KOMPAS.com - Nasional |
Polri: Tak Ada Kesalahan Kapolda NTB dan Kapolres Bima Posted: 30 Dec 2011 08:37 AM PST Polri: Tak Ada Kesalahan Kapolda NTB dan Kapolres Bima Sandro Gatra | I Made Asdhiana | Jumat, 30 Desember 2011 | 21:40 WIB JAKARTA, KOMPAS.com — Hasil penyelidikan sementara internal kepolisian, tidak ada pelanggaran apa pun yang dilakukan Kepala Polda Nusa Tenggara Barat Brigjen (Pol) Arif Wahyunandi dan Kepala Polres Bima Ajun Komisaris Besar Kumbul KS terkait pembubaran aksi unjuk rasa di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Hal itu dikatakan Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Fajar Prihantoro seusai rilis akhir tahun 2011 di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (30/12/2011). Fajar mengatakan, pihaknya telah memeriksa 115 anggota dan 18 warga untuk mengetahui kronologis peristiwa. Hasilnya, kata dia, tidak ada pelanggaran prosedur dalam penanganan massa yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kapolres. Menurut Fajar, kesalahan dalam penanganan itu hanya terjadi saat pembubaran. "Brimob ketika mengejar ada yang nembak. Itu yang perlu dievaluasi," kata dia. Cukup gas air mata Fajar menambahkan, petugas di lapangan telah menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Ketika ditanya mengapa tidak menggunakan water canon, dia menjawab, "Kalau disemprot, mental semua (pendemo) ke laut. Itu lebih lagi (korbannya). Makanya lempar gas air mata. Lewati prosedur itu." Seperti diberitakan, berbagai pihak mendesak agar Kapolda dan Kapolres Bima dicopot. Keduanya dianggap pihak yang harus bertanggung jawab atas peristiwa yang menewaskan tiga orang itu. Sementara Polri menyebut hanya ada dua korban tewas. |
Korupsi, Kleptomania yang Harus Disembuhkan Posted: 30 Dec 2011 08:37 AM PST SEMARANG, KOMPAS.com -- Praktik korupsi yang kian merajalela harus dihentikan. Ketika penegakan hukum tidak lagi memberikan efek jera, perlu ada gerakan masyarakat untuk menghentikan budaya korupsi yang merugikan keuangan negara. Semua kalangan harus bekerja keras untuk memerangi korupsi, karena korupsi ibarat kleptomania (penyakit jiwa yang membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri) yang sulit disembuhkan. Demikian rangkuman diskusi Komunitas Tjipian (sebuah komunitas yang membedah dan mengembangkan pemikiran Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo) di Kantor Perwakilan Kompas Jawa Tengah, Semarang, Jumat (30/12/2012) petang. Diskusi yang dipandu inisiator Komunitas Tjipian, Awaludin Marwan, membahas tema korupsi yang marak terjadi di berbagai instansi dan lembaga. Indah Karmadaniah, anggota Komunitas Tjipian mengungkapkan, korupsi yang saat ini tersistematis terjadi karena banyak peluang terbuka untuk melakukan korupsi, seperti yang terjadi dalam model penganggaran di birokrasi. Ia mencontohkan alokasi anggaran dalam satu tahun, sengaja dibuat tidak boleh ada yang sisa, tetapi harus dihabiskan, sehingga program yang dibuat asal-asalan agar anggaran bisa dihabiskan. "Jadi korupsi terkait mentalitas. Orang korupsi sama seperti memiliki penyakit kleptomania. Ini harus disembuhkan," ujarnya. Sementara itu, Yayan M Royani, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Undip Semarang dalam makalahnya mengungkapkan perilaku korupsi subur di Tanah Air, karena dipengaruhi empat aspek yakni kekuasaan, ekonomi, moral, dan hukum. "Era reformasi yang harusnya menjadi momentum menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan justru menciptakan peluang bagi sejumlah kalangan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Janji pemberantasan korupsi dari pemerintah tidak dilaksanakan secara maksimal. Memble di tengah jalan," papar Yayan. Full content generated by Get Full RSS. |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan