilnya yang pecah kongsi dan kemudian bersaing memperebutkan peluang maju dalam pemilihan kepala daerah itu mencerminkan politik transaksional. Begitu pula politisi yang mudah loncat ke partai lain demi merebut kekuasaan," tuturnya.

Sebagaimana diberitakan, saat ini muncul fenomena "pecah kongsi" dan "kutu loncat" dalam sejumlah pemilihan kepala daerah (pilkada). Pecah kongsi terjadi ketika kepala daerah dan wakilnya bersaing untuk maju dalam pencalonan pilkada, sementara kutu loncat merujuk pada calon kepala daerah yang berpindah-pindah partai.

Boni Hargens menilai, perilaku politisi yang pecah kongsi atau kutu loncat memperlihatkan politik saat ini benar-benar menjadi transaksional. Ketika kepala daerah dan wakilnya merasa punya peluang untuk maju, keduanya bersaing untuk merebutkan kemungkinan memenangkan pilkada berikutnya. Akibatnya, keduanya lebih memperjuangkan kepentingan kelompok masing-masing daripada mengutamakan aspirasi masyarakat.

"Fenomena pecah kongsi dan kutu loncat itu akan terus berlangsung selama tidak ada aturan yang melarang," katanya.

Untuk itu, perlu sekali membuat aturan yang tegas soal paket pencalonan yang mengikat komitmen kepala daerah dan wakilnya untuk menjalankan tanggung jawab hingga akhir masa jabatannya. Aturan itu bisa diakomodasi dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah atau UU Pemilukada. Pasal-pasalnya harus rinci dan tegas mengatur kepala daerah dan wakilnya tak boleh mundur sampai masa jabatannya berakhir, kecuali ada alasan berhalangan tetap, seperti sakit parah atau meninggal.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan