Rabu, 23 Januari 2013

KOMPAS.com - Internasional

KOMPAS.com - Internasional


Hillary Terharu dan Marah di Sidang Kongres AS

Posted: 24 Jan 2013 03:05 AM PST

WASHINGTON, KOMPAS.com — Setelah tertunda sebulan karena sakit, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, akhirnya berbicara di depan Kongres AS tentang cara dia menangani serangan 11 September terhadap Konsulat AS di Benghazi, Libya, Rabu (23/1/2013).

Pada rapat dengar pendapat itu, Hillary juga membantah ada upaya dari Pemerintah AS untuk memberikan informasi menyesatkan kepada AS.

Serangan oleh kelompok militan bersenjata itu menewaskan Duta Besar AS untuk Libya, Christopher Stevens, dan tiga warga AS lainnya itu mengancam mencederai citra Hillary Clinton sebagai Menlu AS, bahkan bisa terus membayanginya bila dia memutuskan untuk maju sebagai calon presiden pada 2016.

Dalam sidang yang berlangsung selama enam jam itu, Hillary sempat terharu ketika berbicara tentang saat-saat dia menenangkan keluarga para korban Benghazi. Namun, dia menjadi marah ketika seorang anggota Kongres asal Partai Republik menuduh pemerintahan Obama telah menyesatkan rakyat Amerika tentang apakah serangan tersebut berawal dari unjuk rasa.

"Dengan segala hormat, faktanya adalah bahwa empat warga kita meninggal," katanya dengan nada tinggi ketika memberikan kesaksian dalam sidang Komite Hubungan Luar Negeri Senat.

"Apakah itu karena unjuk rasa, atau apakah karena ada orang-orang yang sedang berjalan-jalan pada suatu malam dan memutuskan mereka akan membunuh beberapa orang Amerika? Apa bedanya?" kata Hillary dengan nada tajam.

"Tugas kita adalah mencari tahu apa yang terjadi dan melakukan segala cara untuk mencegah hal seperti ini terjadi lagi."

Dalam sidang Senat pagi hari dan di Dewan Perwakilan Rakyat siang hari, kubu Republik dan Demokrat saling melempar tudingan dalam kasus tersebut. Kubu Republik menuduh Departemen Luar Negeri yang dipimpin Hillary telah salah urus. Sebaliknya Demokrat membela Hillary.

Hanya sedikit informasi baru tentang insiden Benghazi yang terungkap dalam sidang dengar pendapat yang panjang itu. Hillary memang mengatakan bahwa setidaknya ada 20 pos diplomatik AS lain yang menghadapi ancaman keamanan serius. Namun, mantan ibu negara AS itu menolak mengungkapkannya dalam acara terbuka itu.

Hillary menyebut insiden Benghazi itu sebagai bagian dari sejarah panjang kekerasan, juga dampak ketidakstabilan sejak revolusi Arab yang dimulai pada 2011, dan menggulingkan pemimpin otoriter di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman.

"Benghazi tidak terjadi di tengah kekosongan. Revolusi Arab sudah memecah dinamika kekuasaan dan menghancurkan aparat keamanan di wilayah tersebut," kata Hillary.

Insiden Benghazi bersamaan dengan serangan terhadap Kedubes AS di Kairo, Mesir, yang memprotes video yang dibuat di AS, yang menghina Nabi Muhammad. Serangan serupa juga dialami kedubes AS di Tunisia, Yaman, dan Sudan.

Kubu Republik mengecam Menlu Hillary Clinton dan pemerintahan Presiden Barack Obama secara umum. Senator Bob Corker (Republik) mengatakan serangan Benghazi dan respons AS menunjukkan "ketidaksiapan yang memprihatinkan" dalam menghadapi kejadian-kejadian tersebut. Sementara Senator Rand Paul beranggapan Hillary seharusnya dipecat.

Menghadapi serangan itu, Hillary mengulangi pernyataan yang diucapkannya pada 15 Oktober 2012. "Saya bertanggung jawab," Hillary menegaskan.

Hillary menekankan, dia menerima semua rekomendasi yang diberikan tim independen yang menyelidiki insiden Benghazi.

Hillary meninggalkan jabatannya sebagai Menlu AS dalam beberapa hari mendatang setelah calon penggantinya, Senator John Kerry, dikukuhkan oleh Senat AS.

AS Izinkan Tentara Wanita Bertempur di Garis Depan

Posted: 24 Jan 2013 01:28 AM PST

Menteri Pertahanan AS Leon Panetta memutuskan untuk mencabut larangan terhadap perempuan ikut bertempur di medan perang. Demikian kata seorang pejabat senior Pentagon.

Langkah itu dapat membuka ratusan ribu posisi garis depan dan pekerjaan komando elite pada perempuan.

Kebijakan tersebut sekaligus menjungkirbalikkan peraturan tahun 1994 yang melarang perempuan ditugaskan ke unit-unit tempur darat.

Namun, militer masih punya waktu hingga 2016 untuk menimbang posisi-posisi apa yang mereka pikir harus tetap ditutup untuk perempuan.

Keputusan itu diperkirakan akan diumumkan secara resmi pada hari Kamis.

Gugatan hukum

"Perubahan kebijakan ini akan memulai proses militer akan mengembangkan rencana untuk mengimplementasikan keputusan yang dibuat oleh menteri pertahanan atas rekomendasi Kepala Staf Gabungan," kata pejabat pertahanan senior itu kepada BBC.

Para pemimpin militer akan diminta untuk melapor ke Panetta pada 15 Mei dengan rencana awal mereka mengenai penerapan kebijakan baru ini.

Sejumlah pekerjaan diperkirakan akan dibuka untuk wanita tahun ini, sedangkan yang lainnya, termasuk untuk pasukan khusus seperti Navy Seals dan Delta Force, masih akan memakan waktu.

Keputusan ini dapat membuka lebih dari 230.000 peran bagi perempuan di medan perang, sebagian besar di unit infantri.

Kepala komite institusi bersenjata Carl Levin menyambut gembira keputusan itu.

"Saya mendukungnya," kata dia. "Kebijakan ini mencerminkan operasi militer Abad 21."

Larangan pertama kali dilonggarkan satu tahun silam ketika Pentagon membuka 14.500 pekerjaan dekat ke garis depan, yang sebelumnya tertutup bagi personel perempuan.

November lalu, kelompok yang terdiri dari empat wanita di militer menggugat departemen pertahanan terkait larangan itu dan menuduhnya tidak konstitusional.

Salah satu penggugat adalah Kapten Marinir Zoe Bedell. Ia mengatakan, peraturan tersebut menghambat kemajuan kariernya di marinir.

Dalam perang Irak dan Afganistan, personel militer perempuan AS bekerja sebagai petugas medis, polisi militer, dan petugas intelijen, terkadang mereka diperbantukan, tetapi tidak secara resmi ditugaskan ke unit garis depan.

Pada 2012, lebih dari 800 perempuan terluka dalam kedua perang itu dan 130 orang tewas. Perempuan meliputi 14 personel dari personel militer aktif Amerika.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan