Republika Online |
Hati-hati Konsumsi Garam, karena... Posted: 25 Jul 2012 09:04 PM PDT REPUBLIKA.CO.ID, Sudah sejak beberapa dekade lalu, garam diyakini menjadi pemicu tekanan darah tinggi yang merupakan pertanda penyakit jantung. Untuk penderita tekanan darah tinggi (hipertensi) yang parah, penanganan dengan obat-obatan mungkin diperlukan. Namun buat mereka yang belum mendapati taraf itu (parah), upaya pencegahan tentu lebih baik. Yakni dengan mengurangi konsumsi zat yang menjadi picu hipertensi: garam. Selama ini, garam seolah ditabukan karena bisa meninggikan tekanan darah. Namun sampai kini belum diketahui secara pasti sejauh mana garam menjadi problem bagi orang-orang yang memiliki tekanan darah normal. Lewat penelitian diketahui pula bahwa lemak jenuh yang biasanya ditemukan pada daging berwarna merah, mentega dan produk-produk hewani lainnya merupakan ancaman terbesar bagi jantung dan pembuluh darah. Ancaman ini jauh bahkan lebih besar ketimbang kolesterol. Berkait dengan garam ini, dua kelompok peneliti telah melakukan riset. Namun dua penelitian yang dilakukan sekitar tiga tahun lalu itu menunjukkan hasil yang berbeda -- kalau tidak dikatakan bertolak belakang. Penelitian pertama yang hasilnya dilaporkan di British Medical Journal menyimpulkan bahwa pengurangan asupan garam akan menurunkan tekanan darah, tak hanya pada penderita hipertensi tapi juga pada mereka yang tidak menderita tekanan darah tinggi. Namun studi lain yang diumumkan hasilnya pada minggu yang sama di Journal of the American Medical Association menyatakan bahwa orang dengan tekanan darah normal tidak akan mendapatkan keuntungan yang signifikan dari pengurangan konsumsi garam. Manakah yang benar? Mungkin tidak satu pun dari keduanya. Sebab, setelah diamati, ternyata masing-masing penelitian tersebut mengandung kelemahan. Ketimbang repot memikirkan hasil penelitian itu, akan lebih bermanfaat bila kita mencari jawaban untuk satu pertanyaan ini: Asal tahu saja, meski sepintas tampak sepele, para ahli belum menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan itu. Namun itu bukan berarti kita harus menyerah. Setidaknya, kita bisa menyimak saran yang diberikan Dr Theodore Kotchen, pakar gizi dari Medical Coillege of Wisconsin. ''Meski belum banyak bukti-bukti ilmiah yang mendukung, menjaga agar tingkat asupan garam tetap rendah adalah langkah yang baik. Ini karena sebegitu jauh belum ada bukti yang menunjukkan bahwa diet rendah garam merupakan hal yang berbahaya.'' Namun ada satu pengecualian. Yaitu orang-orang yang kehilangan banyak garam lewat keringat karena olahraga atau kerja fisik yang berat. Pengurangan asupan garam pada mereka justru bisa membahayakan kesehatan. |
Hobi Makan Enak? Tolong, Waspadai Ini Posted: 25 Jul 2012 08:07 PM PDT REPUBLIKA.CO.ID, Lemak telah lama hadir dalam menu makanan manusia. Tepatnya sejak sekitar 3 juta tahun, lalu ketika nenek moyang kita mulai memakan daging. Dan, meski diperlukan oleh tubuh, lemak yang dikonsumsi dalam jumlah berlebih menimbulkan efek yang tidak baik bagi kesehatan. Selain lemak, dikenal pula apa yang disebut kolesterol yakni zat lemak yang terdapat dalam daging, unggas, telur dan produk-produk susu. Pada sekitar tahun 1960-an, para ahli kedokteran mulai melihat indikasi bahwa pasien yang kadar kolesterol dalam darahnya tinggi cenderung menderita sakit jantung. Ini karena kolesterol akan membentuk endapan pada dinding pembuluh darah lapisan dalam. Akibatnya, pembuluh darah pun menyempit dan tak sanggup mengalirkan darah secukupnya melalui otot jantung. Berdasar pemahaman itu, para dokter lalu menganjurkan para pasien jantung untuk mengkonsumsi makanan rendah kolesterol, mengganti mentega dengan margarin yang terbuat dari minyak sayur, mengurangi konsumsi telur dan daging. Untuk kondisi saat itu dimana pengetahuan kedokteran belum semaju sekarang, saran itu adalah yang terbaik. Namun ketika ilmu kedokteran makin maju dan para ahli kian memahami bagaimana tubuh manusia bekerja, maka saran yang di tahun 1960-an lalu merupakan yang terbaik kini jadi terlalu sederhana. Buktinya, pada sejumlah orang, kadar kolesterol dalam darah tetap saja tinggi. Tak peduli apapun yang mereka makan. Sebaliknya, tak sedikit pasien penyakit jantung yang mempunyai kadar kolesterol normal. Mengapa bisa begitu? Jawaban untuk pertanyaan itu baru diketahui belum lama ini. Yaitu, bahwa seberapa banyak kolesterol yang dimakan tidak selalu menentukan seberapa banyak kolesterol yang terdapat dalam darah. Harus diingat bahwa tubuh juga menghasilkan kolesterol sendiri. Dan pada beberapa orang, tubuh mereka kurang efisien dalam merespon upaya pengurangan kadar kolesterol yang dilakukan. Ini besar kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik. Karena itu yang perlu diupayakan adalah bagaimana agar kadar kolesterol dalam darah tetap terkontrol, namun pada saat yang sama seseorang tak perlu mengenyahkan kolesterol dalam daftar menu makanan mereka. Pernyataan diatas boleh jadi membingungkan. Namun kata para ahli, itu bukan hal mustahil. Dan kuncinya, lagi-lagi, masih dengan mengurangi tingkat konsumsi daging berwarna merah, krim dan mentega. Tapi bedanya upaya pengurangan itu tidak didasari pada seberapa banyak kandungan kolesterolnya, namun lebih pada kandungan lemak jenuhnya. Alasannya, karena lemak jenuh meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Dengan pemahaman itu, telur kembali punya peluang dinikmati. Sebab, meski berkolesterol tinggi, bahan makanan ini tidak mengandung lemak jenuh. Karena itu, tak ada salahnya bila telur dicabut dari daftar makanan terlarang, kecuali bagi mereka yang punya problem kolesterol sangat serius. |
You are subscribed to email updates from Republika Online - Gaya Hidup RSS Feed To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan