KOMPAS.com - Internasional |
Saat Inggris Menjadi Musuh Zionisme Posted: 25 Nov 2012 03:39 AM PST Pembatasan imigrasi Yahudi ke Palestina yang dituangkan dalam White Paper 1939, ternyata membuat Organisasi Zionis berang. Akibatnya, para pemimpin Zionis berkumpul di New York pada 1942 tepatnya di Hotel Biltmore. Saat itulah secara resmi para pemimpin Zionis menetapkan Palestina sebagai wilayah Persemakmuran Yahudi. Selain itu para pemimpin Yahudi kini menganggap Inggris sebagai musuh yang harus diperangi. KOMPAS. com - Status Inggris yang pernah menjadi 'harapan' bangsa Yahudi saat menerbitkan Deklarasi Balfour 1917 seketika berubah. Berbagai kelompok bersenjata Yahudi seperti Haganah, Irgun dan Lehi yang awalnya bersaing kini bersatu dengan tujuan sama yaitu mendongkel kekuasaan Inggris di Mandat Palestina. Kelompok-kelompok bersenjata ini tak jarang melakukan aksi terorisme seperti pembunuhan dan penculikan para petinggi Inggris hingga meledakkan kereta api milik Inggris. Salah satu insiden yang patut dicatat adalah pembunuhan Menteri Negara Urusan Timur Tengah, Lord Moyne pada 6 November 1944 di Kairo, Mesir, oleh dua anggota gerakan bawah tanah Yahudi, Eliyahu Bet-Zuri dan Eliyahu Hakim. Lord Moyne dikenal sebagai salah seorang pejabat Inggris yang sangat anti-Zionis dan sangat memegang teguh aturan pembatasan imigrasi Yahudi ke Palestina seperti diatur dalam dokumen White Paper 1939. Namun, pembunuhan Lord Moyne itu tidak mengubah kebijakan Inggris di Palestina. Justru, aksi itu malah berdampak buruk bagi gerakan Zionisme. Sebab, Lord Moyne adalah sahabat dekat Perdana Menteri Inggris saat itu Winston Churchill. Akibatnya, Churchill mempertimbangkan kembali dukungan Inggris terhadap Zionisme. Sementara itu, Inggris berhasil menangkap kedua pembunuh Lord Moyne dan keduanya dihukum gantung pada 1945. Mandat Inggris Berakhir Sementara itu, di Eropa, Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jerman. Salah satu dampaknya adalah masih terdapat 250.000 orang Yahudi tersebar di berbagai kamp konsentrasi milik Jerman. Dan, para pemimpin Zionis ingin membawa rekan-rekan sebangsanya itu ke Palestina. Masalahnya, Inggris masih membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina sesuai mandat White Paper 1939. Situasi ini membuat perlawanan kelompok-kelompok bersenjata Yahudi di Palestina semakin keras dan semakin menebar teror. Mereka mengebom kereta api, stasiun kereta api bahkan markas militer Inggris di Hotel King David di Jerusalem pada 22 Juli 1946. Aksi teror yang dilakukan kelompok sayap kanan Zionis, Irgun ini menewaskan 91 orang dan 46 orang lainnya terluka. Kondisi yang semakin buruk di Mandat Palestina ini menjadi berita utama berbagai koran di Inggris. Akibatnya, para politisi mendesak pemerintah Inggris untuk segera mengatasi konflik di Palestina untuk menyelamatkan nyawa warga dan pasukan Inggris di Palestina. Desakan terhadap Inggris juga datang dari Amerika Serikat dan sejumlah negara yang meminta Inggris segera membuka keran imigrasi Yahudi yang selama ini ditutup. Berbagai investigasi pun digelar untuk memastikan kondisi sebenarnya di Palestina. Akhirnya sebuah Komite Gabungan Inggris-AS bentukan PBB pada 20 April 1946 merekomendasikan imigrasi 100.000 orang Yahudi bisa dilakukan sesegera mungkin ke Palestina. Rekomendasi ini ditolak para pemimpin Arab dan Inggris segera menyadari mereka tak mampu lagi mengatasi keadaan di Palestina. Akhirnya Inggris mengembalikan mandat mengelola Palestina yang mereka pegang sejak 1920 kepada PBB terhitung 14 Mei 1948. Inilah yang kemudian berujung pada berdirinya Negara Israel. ((bersambung) Baca juga: Holocaust dan Imigrasi Ilegal bangsa Yahudi Zionisme, Imigrasi, dan Negara Yahudi Keruntuhan Ottoman dan Mandat Palestina Konflik-konflik Awal di Mandat Palestina Revolusi Arab dan Sejumlah Upaya Solusi
Editor : Egidius Patnistik |
Ribuan Warga Tolak Ekstemisme Agama Posted: 25 Nov 2012 03:22 AM PST Mali Ribuan Warga Tolak Ekstemisme Agama Penulis : Simon Saragih | Minggu, 25 November 2012 | 11:22 WIB BAMAKO, KOMPAS.com - Ribuan warga Mali berkumpul di Bamako, ibu kota Mali, Sabtu (24/11/2012). Mereka menentang ekstremisme agama dan pendudukan negara oleh kubu garis keras. Pengkotbah Muslim terkenal Mali, Cherif Ousmane Madani Haidara, turut hadir dalam aksi massa itu. "Negara kita telah mengenal Islam selama abad. Kami tidak menerima ekstremisme agama yang kini mendera Mali utara," kata Haidara di hadapan massa. Aksi demonstrasi di negara bagian Afrika barat ini dihadiri para wakil dari partai-partai, para pemimpin agama serta mantan pemimpin kudeta Kapten Amadou Sanogo. "Aksi protes ini juga merupakan keinginan seluruh warga negara agar bersatu dan bisa mengusir musuh negara," kata Ketua Parlemen Mali, Ynousssi Toure. (AFP) |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Internasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan