KOMPAS.com - Internasional |
Khadafy Terima Rencana Perdamaian AU Posted: 11 Apr 2011 02:20 AM PDT TRIPOLI, KOMPAS.com - Pemimpin Libya, Moammar Khadafy, telah menerima rencana perdamaian yang ditawarkan Uni Afrika (African Union/AU) untuk mengakhiri konflik di negara itu, kata Jacob Zuma, Presiden Afrika Selatan, Minggu (10/4/2011) malam. Peta jalan bagi perdamaian tawaran Uni Afrika itu, sebagaimana dilansir The Telegraph, menyerukan gencatan senjata segera, membuka saluran bagi bantuan kemanusiaan dan pembicaraan antara oposisi dan pemerintah. Khadafy bulan lalu telah mengabaikan gencatan senjata yang dia umumkan menyusul serangan udara internasional. Zuma merupakan bagian dari delegasi para pemimpin Afrika yang tiba di Tripoli untuk mencoba dan membujuk Khadafy agar menghentikan kekerasan yang dilakukan terhadap rakyatnya. Zuma dan Denis Sassou Nguesso dari Kongo adalah bagian dari mereka yang terbang ke Tripoli dan berencana untuk pergi ke kubu oposisi di Benghazi. Di Benghazi, para pemimpin itu akan menyampaikan rencana mereka kepada para pemimpin oposisi. Tak seorang pemimpin pun pada pembicaraan itu memberikan perincian mengenai apa yang dimuat dalam peta jalan tersebut. Sejauh ini, para pemimpin oposisi menolak rencana gencatan senjata yang termasuk membiarkan Khadafy atau anak laki-lakinya tetap berkuasa. Selain Zuma dan Nguesso, delegasi itu mencakup dua pemimpin Afrika lain yaitu Amadou Toumani Toure dari Mali dan Mohamed Ould Abdel Aziz dari Mauritania. Menteri Luar Negeri Uganda, Henry Oryem Okello, yang mewakili Presiden Yoweri Museveni, melengkapi tim Uni Afrika tersebut. Minggu pagi, anggota delegasi Uni Afrika itu memenuhi permintaan Moammar Khadafy untuk berfoto bersama di luar tenda Baduinya di kompleksnya di Bab al-Aziziya di Tripoli. Pertemuan para anggota delegasi Uni Afrika itu terjadi saat NATO melancarkan serangan terbaru terhadap pasukan yang setia kepada Khadafy. Serangan itu menghancurkan 25 tank dan memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan para pejuang oposisi. Serangan itu dirancang untuk menghadapi serangan tentara Khadafy yang terus melancarkan tembakan artileri selama akhir pekan. Zuma, yang bersama timnya bertemu dengan Khadafy selama beberapa jam di kompleks tempat tinggalnya di Tripoli itu, juga minta kepada NATO untuk menghentikan serangan udara terhadap sasaran-saran pemerintah Libya guna "memberi gencatan senjata kesempatan". "Saya memiliki beberapa komitmen yang memaksa saya untuk berangkat sekarang, tapi kami telah menyelesaikan misi kami dengan saudara pemimpin itu (Khadafy)," kata Zuma setelah pembicaraan itu. "Delegasi saudara pemimpin itu telah menerima peta jalan seperti yang telah kami sampaikan. Kita harus memberi gencatan senjata, kesempatan," ujarnya. "Delegasi itu ... akan bekerja besok untuk menemui pihak lainnya, untuk berbicara pada semua orang dan menyampaikan solusi politik bagi krisis di Libya." Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price. |
Posted: 11 Apr 2011 01:08 AM PDT YANG pertama terkenang dalam benak ketika mendarat di bandara Athena, Yunani, adalah cerita tentang studi banding para anggota DPR RI tanggal 23-26 Oktober tahun lalu ke Yunani. Menurut berita yang tersiar ketika itu, mereka ke Yunani untuk studi banding tentang etika. Berita itu segera memicu reaksi. Salah satu komentar dikemukakan oleh Ahmad Syafii Maarif, seorang tokoh terkemuka atau malahan guru bangsa. Buya Syafii, begitu biasa dia dipanggil, menilai kunjungan atau studi banding itu tidak bermanfaat. Dalam artikelnya di Kompas, ia menulis, "Yunani kini merupakan negara yang nyaris gagal di Eropa. Budaya korupsi dan upeti telah lama menyandera negara itu hingga tak dapat bangkit sebagai bangsa yang patut dicontoh." Yunani, menurut catatan sejarah, adalah cradle of civilization, katakanlah "ibu kandung peradaban". Yunani adalah wilayah pertama di Eropa yang dahulu kala terdepan dalam budaya, dimulai dengan peradaban Cycladic di Laut Aegea, peradaban Minoan di Kreta, lalu peradaban Mycenaean di Yunani daratan. Kemudian negara-negara kota di seluruh Yunani yang menyebar sampai ke wilayah pantai Laut Hitam, Italia Selatan, dan Asia Kecil (antara lain Turki sekarang). Kemajuan peradaban itu terekspresikan dalam arsitektur, drama, ilmu pengetahuan, filsafat, dan dengan munculnya lingkungan kehidupan demokrasi di Athena. Periode Helenistik pengaruhnya sangat besar ketika itu. Dan helenisme atau kebudayaan Yunani menyebar ke Laut Tengah. Kebesaran Yunani berakhir ketika Kekaisaran Romawi berkuasa atas Yunani pada tahun 146 SM. Akan tetapi, Romawi pun sudah terpengaruh budaya Yunani. Banyak tokoh Romawi yang belajar filsafat dan retorika di Yunani. Berbarengan dengan meluaskan Kekaisaran Romawi, budaya Yunani pun ikut menyebar. Dan, banyak orang Yunani yang berimigrasi ke kota-kota lain di kawasan pinggiran Laut Tengah dengan membawa budaya mereka. Sisa-sisa jejak mereka sampai sekarang masih bisa ditemui, misalnya di Aleksandria (Mesir), Istanbul (Turki), Jerusalem, dan Anthiokia. Mengakibatkan luka batin Selain itu, muncul pula nama-nama besar di abad-abad sebelum Masehi, seperti Hippokrates (460-370 SM), Sokrates (469-399 SM), Plato (429-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles, misalnya, banyak bicara tentang etika dan pemikiran politik berdasarkan prinsip teleologis: ada tujuan yang hendak dicapai dalam bernegara. Yang menarik, menurut Aristoteles, sistem kerajaan adalah bentuk pemerintahan terbaik, bukan demokrasi. "Apakah anggota DPR itu ingin mengubah demokrasi menjadi kerajaan?" tulis Buya Syafii waktu itu. Kami yang mendarat di Athena hari Minggu (10/4) dari Beograd, Serbia, bukanlah rombongan yang hendak belajar etika di Yunani, tetapi menghadiri dialog antarpenganut agama (interfaith) antara Indonesia dan Yunani. Delegasi Indonesia yang dipimpin Andri Hardi, Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, terdiri dari para pemuka agama, ilmuwan, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintah. Dialog membuka pintu untuk saling memahami dan menerima kesamaan dan perbedaan antara agama yang satu dan lain. Mengutip kata-kata yang pernah diucapkan Paus Yohanes Paulus II, "Kita menyembah pencipta yang sama, tetapi kita menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda." Dialog diharapkan akan membawa semua pihak mengakui bahwa sejarah hubungan antarumat beragama bukan sejarah yang hanya baik dan mulus. Sejarah ini menyimpan berbagai macam konflik yang mengakibatkan luka-luka batin. Sejarah dan akibat-akibatnya ini perlu diakui dan diterima dengan hati tulus. Kita perlu menyembuhkan luka-luka sejarah itu agar hubungan-hubungan kita pun akan diperbarui. (Trias Kuncahyono, dari Athena, Yunani) Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price. |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Internasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan