Khamis, 14 Jun 2012

KOMPAS.com - Internasional

KOMPAS.com - Internasional


Ikhwanul Muslimin Mesir Marah atas Keputusan MA

Posted: 15 Jun 2012 04:13 AM PDT

Ikhwanul Muslimin memperingatkan bahwa demokrasi Mesir yang masih rawan kini dalam bahaya, setelah MA membatalkan pemilihan umum tahun lalu.

Dalam pernyataannya, Ikhwanul Muslimin menyebut Mesir akan menghadapi hari ''berbahaya'' jika kekuasaan dikembalikan ke mereka yang terkait dengan rezim sebelumnya.

Kandidat kelompok ini Mohammed Mursi, akan menghadapi mantan PM Ahmed Shafiq dalam pemilihan presiden putaran kedua akhir pekan ini.

Keputusan Mahkamah Agung, Kamis (14/6/2012) kemarin menyebabkan Mesir kembali bergejolak.

MA memutuskan pemilihan parlemen tahun lalu - yang pertama berlangsung secara bebas dan adil dalam beberapa dekade terakhir - tidak konstitusional, dan memerintahkan pemilu ulang.

Keputusan itu membuat kekuasaan legislatif kembali ke Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, SCAF, yang sempat bertugas mengawasi proses transisi Mesir setelah penggulingan Hosni Mubarak Februari 2011.

MA dalam keputusannya juga membolehkan Shafiq untuk ikut pilpres putaran kedua.

Sebuah 'kudeta'

Oposisi mengkhawatirkan SCARF mencoba untuk meningkatkan pengaruhnya lagi dan menyebut keputusan MA sebagai sebuah ''kudeta'' untuk melemahkan revolusi, yang dilakukan oleh para hakim yang diangkat mantan Presiden Mubarak.

Ikhwanul Muslimin - yang memenangkan 46 persen suara di parlemen - menyatakan keputusan itu mengindikasikan Mesir tengah menuju ''hari-hari yang sulit yang mungkin lebih berbahaya dari hari-hari terakhir kekuasaan Mubarak''.

"Semua upaya revolusi demokratis mungkin akan terhapus dengan mengembalikan kekuasaan ke simbol era sebelumnya,'' demikian isi pernyataan tersebut.

Kandidat presiden dari kelompok ini Mohammed Mursi mengaku dia sangat tidak puas meski menerima keputusan MA tersebut.

Bagaimanapun dia memperingatkan bahwa negaranya dalam kondisi titik balik.

"Minoritas mencoba untuk mengkorupsi bangsa dan membawa kita kembali. Kami akan datang ke kotak suara untuk mengatakan tidak bagi mereka yang gagal, bagi mereka yang kriminal.''

Sejumlah tokoh politik lainnya juga mengecam keputusan ini dengan menyebut presiden mendatang akan memimpin tanpa parlemen atau sebuah konstitusi.

Tokoh Islamis Abdul Moneim Aboul Fotouh, yang ikut ambil bagian dalam putaran pertama pemilihan presiden Mei lalu mengatakan bahwa pembubaran parlemen sebagai ''kudeta total''.

Partai Salafi Al-Nour, yang memiliki wakil terbanyak kedua di parlemen mengatakan keputusan tersebut menunjukkan ''sebuah penghinaan atas kebebasan para pemilih''.

Ratusan pendemo juga kembali berkumpul di Lapangan Tahrir, Kairo mengungkapkan kemarahan atas keputusan tersebut.

China Minta Maaf soal Aborsi Paksa

Posted: 15 Jun 2012 03:50 AM PDT

BEIJING, KOMPAS.com - Pihak berwenang China meminta maaf pada seorang ibu yang dipaksa menggugurkan kandungan di usia tujuh bulan. Mereka juga menjatuhkan skors pada tiga pejabat daerah yang terlibat dalam pemaksaan itu.

"Karena tindakan ilegal oleh sejumlah pejabat sudah menyakiti Feng Jianmei dan keluarganya, kami meminta maaf sedalam-dalamnya pada mereka dan pada masyarakat secara umum," demikian pernyataan yang dirilis pemerintah Kota Ankang di Provinsi Shaanxi, Kamis (14/6/2012).

Dua dari tiga petugas keluarga berencana di desa tempat Feng tinggal telah diskors. Pemerintah kota berjanji akan melakukan penyelidikan dan menjatuhkan hukuman pada siapapun yang bertanggung jawab atas kejadian itu.

Pemkot Ankang menambahkan, wakil wali kota sudah menjenguk keluarga itu untuk menyampaikan permintaan maaf tersebut secara langsung dan untuk menawarkan bantuan yang lebih nyata.

Feng (22) ditahan secara ilegal pada 30 Mei lalu di pedesaan di Shaanxi. Dia dipaksa mengaborsi kandungannya tiga hari kemudian, meskipun usia kandungannya sudah mencapai tujuh bulan, kata Deng Jiyuan suaminya.

"Saya marah dan menginginkan keadilan," kata Deng kepada CNN. "Mereka memaksa dia menggugurkan janin kami yang sudah berumur tujuh bulan - apakah mereka pantas disebut pejabat Partai Komunis yang membantu rakyat?"

Petani berusia 29 tahun itu mengatakan dia berusaha mendapat izin melahirkan hingga menit terakhir, tapi tidak mampu membayar denda sebesar 40.000 yuan yang diminta para pejabat desa itu. Menurut Deng, istrinya masih merasakan trauma di rumah sakit.

Pasangan itu menikah pada 2006 dan Feng sudah melahirkan bayi perempuan pada 2007, kata pejabat desa. Berdasarkan undang-undang keluarga berencana "satu keluarga satu anak", Feng dan Deng seharusnya tidak bolah memiliki anak kedua.

Foto-foto yang diambil pascaaborsi menunjukkan bayi mereka yang berlumuran darah terbaring di samping Feng di ranjang rumah sakit. Foto-foto itu beredar luas melalui internet dan menimbulkan amarah luar biasa dari masyarakat.

Tragedi tersebut juga menjadi berita besar di media-media China serta memicu perdebatan publik tentang salah satu kebijakan kontroversial tersebut.

Awalnya pejabat lokal mengaku Feng melakukannya secara sukarela, namun akhirnya mereka mengakui aborsi paksa itu sebagai tindakan ilegal.

"Tindakan seperti itu secara serius melanggar kebijakan dan peraturan terkait yang ditetapkan pemerintah pusat dan provinsi, mencemarkan citra program keluarga berencana dan menyebabkan dampak sosial yang negatif," kata pernyataan yang dirilis Komisi Populasi dan Keluarga Berencana Provinsi Shaanxi.

Hingga Kamis sore, kasus ini menjadi trending topic di Sina Weibo, situs microblogging China. Hampir sejuta penggunanya berkomentar soal ini.

Sebagian besar berpihak pada korban, pasangan Deng dan Feng dan mengecam aparat pemerintah. "Adili pembunuh-pembunuh itu," begitu ungkapan yang sering dilontarkan.

Deng, yang memiliki akun Weibo, terus mengabarkan perkembangan dan rasa frustrasinya. Untuk profilnya, dia memasang foto istrinya pascaaborsi dengan bayinya yang dibuat buram. Foto tersebut sangat mengguncang publik.

Sebelum kasus ini, kebijakan "satu anak" di China menjadi perhatian internasional ketika aktivis hak asasi manusia China Chen Guangcheng kabur dari rumah tempatnya ditahan. Chen merupakan aktivis yang menentang praktik aborsi dan sterilisasi paksa dalam penerapan program keluarga berencana itu. Gara-gara aktivitasnya tersebut, Chen harus berurusan dengan hukum.

Sejak China menerapkan kebijakan "satu anak" pada akhir 1970-an demi membatasi pertumbuhan populasi, jutaan orang dipaksa untuk mengakhiri "kehamilan ilegal".

Jumlah kasus "aborsi keluarga berencana" itu mencapai puncaknya pada 1983 dengan 14,37 juta aborsi, menurut data dari Kementerian Kesehatan. Sejak tahun 2000, praktik aborsi semacam itu berjumlah rata-rata 7 juta per tahun. Angka tertinggi terjadi pada 2008, yakni 9,17 juta kasus.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan