ANTARA - Mancanegara |
Pria Swedia selamat setelah dua bulan terjebak salju Posted: 18 Feb 2012 07:51 PM PST Stockholm (ANTARA News) - Hanya Tuhan yang bisa menentukan kapan ajal seseorang akan datang. Seorang pria Swedia dikeluarkan dalam keadaan hidup setelah ia terjebak di dalam mobil yang tertimbun salju di satu jalan di hutan selama dua bulan, tanpa makanan. Menurut polisi dan media lokal, Sabtu (18/2), pria yang berusia 45 tahun itu, dari Swedia selatan, ditemukan pada Jumat, dalam keadaan sangat lemah sekalipun hanya untuk mengucapkan beberapa patah kata. Ia ditemukan tak jauh dari kota Umea di bagian utara Swedia oleh beberapa petugas pembersih salju yang mengira mereka telah menemukan bangkai mobil. Namun saat mereka menggali salju dan menemukan jendela mobil tersebut, mereka melihat gerakan di dalam mobil. Pria itu, yang tergeletak di kursi belakang di dalam kantung tidur, mengatakan ia telah berada di mobil tersebut sejak 19 Desember. "Benar-benar luar biasa. Ia masih bisa hidup padahal ia tak mempunyai makanan, dan keadaan juga sangat dingin selama beberapa lama setelah Natal," kata seorang anggota tim pertolongan kepada harian regional Vasterbottens-Kuriren, yang menyiarkan berita itu. Ebbe Nyberg, petugas jaga di kantor polisi Umea, mengatakan polisi tak melihat alasan untuk meragukan bahwa pria tersebut telah terjebak di dalam mobil untuk waktu cukup lama. "Kami tak mau mengira-ngira mengenai kejadian ini. Petugas pertolongan berada di lokasi juga dan melihat kondisi yang sama seperti yang kami saksikan," ia mengatakan kepada Vasterbottens-Kuriren, sebagaimana dikutip Reuters --yang dipantau ANTARA di Jakarta, Ahad. Umea University Hospital, tempat pria itu dirawat dan mulai pulih setelah diselamatkan oleh polisi dan tim pertolongan, mengatakan di dalam satu pernyataan ia baik-baik saja. Para dokter di rumah sakit tersebut mengatakan manusia normalnya biasa bertahan selama empat pekan tanpa makanan. Selain makan salju, pria itu barangkali bisa bertahan hidup dengan berada dalam kondisi tidak aktif, kata Dokter Stefan Brant kepada Vasterbottens-Kuriren. "Seperti beruang yang melakukan hibernasi. Manusia juga dapat melakukan itu," katanya. "Ia barangkali memiliki temperatur tubuh sekitar 31 derajat (Celsius), yang bisa disesuaikan oleh tubuh. Karena temperatur rendah, tak banyak energi digunakan." Editor: Desy Saputra COPYRIGHT © 2012 Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com |
"Nodding disease" bikin bingung ahli, tewaskan anak kecil Posted: 18 Feb 2012 07:48 PM PST Ada 780 orang yang tinggal di desa ini dan kami menghadapi 79 kasus penyakit tersebut. Penyakit itu telah menyerang hampir setiap keluarga," Berita Terkait Setelah upaya satu menit untuk melihat saudaranya, kepala Anywar terkulai di dadanya dan tubuhnya, yang kurus, mengejang. Anywar adalah satu dari lebih 3.000 anak di Uganda utara yang menderita penyakit misterius yang membuat lemah tubuh yang dikenal dengan nama "nodding disease", yang telah menyerang hampir setiap keluarga di Desa Tumangu. "Nodding disease" --atau "nodding syndrome"-- adalah penyakit baru yang tak banyak diketahui dan muncul di Sudan pada 1980-an. Itu adalah penyakit yang melumpuhkan fisik, mental dan mengakibatkan kematian. Penyakit tersebut hanya menyerang anak kecil yang berusia lima sampai 15 tahun. Penyakit itu saat ini terbatas di beberapa wilayah kecil di Sudan Selatan, Tanzania dan Uganda. Sebelum mewabah di Sudan Selatan dan penyebaran terbatas, penyakit tersebut pertama kali digambarkan ada pada 1962 di wilayah pegunungan Tanzania, kendati hubungan penyakit itu dengan "nodding syndrome" dibuat belum lama ini. Selama beberapa tahun, para ilmuwan telah berusaha tapi gagal memastikan penyebab penyakit tersebut, yang dikatakan warga Uganda telah menewaskan ratusan anak kecil. Yang mereka ketahui ialah penyakit itu hanya menyerang anak-anak dan secara bertahap menghancurkan korbannya melalui serangan yang merusak tubuh, mengekang pertumbuhan tubuh, membuat lemah anggota tubuh, melumpuhkan mental dan kadang-kala mengakibatkan kelaparan. Ibu Anywar, Rugina Abwoyo, sudah kehilangan seorang putra, yang bernama Watmon, akibat penyakit itu pada 2010. Sekarang ia tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan tanpa daya saat seorang lagi anaknya akan lepas dari pelukannya, demikian laporan AFP. "Sebelumnya ia berjalan dan berlarian seperti anak-anak lain, tapi sekarang harus ada orang yang tinggal di rumah untuk merawat dia," kata Abwoyo kepada AFP. "Penyakit tersebut mengerikan --penyakit itu membuat dia tak bisa makan dan minum sendiri." Sementara itu, Joe Otto, seorang relawan kesehatan --saat berjalan menyusuri jalan setapak melewati tanaman sorgum, menjelaskan betapa "nodding disease" telah memporakporandakan Tumangu, sekitar 450 kilometer di sebelah utara ibu kota Uganda, Kampala. "Ada 780 orang yang tinggal di desa ini dan kami menghadapi 79 kasus penyakit tersebut. Penyakit itu telah menyerang hampir setiap keluarga," kata Otto (54) kepada AFP. Setiap kali obat yang dikirim secara tak beraturan tiba di pusat kesehatan setempat yang berjarak beberapa kilometer, Otto menggenjot sepedanya untuk mengambil obat itu. Namun ia tahu semua obat tersebut hanya menawarkan penyelesaian jangka pendek. "Kami membagikan obat untuk epilepsi, seperti carbamazepine, tapi penyakit ini berbeda dari epilepsi," kata Otto. Meskipun begitu, karena penyakit tersebut telah menyerang seluruh masyarakat, warga setempat telah bergeser dari takut jadi menerima dengan suram, kata Otto. "Kami mulai mengatakan pasien yang telah meninggal adalah orang `yang telah sembuh`, sebab akhirnya mereka beristirahat dari penyakit yang menyakitkan ini," kata Otto. Para ilmuwan terus berusaha menemukan obat: sejak 2010, para peneliti mulai dari epidemiolog sampai ahli lingkungan hidup, ahli syaraf, ahli racun dan ahli ilmu jiwa telah melakukan serangkaian percobaan. Penelitian telah dilakukan untuk melihat kemungkinan hubungan antara penyakit itu dan apa saja mulai dari parasit yang menyebabkan kebutaan, sampai kekurangan gizi dan dampak pasca-perang saudara yang memporak-porandakan Uganda utara selama beberapa dasawarsa. Para ilmuwan belum mampu menetapkan faktor resiko atau penyebab penyakit tersebut. Editor: Aditia Maruli COPYRIGHT © 2012 Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com |
You are subscribed to email updates from ANTARA News - Internasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan