Republika Online |
Pulau Sebatik, Menepi di Pulau Jiran Posted: 14 Dec 2012 06:25 PM PST REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Buah-buah sawit dilempar-lemparkan ke perahu yang telah mulai penuh di tepian Sungai Pancang, sebuah sungai kecil di belakang rumah-rumah kampung di patok perbatasan Desa Ajikuning, Kecamatan Sebatik Tengah, yang berbatasan dengan Malaysia. Satu perahu besar isi kelapa sawit itu akan dijual ke negeri seberang yang memiliki pabrik pengolahan sawit menjadi minyak goreng dengan harga sekitar 3.000 RM (atau sekitar Rp9 juta), kata Usman, warga turunan Bugis kelahiran Sebatik, di tepi sungai yang sebenarnya sudah merupakan wilayah Malaysia itu. Tidak jauh dari tempat dia berjongkok ada jembatan melewati sungai tersebut ke wilayah Sebatik Malaysia. Dari tempat itu pula tampak di seberang sungai, rumah panggung kayu milik orang Bugis warga negara Malaysia ditutupi rimbunan pohon. Mereka tampaknya sudah biasa hilir mudik di perbatasan tanpa dokumen, khususnya sampai di pos Malaysia beberapa kilometer dari sungai tersebut, menurut Usman. Pulau Sebatik ini secara administratif memang dibagi menjadi dua, wilayah utara pulau itu seluas 187,23 kilometer persegi, masuk dalam negara bagian Sabah, Malaysia, sedang wilayah bagian selatan seluas 246,61 kilometer persegi adalah milik Indonesia, bagian dari Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Selain berbatasan darat, perairan Sebatik juga berbatasan dengan perairan Malaysia, dengan jarak Sebatik-Tawau hanya 15 menit dengan speedboat, sangat dekat bila dibandingkan ke Pulau Nunukan yang memakan waktu 1,5 jam dengan alat transportasi yang sama. Sepanjang November 2012, sebanyak 2.374 warga Sebatik Indonesia tercatat pergi-pulang ke Tawau, Malaysia, tanpa paspor (hanya dengan pas lintas batas), dimana mereka menjual berbagai hasil bumi, dari mulai pepaya, pisang hingga ikan dan pulang membawa gula, beras hingga solar. Firman, warga Sebatik lainnya yang mencari penghidupan di dermaga penyeberangan di desa Aji Kuning menuju Tawau, menyatakan rasa sedihnya kondisi Sebatik tidak banyak berubah dari tahun ke tahun meski sudah banyak petinggi negara yang menginjakkan kakinya di pulau tersebut. Di malam itu, ia kembali menatap ke tanah seberang yang gemerlapan bermandikan cahaya warna-warni, dimana Kota Tawau, Malaysia yang penuh gedung tinggi seperti tertawa mengejeknya, meninggalkan Sebatik yang gelap dan terlupakan. Meski tiga tahun terakhir perkembangan Sebatik terbilang cukup cepat, dimana tiga Puskesmas serta tiga SMA, dua SMK dan satu Madrasah Aliyah telah hadir, bahkan sudah ada tiga hotel tanpa bintang, dan sejumlah kendaraan sudah berlalu-lalang, namun Sebatik tetaplah beranda yang miskin. Jadi Kabupaten Kini para pemuda di Sebatik mulai membayangkan pulaunya menjadi daerah yang lebih otonom, sebuah kabupaten tersendiri yang lepas dari Kabupaten Nunukan, atau bahkan menjadi kota administratif yang tidak terlalu kontras kondisinya dibanding kota Tawau di negeri seberang Malaysia. "Omzet yang diperoleh Malaysia dari jual beli dari warga Sebatik ini mencapai Rp500 juta per hari. Ini terpaksa, karena kalau mau beli kebutuhan di Nunukan atau Tarakan jauh sekali, lebih dekat ke Tawau, demikian pula ketika menjual. Potensi hasil bumi Sebatik sangat besar, semua dibawa ke Tawau," kata Muhammad Kamal, pemuda yang punya usaha sendiri. Dengan hanya menjadi kecamatan di bawah Kabupaten Nunukan, investasi tidak mau masuk ke Sebatik karena perizinan ada di Kabupaten Nunukan, selain itu anggaran untuk Pulau Sebatik juga harus dikucurkan melalui Nunukan sehingga Sebatik kekurangan anggaran dan sulit berkembang, tambah Harman. Harman adalah Camat Sebatik Tengah, yang menemui rombongan para ilmuwan, anggota Komisi Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang diketuai sejarahwan Prof Dr Taufik Abdullah bersama Prof Dr Ichlasul Amal dan Prof Dr Sediono Tjondronegoro saat berkunjung ke Pulau Sebatik. "Dengan menjadi kabupaten maka berbagai persoalan di Sebatik bisa diselesaikan sendiri. Misalnya untuk bangun pabrik es, karena untuk memenuhi kebutuhan nelayan saja es harus dibeli di Tawau, apalagi listriknya tak kuat. Pabrik minyak sawit juga begitu. Petani harus jual mentah ke sebelah, karena di sini tak ada pabriknya," katanya. Kepala Pusat Pengembangan Wilayah dan Kawasan Perbatasan Universitas Borneo Tarakan (UBT) M Asfihan mengatakan, masyarakat perbatasan kedua negara di Pulau Sebatik sebenarnya tidak pernah bertengkar karena mereka satu rumpun (sebagian besar merupakan suku Bugis -red). "Masalah muncul, setelah ada batas, lalu perlakuannya menjadi berbeda. Warga Sebatik seperti anak yang baju-bajunya dibelikan oleh tetangganya, jadi si anak marah kepada bapaknya, bukan kepada tetangganya," katanya sambil menekankan bahwa perekonomian warga Sebatik memang sangat tergantung pada Malaysia. Menurut dosen UBT lainnya, Amrullah, ketika akan ada pemekaran Kalimantan Timur menjadi Kalimantan Utara (Kaltara), Sebatik sebenarnya lebih cocok menjadi Kabupaten dibanding Kabupaten Tanah Tidung yang penduduknya hanya sekitar 10 ribu orang dengan wilayah yang lebih luas tapi hanya berupa hutan. "Sebatik punya penduduk sampai 35 ribu orang dan sudah dimekarkan jadi lima kecamatan jadi sebenarnya sudah bisa jadi Kabupaten. Sedangkan Tana Tidung itu waktu itu cepat-cepat dipecah dari Kabupaten Bulungan agar di Kaltara bisa punya lima kabupaten/kota sehingga memenuhi syarat menjadi provinsi sendiri," katanya. Tidak Mudah "Kesan saya Sebatik cukup makmur dibandingkan dengan wilayah perbatasan Indonesia lainnya. Di samping itu untuk menjadi suatu kabupaten selain harus memenuhi sejumlah syarat seperti jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah kecamatan, juga perlu didukung oleh sumberdaya manusia yang kuat dan infrastruktur yang memadai," katanya. Taufik menyatakan setuju saja Sebatik menjadi kabupaten, namun ia mengingatkan, saat ini lebih dari 50 persen daerah yang dimekarkan berakhir dengan kegagalan dan sekitar 450 bupati terlibat korupsi dan diproses ke meja hijau. "Jadi jangan sampai maksud yang baik ternyata sebenarnya hanya permainan segelintir elit politik lokal. Pemerintah perlu diyakinkan bahwa pemekaran adalah jalan terbaik. Tidak semudah dulu," katanya. Taufik juga mengimbau pemerintah agar membangun kawasan perbatasan selayaknya membangun kota sehingga perbedaan di wilayah Indonesia dengan negara tetangga tidak terlalu mencolok. "Ketika saya di perbatasan Thailand-Myanmar, saya sangat marah kepada pemerintah kita. Pemerintah Thailand membangun perbatasannya seperti mereka membangun kota-kotanya dengan infrastruktur dan fasilitas yang lengkap, hampir seperti Bangkok. Demikian pula pemerintah Myanmar, meski perbatasan Thailand lebih baik dibanding Myanmar," ujarnya. Usai berkeliling Sebatik dan berikutnya kota Tawau, Malaysia, Taufik kembali prihatin menyaksikan tampak sekali perbedaan antara daerah yang dibiarkan tumbuh dengan sendirinya, dan daerah yang dirancang sebagai kota yang tertata. Mereka menyaksikan pemandangan kontras kondisi Sebatik yang seperti kampung sementara Tawau tampak gagah dengan banyak gedung bertingkat dari mulai perkantoran, hotel, rumah sakit, universitas, pusat perbelanjaan, hingga apartemen. Bahkan dibandingkan dengan Kota Tarakan, Tawau tetap jauh lebih megah. Masalah ekonomi masyarakat perbatasan yang terbelakang, menurut Taufik, sudah menjadi fakta di perbatasan manapun di Indonesia, karena pemerintah pusat maupun provinsi lebih senang terus membangun pusat pemerintahannya, suatu tradisi masa lalu yang perlu dikikis. "Pemerintah terlalu Jakarta sentris. Padahal kita saat ini bernegara dengan bentuk negara modern, bukan kerajaan seperti di masa lalu yang hanya membangun kotanya, lalu semakin jauh dari pusat semakin terabaikan. Majapahit adalah masa lalu, Kutai Kertanegara juga masa lalu," kata sejarawan itu. |
Mengapa Anak Indonesia Banyak yang Meninggal di Bulan Pertama? Posted: 14 Dec 2012 06:15 PM PST REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Chief Social Policy and Monitoring UNICEF Indonesia Niloufar Pourzand mengatakan kematian bayi baru lahir (neonatal) di Indonesia cukup tinggi. "Kebanyakan anak Indonesia meninggal dunia pada bulan pertama kelahiran," kata Pourzand pada kegiatan diseminasi Ringkasan Permasalahan UNICEF tentang MGD's, Anak dan Persamaan Hak, Jumat (14/12). Berdasarkan data UNICEF diketahui, rata-rata tiap tiga menit terdapat bayi lahir meninggal, sementara ibu melahirkan meninggal rata-rata terjadi setiap jam. Pourzand mengatakan, bayi yang meninggal pada bulan pertama kelahiran, sebagian besar disebabkan karena terserang diare. Hal itu juga disebabkan karena faktor kemiskinan. "Anak yang di rumah tangga miskin, umumnya memiliki dua kali lipat angka kematian neonatal yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak di rumah tangga yang lebih sejahtera," katanya. Demikian pula dengan tingkat pendidikan, diakuinya, berpengaruh besar terhadap kasus neonatal. Hal itu sesuai dengan survei UNICEF bahwa anak-anak dari ibu yang kurang dalam hal pendidikan umumnya memiliki angka kematian yang lebih tinggi dari perempuan dengan pendidikan yang lebih baik. Berkaitan dengan semua persoalan itu, dia mengimbau agar intervensi yang dilakukan pihak terkait memiliki bukti nyata dan mengedepankan "cost effective", sehingga anggaran yang dapat tepat sasaran dan tidak sia-sia. |
You are subscribed to email updates from Republika Online - Gaya Hidup RSS Feed To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan