KOMPAS.com - Nasional |
Tifatul: Tidak Ada Kami Didepak Posted: 10 Apr 2012 09:39 AM PDT Nasib PKS Tifatul: Tidak Ada Kami Didepak Ilham Khoiri | Marcus Suprihadi | Selasa, 10 April 2012 | 23:11 WIB JAKARTA, KOMPAS.com- Hingga kini, Partai Keadilan Sejahtera masih merasa sebagai bagian dari koalisi partai-partai pendukung pemerintah. Kondisi itu akan terus berlangsung demikian, kecuali jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sekaligus sebagai pimpinan koalisi, memutuskan hal berbeda. Hal itu disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika RI Tifatul Sembiring, di Jakarta, Selasa (10/4/2012). "Kita tunggu dari Presiden. Kami tenang-tenang saja," katanya. Mantan Presiden PKS itu mengungkapkan keyakinannya, bahwa PKS tidak akan didepak dari koalisi. Namun, kepastian hal itu perlu menunggu keputusan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Tidak ada (ceritanya) kami didepak (dari koalisi)," katanya. Seperti diberitakan, para pimpinan partai anggota koalisi menilai, partai itu dianggap telah melanggar code of conduct (tata etika) koalisi karena berseberangan dari kebijakan koalisi untuk mendukung rencana kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Hanya, hingga kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum memberikan keputusan resmi soal keberadaanPKS. Kondisi itu memicu polemik dengan beragam pendapat pro dan kontra. Sebagian partai anggota koalisi mendesak presiden untuk mengevaluasi keberadaan PKS dalam koalisi. Sebagian lain berharap, partai itu tetap dalam koalisi dengan syarat mau bersungguh-sungguh menjaga komitmen kontrak bersama dan code of conduct koalisi.
|
Posted: 10 Apr 2012 09:39 AM PDT JAKARTA, KOMPAS.com -- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berawal dari gerakan (harakah) dakwah Islam di kalangan kampus yang cenderung tertutup dan berpandangan konservatif. Ketika menjelma menjadi partai dalam iklim demokrasi, gerakan Islamis itu menjadi lebih moderat. Penilaian itu disampaikan dosen politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Burhanuddin Muhtadi, dalam diskusi buku karyanya, "Dilema PKS: Suara dan Syariah" di Jakarta, Selasa (10/4/2012). "Ada hukum besi demokrasi, bahwa partai Islamis sekalipun, kalau masuk dalam alam demokrasi, akan mengalami proses moderasi, akan mengalami postmoderasi. PKS mengalami hal ini," katanya. Menurut Burhanuddin, PKS, yang dulu bernama PK (Partai Keadilan), merupakan pengembangan dari gerakan Islam yang tumbuh di kampus-kampus. Para penggiatnya berasal dari kaum muda, tinggal di perkotaan, berpendidikan, dan punya pandangan keagamaan yang konservatif. Dalam perkembangannya, partai ideologis itu semakin membuka diri untuk merangkul segmen masyarakat lebih luas. "Dulu, partai Islam dicitrakan antidemokrasi karena cenderung teokratik (paham negara berdasar agama). Namun, ketika masuk dalam sistem demokrasi, PKS kemudian menjadi semakin moderat. Partai ini mampu mengawinkan Islam dan demokrasi," katanya. Saat ini, PKS masih tetap mengalami dilema, terutama untuk tetap mempertahankan basis massa pendukungnya sambil meraih simpati dari publik lebih luas. Jika berhasil, partai itu akan memperoleh dua segmen itu. Namun, jika gagal, kedua segmen itu bakal lepas. "Kita uji saja ijtihad politik PKS dalam Pemilu 2014 nanti," katanya. |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan