KOMPAS.com - Nasional |
Endriarto: Kini Jadi Bupati Butuh Dana hingga Rp 30 Miliar Posted: 22 Mar 2013 06:13 PM PDT Endriarto: Kini Jadi Bupati Butuh Dana hingga Rp 30 Miliar Penulis : Dani Prabowo | Sabtu, 23 Maret 2013 | 01:13 WIB JAKARTA, KOMPAS.com — Menjadi seorang kepala daerah saat ini bukanlah hal yang murah. Bahkan, untuk menjadi seorang bupati saja, seorang calon bupati setidaknya perlu mengeluarkan dana antara Rp 20 hingga Rp 30 miliar agar dapat memenangkan proses pemilihan kepala daerah. Hal itu disampaikan anggota Dewan Pakar Partai Nasional Demokrat, Endriartono Sutarto, saat memberikan materi dalam diskusi publik bertajuk Penegakan Hukum vs Kepentingan Politik, Islam dan Militer, di Rumah Kebangsaan, Jumat (22/3/2013). Menurutnya, kondisi politik dalam pelaksanaan pesta demokrasi sangat berbeda jauh jika dibandingkan kondisi beberapa tahun yang lalu. "Dulu, sekitar 7-10 tahun yang lalu, seorang calon bupati mungkin hanya perlu uang Rp 3 - Rp 4 miliar saja untuk dapat jadi seorang bupati. Tetapi sekarang, minimal dana yang perlu dikeluarkan bisa antara Rp 20 - Rp 30 miliar untuk posisi bupati saja. Bagaimana gubernur dan presiden?" katanya. Mantan jenderal bintang empat ini mengungkapkan, diperlukannya dana yang tidak sedikit dalam setiap pagelaran pesta demokrasi akan berdampak pada kepemimpinan seorang bupati terpilih saat menjabat. Hal itu dikarenakan, jabatan bupati merupakan jabatan investasi yang diharapkan akan memberikan keuntungan terhadap si pemangku jabatan. "Akibatnya setelah terpilih mereka yang sejak awal berpikiran jika jabatan itu adalah sebuah investasi akan berpikiran untuk mencari cara bagaimana mengembalikan nilai investasi tersebut. Tidak hanya investasinya saja, kecenderungan lain yaitu mereka berharap bunga dari investasi itu," ujarnya. Endriartono mengungkapkan, segala upaya akan dilakukan guna mengembalikan investasi tersebut. "Cara yang biasanya dipakai yaitu dengan jalan memainkan anggaran sehingga invesatsi dapat cepat kembali," ungkapnya.
|
Dimyati: Banggar Tak Mungkin Bisa Dibubarkan Posted: 22 Mar 2013 05:32 PM PDT JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Dimyati Natakusumah mengatakan, rencana perombakan hingga pembubaran Badan Anggaran di parlemen tidak menjadi bahasan dalam revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang kini tengah dibahas di Baleg. Banggar diyakini masih diperlukan sehingga tak perlu dibubarkan. "Tidak ada pembahasan rombak Banggar di UU MD3. Banggar tak mungkin bisa bubar karena memang dia melaksanakan tugas penganggaran. Lagi pula ini lembaga politis, jadi rasanya tak mungkin dihapus," ujar Dimyati di kompleks Parlemen, Jumat (22/3/2013). Menurut Dimyati, kebocoran anggaran akibat tindak kongkalikong yang ada saat ini bukanlah kesalahan Banggar sebagai lembaga. Namun, Dimyati melihatnya disebabkan karena ada kelonggaran dalam sistem yang ada saat ini. "Jadi bukan Banggarnya. Dari sekian banyak anggota banggar, paling hanya lima persen yang bermasalah. Sisanya saya yakin mereka baik," ucap politisi Partai Persatuan Pembangunan. Persoalan sistem penganggaran, kata Dimyati, kini justru tengah dibahas dalam RUU Keuangan Negara dan bukannya di Undang-Undang MD3. Ia melihat sistem keuangan negara harus diperbaiki variabel dan indikator penganggarannya. "Misalnya, luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, dan perekonomian. Jadi tolak ukurnya jelas, karena selama ini dana-dana itu mengalir ke daerah yang terbanyak," ucap Dimyati. Di dalam RUU Keuangan Negara, lanjutnya, dibahas terkait perencanaan, proses pelaksanaan, hingga pemeriksaan dari suatu alokasi anggaran yang dibuat pemerintah. Dimyati menjelaskan, untuk proses persetujuan anggaran di DPR, tetap diperlukan penelaahan hingga satuan 3 yang menyangkut proyek dan program kementerian dan lembaga. "Satuan 3 memang dibahas di DPR karena pengajuannya dari rakyat. Ini kan anggaran rakyat, kalau pemerintah yang lakukan (penelahaan) satuan 3 itu bisa jadi abuse of power. Jadi, DPR perlu sebagai check and balances," katanya. Sebelumnya, sejumlah elemen masyarakat seperti YLBHI, ICW, FITRA, dan TII mengajukan judicial review atas Pasal 157 Ayat (1) dan Pasal 159 Ayat (5) Huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Pemusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MPD3) serta Pasal 15 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal-pasal itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal tersebut diyakini memberikan peluang pencurian uang negara lantaran fungsi Badan Anggaran DPR yang terlalu luas di dalam aturan itu. Beberapa kasus korupsi pun sudah terungkap ke publik seperti proyek Wisma Atlet, proyek Al Quran, dan kasus Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang menyeret para anggota Banggar.
|
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan