Khamis, 27 Oktober 2011

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Bukan Soal Melemahkan atau Menguatkan KPK

Posted: 27 Oct 2011 10:38 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan karena soal melemahkan atau memperkuat kewenangan lembaga itu.

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan, revisi tersebut dimaksudkan untuk harmonisasi antarpenegak hukum di Indonesia.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Tjatur Sapto Edy, di Jakarta, Kamis (27/10/2011), mengatakan, revisi UU KPK lebih untuk menciptakaan koordinasi dan supervisi di antara lembaga penegak hukum yang ada.

"Saya tidak omong penguatan atau pelemahan, saya omongnya biar seluruh penegak hukum kita bisa harmoni. Makanya saya tadi bilang, kemungkinan besar kalau dari versi saya ada di koordinasi dan supervisi dalam pemberantasan korupsi. Itu harus diperjelas di situ," kata Tjatur.

Menurut Tjatur, semua lembaga penegak hukum baik, KPK, kejaksaan dan kepolisian, harus dicek dulu posisi dan kewenangannya.

"Kita harus cek dulu semuanya. Kita harus diagnosis dulu semua. KPK itu di mana, polisi itu di mana, kejaksaan itu di mana. Ini bareng-bareng nih, jangan cuma dilihat, KPK di mana? Kan yang memberantas korupsi bukan cuma KPK," kata Tjatur.

Menurut Tjatur, akan terasa aneh jika KPK menolak direvisi, sementara penegak hukum lainnya tak keberatan.

"Semua baru mulai, yang sudah selesai itu KY dan MK. KUHAP dan KUHP juga direvisi, jangan sampai ada tumpang tindih atau kita bahas ada SOP di KPK yang tidak sama dengan KUHAP. Itu harus diperjelas," kata Tjatur.

Full content generated by Get Full RSS.

KPK Tak Memonopoli Penanganan Kasus Korupsi

Posted: 27 Oct 2011 08:24 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memonopoli penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia. KPK hanya menangani 6,36 persen dari 45.301 laporan dugaan korupsi yang masuk.

"Sementara sebanyak 4.334 kasus atau 9,67 persen sudah diteruskan ke institusi penegak hukum lainnya," kata peneliti ICW, Febridiansyah, di Jakarta, Kamis (27/10/2011).

Penelitian tersebut dilakukan ICW selama sepuluh bulan terakhir dengan menggunakan data dari 2004 hingga 2010. Kasus-kasus yang tidak ditangani KPK tersebut, lanjut Febri, diteruskan ke tujuh lembaga penegakkan hukum lainnya seperti Kejaksaan, Kepolisian, Itjen dan LPND, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Daerah (Bawasda), dan Mahkamah Agung (MA).

"Mayoritas diserahkan ke Kejaksaan, sebanyak 1.645 atau 37,96 persen, dan Kepolisian sebanyak 992 kasus atau 22,89 persen, bagaimana tindaklanjut penanganan kasus-kasus yang diteruskan itu?" ucap Febri.

Masalahnya, lanjut dia, koordinasi dan supervisi antara KPK dan Kepolisian serta Kejaksaan belum maksimal. Hasil penelitian ICW menemukan sejumlah hal yang menghambat berjalannya koordinasi dan supervisi di ketiga lembaga penegakkan hukum tersebut. Salah satunya, ada norma dalam Undang-Undang KPK soal koordinasi dan supervisi yang tidak sesuai.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang itu disebutkan bahwa fungsi koordinasi dan supervisi menjadi prioritas pertama, dan kedua KPK. Namun dalam BAB IV UU KPK tidak memberikan struktur khusus untuk pelaksanaan koordinasi dan supervisi tersebut.

ICW juga merekomendasikan agar dibentuk unit koordinasi pemberantasan korupsi terpadu di masing-masing lembaga penegakkan hukum.

Full content generated by Get Full RSS.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan