ANTARA - Hiburan |
12.587 anak pecahkan rekor Khataman Alquran di Musi Rawas Posted: 04 Nov 2012 04:48 AM PST Jakarta (ANTARA News) - Rekor baru untuk jumlah peserta terbanyak khatam Alquran kini di tangan Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, dengan peserta yang membludak hingga menjadi 12.587 anak, dari target semula 12.000 anak. Kegiatan pemecahan rekor baru itu berlangsung di Masjid Agung Musi Rawas Darussalam, Muara Beliti, Musi Rawas, Minggu (5/11), dengan dimeriahkan artis ibu kota Ridho Rhoma, dan dihadiri sangat antusias puluhan ribu warga Musi Rawas dan sekitarnya. Penghargaan rekor Muri ini disampaikan pihak Muri langsung kepada Bupati Musi Rawas H Ridwan Mukti yang selama ini dikenal sangat menaruh perhatian pada pembangunan generasi di wilayah itu. Kabag Kesra, Pemkab Musi Rawas HM Zoher Hasan dalam keterangan tertulisnya mengatakan, sebanyak 12.587 anak ini berasal dari seluruh pondok pesantren dan 21 kecamatan yang ada di Musi Rawas. "Kami sungguh tidak menyangka ternyata pesertanya melebihi target semula yakni 12.000 anak," kata Zoher Hasan. Menurut Bupati Musi Rawas H Ridwan Mukti, kegiatan pemecahan rekor Muri itu sebagai bentuk komitmen kabupaten yang dipimpinnya mewujudkan Musi Rawas Darussalam, dengan tujuan pembangunan generasi muda yang berkarakter, dan digali dari kearifan dan sejarah lokal. Dikatakan, program sejenis, yang berakar dari kearifan lokal dan bernuansa agamis akan diprogramkan setiap tahun secara berkesinambungan, sejalan dengan perkembangan pembangunan fisik dan ekonomi di daerah Musi Rawas tujuh tahun terakhir. Ketua ICMI Sumsel, yang juga mantan anggota DPR RI dua periode itu, sebelumnya sudah menargetkan hingga tahun 2014 nanti, 20 persen masyarakat di Musi Rawas khatam Alquran, 50 persen masyarakat ikut Majlis Taklim, dan 100 persen masyarakat bebas buta aksara Alquran. Bupati Ridwan Mukti juga menerbitkan Peraturan Bupati Musi Rawas No 5 Tahun 2008 tentang Pemberantasan Buta Aksara Al-Quran, dan Instruksi Bupati kepada seluruh camat dan kepala desa se-Musi Rawas untuk membentuk kelompok pengajian dan majelis ta'lim di wilayahnya. Bahkan demi mendukung tercapainya program ini, Ridwan Mukti mengucurkan anggaran puluhan miliar per tahun, antara lain untuk memberikan insentif Rp500 ribu kepada guru ngaji untuk setiap anak yang berhasil dikhatamkan, dan Rp100 ribu untuk sang anak. Dengan insentif itu, jika seorang guru ngaji dapat menghatamkan 10 anak, maka insentif yang diterimanya adalah Rp5 juta. Program ini sendiri sudah berlangsung sejak tahun 2009. (*) Editor: Ruslan Burhani COPYRIGHT © 2012 Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com |
Galaunya Jakarta dalam "Jakarta Hati" Posted: 04 Nov 2012 04:16 AM PST Jakarta (ANTARA News) - Selalu ada cerita yang terkait dengan hati di setiap sudut kota Jakarta. Saat bicara soal hati, tentu tanggapan yang diberikan akan berlainan karena masalah yang berbeda. Mereka yang hatinya sedang galau, tentu akan berelegi. Sementara yang kisahnya berakhir bahagia, tentu akan berbunga-bunga. Itulah yang ditangkap oleh sutradara Salman Aristo dalam film layar lebar terbarunya yang berjudul "Jakarta Hati". "Jakarta Hati" sebuah film layar lebar berjenis omnibus yang berisi enam film pendek dan tidak saling terkait. Dengan produser Lavesh M. Samtani, enam cerita tersebut mengisahkan kegalauan yang mengisi sudut-sudut kota Jakarta setiap harinya, selama 24 jam. Melalui film ini pula, Salman tampaknya ingin menyentil penontonnya mengenai segala persoalan Jakarta yang kerap dipermasalahkan oleh masyarakat kebanyakan. Perselingkuhan, masalah moral, korupsi, idealisme, masalah ekonomi, sosial budaya, adalah hal-hal yang tak asing dengan masyarakat ibu kota dan dibahas dengan cukup jeli oleh Salman. "Film ini adalah salah satu bentuk ekspresi saya tentang problematika Jakarta," ujar Salman yang sebelumnya menggarap film berjudul "Jakarta Maghrib". Melalui dialog-dialog dan adegan-adegan di tiap cerita, berbagai kritik tajam dan sentilan pedas tentang masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh Salman secara implisit. Cerita dimulai pada tengah malam, saat dua orang patah hati menjelajahi hati masing-masing sambil menyisir kota Jakarta di malam hari. Kisah kedua diceritakan saat pagi hari, di mana seorang anggota dewan disibukkan dengan urusannya untuk membagi jatah korupsi kepada rekan-rekannya. Kisah ketiga diceritakan menjelang siang, saat seorang polisi muda digelayuti dilema dan emosi yang bergejolak, tatkala dia harus memenjarakan seorang bajingan yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri yang menghilang selama lima tahun. Masalah integritas, kesetiakawanan dan idealisme seorang sastrawan tertuang dengan apik pada kisah keempat. Kisah kelima berhasil menceritakan tentang pasangan muda yang kehilangan percikan cinta, sibuk dengan kegiatan masing-masing, hingga satu saat segala tabir terkuak di kamar tidur, di saat pemadaman listrik bergilir. Film ini lalu ditutup dengan manis melalui kisah keenam, yang berlatar belakang hiruk pikuk pasar kue di waktu subuh. Berbumbu kisah cinta antara dua insan berbeda suku dan ras, cerita tentang Fatima dan dadar gulingnya ini cukup menyentil telinga karena keberanian Salman yang menggunakan bahasa yang dianggap oleh masyarakat sebagai bahasa kasar dalam tiap dialognya. Oleh sebab itu, film berdurasi sekitar 120 menit ini tergolong film untuk orang dewasa, mengingat beberapa alur cerita, gaya bahasa, serta adegan yang rasanya kurang pantas untuk disaksikan oleh anak-anak. Karakter dan analogi Beberapa kisah yang diceritakan di dalam film ini mengajak penontonnya untuk berpikir mengenai makna-makna yang tersirat di dalamnya. Melalui karakter dan bahasa, penonton diajak untuk menganalisa apa yang tengah terjadi. Namun kuatnya permainan karakter dalam film ini cukup dapat membantu penonton untuk menterjemahkan maksud Salman Aristo. Asmirandah, Shahnaz Haque, dan Andhika Pratama yang lebih dikenal melalui akting mereka dalam sinetron kejar tayang, patut mendapat acungan jempol karena mampu menghapus pencitraan akting 'a la sinetron' dan membuat penonton larut dalam peran yang mereka mainkan. Sementara itu, mantan Putri Indonesia, Agni Pratistha dan Dion Wiyoko berhasil menggunakan dialog dan intonasi bicara sebagai kekuatan cerita. Bagaimana tidak, dalam kondisi gelap akibat cerita yang berlatar belakang pemadaman bergilir di malam hari ditambah kamera yang statis, rasa bosan penonton menjadi taruhan saat menyaksikan film ini. Namun dialog-dialog menyentil yang terkadang mengudang tawa satir, mampu mengikat penontonnya untuk terus mengikuti alur cerita. "Sengaja saya gunakan satu kamera yang statis, ini menganalogikan manusia yang tidak bisa move on dalam menjalani suatu hubungan. Biar yang bergerak para pemainnya saja, tapi tidak dengan kameranya," ujar Salman. Tidak hanya analogi, Salman juga memperhatikan berbagai detail dalam tiap adegan di setiap cerita. Pada cerita Darling Fatima misalnya, Salman menggunakan gelang yang dikenakan oleh Fatima dan pacarnya Ayun, sebagai pengikat di antara mereka. Hal yang tidak akan diperhatikan oleh penonton, namun bisa menjadi penanda yang menolong penonton untuk dapat memahami inti cerita. Beberapa aktor dan aktris kawakan seperti Jajang C. Noor, Didi Petet, Agus Kuncoro, juga mengisi beberapa cerita dalam omnibus ini sebagai cameo. (M048) |
You are subscribed to email updates from ANTARA News - Hiburan To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan