Republika Online |
Kisah Relawan di Mentawai (1): Panggilan dari Mentawai Posted: 12 Dec 2011 05:54 PM PST Malam itu, Senin 25 Oktober 2010, sekitar pukul 22.00 WIB, kami dikejutkan dengan sebuah getaran yang cukup kuat yang mengguncang kota. Namun kami tak tahu pasti dimana pusat getaran terjadi. Tak lama, tersiar berita bahwa telah terjadi gempa bumi sebesar 7,7 skala Richter yang diikuti dengan gelombang tsunami di Kepulauan Mentawai, tepatnya di wilayah Pantai Barat Pagai Utara – Selatan Kepulauan Mentawai. Saat itu saya sedang bertugas di Klinik Sosial MER-C di wilayah Padang Pariaman, Sumatera Barat. Getaran gempa yang terjadi di Mentawai cukup terasa hingga Padang Pariaman. Setelah berkoordinasi, MER-C Pusat Jakarta pun segera menginstruksikan kami untuk berangkat ke Mentawai. Tim pertama terdiri dari 3 relawan yaitu 2 dokter dan saya sendiri sebagai relawan nonmedis yang bertugas di bagian administrasi dan logistik. Minimnya informasi tentang kondisi daerah dan akses yang begitu sulit menjadi kendala utama bagi setiap relawan. Hal ini di perparah dengan birokrasi kita yang terkenal ribet dan njelimet sehingga penanganan atas suatu bencana yang melanda negeri kita acapkali lamban. Hal inilah yang kami rasakan ketika kami, 3 relawan MER-C, tiba di Kepulauan Mentawai pada hari Kamis 28 Oktober 2010. Setelah melalui perjalanan yang panjang dan transportasi yang ditunda-tunda keberangkatannya dengan alasan yang kurang jelas akhirnya kami bisa menginjakkan kaki di Sikakap yang memang biasa menjadi tempat persinggahan dan pelabuhan kapal-kapal di Mentawai. Kedatangan kami disambut dengan ramahnya cuaca, namun tidak seramah petugas pemerintah daerah setempat. Kami hanya bisa berbaik sangka dengan keadaan tersebut. Petugas kemudian mendata setiap relawan yang masuk, lagi-lagi dengan ekspresi cemberut. Semua relawan akhirnya dikumpulkan di sebuah Aula Madrasah Tsanawiyah demi membahas langkah-langkah penanganan korban dan menyampaikan jumlah kekuatan masing-masing relawan. Setelah ber jam-jam melakukan koordinasi, satu hal yang hanya dapat kami ambil kesimpulan yaitu mereka hanya sibuk bagaimana mendistribusikan barang bantuan, mereka tidak memikirkan bagaimana cara cepat untuk sampai di lokasi bencana demi menolong korban yang masih hidup atau bahkan sekarat. Hal itu diperparah dengan sibuknya mereka (pemerintah daerah setempat) mempersiapkan segala sesuatunya demi menyambut kedatangan orang nomor satu Indonesia, Bapak Presiden SBY. Dengan rasa yang kurang puas dan menyesal akhirnya kami keluar rapat dengan hasil yang bisa dibilang nihil. Kami bertiga pun mencoba untuk mencari sumber-sumber informasi lainnya yang dapat memudahkan kami melangkah. Sahabat RAPI (Radio Amatir Penduduk Indonesia) menjadi rujukan kami yang utama saat itu. Setelah merasa cukup mendapat informasi, kami pun bergegas menemui kepala Dinas Kesehatan setempat. Alhamdulillah, kali ini hasilnya tidak sia-sia. Bak menemui titik terang, salah satu tim kami mendapat kepercayaan untuk mengatur atau menata ulang pasien-pasien yang tersebar. Ada yang dirawat di dalam gereja, ada pula di emperan puskesmas dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Tidak ada hal yang mudah ternyata, di samping sewa kapal nelayan yang cukup mahal, harga bahan-bahan kebutuhan pun mahal. Benar-benar situasi yang tidak menguntungkan bagi setiap relawan yang datang. Namun inilah amanah yang harus kami jalankan. Sebuah amanah yang tidak hanya dimintai pertanggung jawabannya dihadapan manusia, tapi juga dihadapan Yang Maha Kuasa. Perjalanan kami masih cukup panjang. Hanya dengan memohon pertolongan-NYA lah semuanya akan menjadi mudah. Khoirul Mustafa
|
Survey: Kebanyakan ABG Pertama Kali Berhubungan Seks Umur 19 Posted: 11 Dec 2011 11:41 PM PST REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kebanyakan Anak Baru Gede (ABG) melakukan hubungan seks pranikah pertama pada umur 19 tahun. Hal ini terungkap dari survey yang dilakukan lembaga internasional DKT bekerja sama dengan Sutra and Fiesta Condoms. Survey dilakukan terhadap 462 responden berusia 15 sampai 25 tahun. Semua responden menyatakan pernah berhubungan seksual. Survey dilakukan pada Mei 2011 di Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali, dan Yogyakarta. Menanggapi hal ini, psikolog seksual, Zoya Amirin, mengatakan pada usia remaja yang merupakan masa yang labil, mereka ingin tahu semua hal. Namun terkadang mereka tidak terbuka dengan orang terdekat dan lebih senang curhat dengan sesama teman. "Hal ini terjadi pada pembelajaran tentang seks. Orang tua menganggap seks itu tabu. Akibatnya mereka cari tahu ke sumber lain, misal teman dan internet. Padahal kebeneran informasinya belum jelas." Ia mengharapkan orang tua berperan lebih aktif. Mereka harus memberi pendidikan tentang seks sejak dini. Hal ini untuk membentengi diri dari informasi yang tidak jelas. "Seks bisa dikemas dalam bentuk tidak vulgar atau cabul. Bukan zamannya menganggap seks tabu," tambahnya. Hasil survey tersebut menyebutkan, 88 persen hubungan seks dilakukan bersama pacar. Sembilan persen sesama jenis, terutama wanita, dan delapan persen dengan PSK untuk pria. Umumnya mereka melakukan hubungan suami istri di tempat kos, dengan jumlah 33 persen. Hotel atau motel memiliki peminat 28 persen, sementara rumah 24 persen. Lama pacaran mereka sebelum berhubungan seksual, rata-rata satu tahun. Full content generated by Get Full RSS. |
You are subscribed to email updates from Republika Online - Gaya Hidup RSS Feed To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan