Selasa, 23 April 2013

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Djoko Susilo Minta Diizinkan Berobat Rutin

Posted: 23 Apr 2013 05:38 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Terdakwa kasus korupsi simulator SIM dan pencucian uang, Irjen Djoko Susilo, minta tetap dapat menjalankan pengobatan rutin. Selama menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi, dia rutin menjalani fisioterapi.

"Memohon kepada majelis agar diberikan kesempatan yang sama kepada terdakwa karena beliau harus rutin seminggu sekali, kami akan sampaikan kelanjutan pengobatannya," kata salah satu pengacara Djoko, Juniver Girsang, kepada majelis hakim dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (23/4/2013). Juniver mengatakan, kliennya rutin berobat ketika ditahan KPK.

Atas permintaan ini, Ketua Majelis Hakim Suhartoyo mengeceknya dengan bertanya kepada jaksa KPK apakah benar Djoko rutin berobat selama ditahan, "Betul itu ada izin?" Jaksa KPK membenarkan adanya izin berobat rutin untuk Djoko selama ditahan di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Selatan.

Seusai persidangan, Juniver mengatakan bahwa Djoko berobat rutin untuk fisioterapi. "Sejak 10 tahun yang lalu ada gangguan di punggung dan perlu fisioterapi. Sejak jadi tersangka, dia memang sudah rutin (berobat)," tambahnya.

Berita terkait dapat dibaca dalam topik: Dugaan Korupsi Korlantas Polri

KPK: Pengenaan Pencucian Uang Bukan Baru di Kasus Djoko Susilo

Posted: 23 Apr 2013 05:25 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Dakwaan terhadap Irjen Djoko Susilo dinilai cacat hukum oleh pengacaranya terkait pengenaan pasal pencucian uang. Selain mempersoalkan penyidikan dilakukan atas aset sebelum 2011 atau sebelum pengadaan simulator SIM, pengacara Djoko pun menilai KPK tak mempunyai kewenangan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Apa tanggapan KPK? 

"Di dalam UU TPPU, penegak hukum boleh mencurigai kalau harta itu diduga diperoleh dari tindak pidana korupsi. (Dalam kasus Djoko) karena tak sesuai dengan pendapatannya selama bekerja di Polri," kata Juru Bicara KPK Johan Budi, Selasa (23/4/2013). Dia mengatakan, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang disahkan pada 2002 memberikan kewenangan kepada setiap penegak hukum untuk mencurigai harta terdakwa yang diduga diperoleh dari korupsi.

Menurut Johan, baru menjadi kesalahan bila pasal pencucian uang dikenakan untuk harta milik terdakwa yang didapat sebelum 2002, atau sebelum UU TPPU diundangkan. "Kalau itu tidak boleh sebelum ada asas legalitasnya," katanya.

Johan menambahkan, bukan kali ini saja seorang jaksa KPK menerapkan pasal TPPU. Dia menyebutkan contoh kasus pajak dengan terdakwa Bahasyim Assifie yang disidangkan pada 2010. "Kasus Bahasyim, TPPU diterapkan bahkan sampai tahun 2005 diusutnya," ujarnya.

Pengacara Djoko Santoso, Juniver Girsang, menilai KPK tidak berwenang menyidik aset kliennya yang diperoleh sebelum 2011. Korupsi yang dituduhkan kepada Djoko adalah terkait pengadaan simulator SIM pada 2011.

Selain itu, Juniver menilai KPK tidak berwenang menggunakan UU TPPU. "KPK menggunakan TPPU (tindak pidana pencucian uang) 2002 dan 2003, ini tidak ada kewenangan KPK karena KPK belum terbentuk di 2002 dan 2003," kata dia.

Menurut Juniver, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut tidak menyebutkan kewenangan KPK untuk mengusut pencucian uang. "Tentu dengan demikian, tuduhan yang mengaitkan di luar 2011 bukan kewenangan KPK atau disebut cacat hukum," tambahnya.

Juniver juga membantah bagian dakwaan KPK yang mengatakan bahwa Djoko memerintahkan mark up atau penggelembungan harga proyek simulator roda dua dan roda empat. Tim pengacara Djoko akan menyampaikan tanggapan atas dakwaan jaksa KPK ini melalui nota keberatan atau eksepsi, yang dijadwalkan akan dibacakan pada 30 April 2013.

Tim jaksa KPK mendakwa Djoko melakukan korupsi proyek simulator SIM dan pencucian uang. Aset Djoko yang dipersoalkan jaksa KPK tak hanya harta perolehan semasa Djoko menjabat sebagai Kepala Korlantas Polri pada 15 September 2010 hingga 23 Februari 2012.

Nilai aset yang dimasukkan dalam dakwaan mencapai lebih dari Rp 100 miliar. Selain aset semasa Djoko menjadi Kepala Korlantas, KPK juga memasukkan aset dari masa sebelum dan sesudah Djoko memangku jabatan itu. Batas awal aset yang disidik adalah perolehan mulai 2002. Selepas menjadi Kepala Korlantas Polri, Djoko menjabat sebagai Gubernur Akademi Kepolisian.

Editor :

Palupi Annisa Auliani

Tiada ulasan:

Catat Ulasan