Isnin, 8 Julai 2013

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Kompol AD Ingin Klarifikasi Pembayaran Gajinya di BNN

Posted: 08 Jul 2013 07:57 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Komisaris Polisi (Kompol) berinisial AD yang disebut menyelinap masuk ke Gedung Badan Narkotika Nasional berencana mengklarifikasi gajinya yang belum dibayar oleh badan antinarkoba itu. Kompol AD mengaku hanya mengambil dokumen pribadinya di ruang staf Inspektur Jenderal Benny Mamoto, Deputi Pemberantasan BNN.

"Dokumen yang diambil itu ternyata milik pribadi dia, seperti surat keputusan pengangkatan. Dia rencananya ke BNN mau klarifikasi soal gaji," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Brigadir Jenderal (Pol) Arief Sulistyanto, Senin (8/7/2013).

Arief menegaskan, kedatangan AD tidak terkait adanya laporan seseorang bernama Helena terhadap Benny. Kedatangan AD juga tanpa sepengetahuannya Arief. "Motivasi dia ke sana tidak ada hubungan dengan kasus Helena," tegas Arief.

Sebelumnya, Arief mengaku bahwa reputasi AD di Bareskrim pun buruk. AD yang ditempatkan di Direktorat Ekonomi Khusus Bareskrim Polri sudah jarang masuk selama 3 bulan belakangan ini. Polri akan menindak AD jika terbukti melakukan pelanggaran.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, AD juga tercatat memiliki reputasi yang buruk di BNN. Pria lulusan Akademi Kepolisian tahun 1998 itu dikeluarkan dari BNN pada akhir tahun 2011 yang lalu karena memberikan lencana penyidik milik BNN kepada Andre Samsul Malik. Lencana itu biasa digunakan penyidik ketika menjalankan operasi pemberantasan narkoba.

Andre Samsul Malik sendiri adalah salah seorang tersangka kasus narkotika yang ditangkap oleh petugas Direktorat IV Narkotika Bareskrim Polri. Andre juga diketahui memiliki mobil dengan pelat nomor B 88 BNN. Diduga mobil itu digunakan untk memuluskan aksinya menyalahgunakan narkotika.

Kedatangan AD ke BNN pada Kamis (4/7/2013) malam ke BNN sempat diduga sebagai penggeledahan atas adanya laporan polisi bernomor LP/568/VI/Bareskrim tertanggal 28 Juni 2013. Pada laporan yang beredar di kalangan wartawan pada Kamis sore tersebut tertulis pelapor bernama Helena dan terlapor Benny Mamoto dan kawan-kawan.

Benny dilaporkan atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan karena memblokir rekening perusahaan Helena, PT SMC, yang mengurusi tukar nilai mata uang atau money changer.

Editor : Hindra Liauw

Peran Presiden Disebut dalam Kesaksian Siti Fadillah Supari

Posted: 08 Jul 2013 07:47 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com —Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari mengakui bahwa penetapan flu burung sebagai kejadian luar biasa (KLB) dilakukan atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Siti pun mengakui bahwa penetapan status KLB tersebut menjadi payung untuk melakukan penunjukan langsung dalam proyek pengadaan alat kesehatan dan perbekalan wabah flu burung pada 2006 dan pengadaan alat kesehatan perlengkapan rumah sakit rujukan flu burung tahun anggaran 2007.

"Mestinya begitu," kata Siti di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (8/7/2013), saat ditanya Ketua Majelis Hakim Nawawi Polongan apakah Siti mengartikan bahwa penetapan flu burung sebagai KLB adalah perintah Presiden. Siti bersaksi dalam kasus dugaan korupsi proyek alkes flu burung yang menjerat eks Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, Ratna Dewi Umar.

Menurut Siti, penetapan flu burung sebagai KLB itu diambil melalui rapat kabinet terbatas yang melibatkan Presiden Yudhoyono, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Komisi Nasional Flu Burung, serta Siti sendiri. Usulan untuk penetapan status KLB itu, menurut Siti, berasal dari Komnas Flu Burung. "Bukan saya, tapi Komnas Flu Burung dan waktu itu memang sudah menjadi wabah nasional, bukan hanya nasional, tapi juga internasional," tuturnya.

Kepada majelis hakim, Siti juga menggarisbawahi bahwa penetapan KLB itu diambil di tengah kepanikan akan menyebarnya wabah flu burung. Presiden, kata Siti, sampai berencana bertandang ke kantor Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) karena Indonesia diancam untuk diembargo pada 2006. "Nah Presiden mengatakan, apakah perlu ke PBB. Saya mengatakan, biar saya akan atasi dulu Bapak. Saya usir ahli-ahli WHO. (Mereka) harus angkat kaki dari Indonesia karena laporan palsu," kata Siti.

Adapun Siti disebut namanya dalam surat dakwan Ratna. Siti disebut bersama-sama Ratna, Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo, Sutikno, Singgih Wibisono, Freddy Lumban Tobing, dan Tatat Rahmita Utami melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan secara melawan hukum.

Surat dakwaan juga menyebutkan bahwa Siti selaku Menkes saat itu Siti ikut dalam perbuatan Ratna yang mengatur pengadaan empat proyek di Depkes. Akibat perbuatan korupsi ini, negara mengalami kerugian yang nilainya sekitar Rp 50,4 miliar.

Siti disebut dalam dakwaan melakukan penunjukan langsung terhadap perusahan milik Bambang Tanoesoedibjo sebagai pelaksana proyek pengadaan alat kesehatan dan perbekalan dalam rangka wabah flu burung tahun anggaran 2006 di Ditjen Bina Pelayanan Medik serta menunjuk langsung PT Kimia Farma Trading Distribution sebagai pelaksana proyek pengadaan alat kesehatan perlengkapan rumah sakit rujukan flu burung tahun anggaran 2007.

Dalam persidangan hari ini, Siti juga mengakui prosedur penunjukan langsung tersebut. Namun, dia membantah telah menunjuk langsung perusahaan rekanan ataupun bertemu dengan pihak rekanan. Menurut Siti, rekomendasi penunjukan langsung disetujuinya setelah melalui penelitian internal sesuai dengan prosedur.

Editor : Hindra Liauw

Tiada ulasan:

Catat Ulasan