Rabu, 13 April 2011

KOMPAS.com - Regional

KOMPAS.com - Regional


Gunung Merapi Keluarkan Asap Solfatara

Posted: 13 Apr 2011 08:00 AM PDT

Gunung Merapi Keluarkan Asap Solfatara

K11-11 | Glori K. Wadrianto | Rabu, 13 April 2011 | 15:00 WIB

MAGELANG, KOMPAS.com - Puncak Gunung Merapi kembali mengeluarkan asap solfatara tebal setinggi 700 meter pada Rabu (13/4/2011) pagi pukul 07.20 WIB. Hal tersebut sempat membuat khawatir warga di sekitar lereng gunung teraktif di Indonesia itu.

Petugas Pos Pengamatan Merapi di Pos Ngepos Ahmad Shobari menegaskan, tidak ada indikasi peningkatan aktifitas Gunung Merapi. Asap solfatara yang tebal tersebut timbul akibat interaksi uap air dengan material panas di puncak gunung.

"Itu hanya fenomena biasa, tidak membahayakan karena tekanannya lemah, sepintas memang berwarna kehitaman tapi itu karena pengaruh pantulan sinar cahaya matahari di belakang gunung," terangnya.

Berdasarkan pantauan alat seismik, data kegempaan yang tercatat di Pos Ngepos menunjukkan tren penurunan dibanding Jumat lalu. Selama 24 jam, gempa vulkanik dalam (A) dan gempa vulkanik dangkal (B) sama sekali tidak tercatat.

Sedangkan gempa multiphase tercatat sebanyak 11 kali, gempa guguran 4 kali, gempa tektonik 1 kali dan tele/susulan 1 kali. "Hanya saja curah hujan tercatat masih tinggi. Sepanjang Selasa kemarin tercatat tiga kali turun hujan di puncak Merapi dengan tingkat curah hujan 3 mm, 28 mm, dan 31 mm. Lama hujan bervariasi yakni 45 menit, 275 menit dan 310 menit," imbuhnya.

Menurutnya, peningkatan aktivitas Gunung Merapi seminggu terakhir, diperkirakan merupakan proses pembentukan kubah lava baru. Kubah lava baru itu bisa dilihat dari daerah Deles, Kabupaten Klaten. "Puncak semakin pendek sehingga makin dekat dengan pusat magma. Ini akan mempermudah proses keluarnya magma," katanya. 

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Kirim Komentar Anda

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Ulat Bulu Merebak karena Ekosistem Rusak

Posted: 13 Apr 2011 07:54 AM PDT

Serangan Hama

Ulat Bulu Merebak karena Ekosistem Rusak

K1-11 | A. Wisnubrata | Rabu, 13 April 2011 | 14:54 WIB

DENPASAR, KOMPAS.com — Merebaknya hama ulat bulu yang menyerang tanaman di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Pulau Bali, dalam beberapa minggu terakhir, salah satunya disebabkan terganggunya ekosistem. Berkurangnya predator pemakan ulat dari alam mengakibatkan ulat bulu semakin leluasa berkembang biak dan menyerang tanaman.

Burung pemakan ulat populasinya semakin kecil berarti ekosistem yang ada di alam ini sudah mulai terganggu.

Analisis ini disampaikan oleh Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali Putu Suryawan yang turun langsung ke lapangan untuk mengamati penyebaran hama ulat bulu di enam kabupaten dan kota di Bali. "Sampai saat ini yang saya amati, predator tidak ada di lapangan. Semut-semut pemakan ulat ini jarang terlihat, pemakan paling keras ulat bulu kan semut rangrang (api)," ujarnya saat ditemui di Denpasar, Rabu (13/4/2011).

"Sekarang semut rangrang banyak yang diambil telurnya untuk makanan burung, sementara burung-burung pemakan ulat juga banyak yang ditangkap. Burung pemakan ulat populasinya semakin kecil berarti ekosistem yang ada di alam ini sudah mulai terganggu," kata Suryawan.

Selain faktor ekosistem yang tidak seimbang, pertumbuhan ulat bulu ini juga dipengaruhi oleh cuaca. "Hujan berkepanjangan membantu mereka untuk membiak lebih kondusif. Kemudian tersedia bahan makanan bagi ulat semakin lengkap dan banyak sehingga membantu perkembangan mereka," kata Suryawan.

Hama ulat bulu di Bali yang merebak sejak seminggu terakhir sejauh ini masih dalam status ancaman dan belum kejadian luar biasa karena tidak mengganggu produksi pertanian.

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Kirim Komentar Anda

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan