KOMPAS.com - Nasional |
Memprihatinkan, Tren Kekerasan Seksual pada Anak Meningkat Posted: 14 Mar 2013 07:54 PM PDT DEPOK, KOMPAS.com — Laporan tentang kekerasan terhadap anak yang diterima Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) terus meningkat dari tahun ke tahun. Celakanya, penyelidikan mendapatkan fakta kasus-kasus itu justru dilakukan oleh orang-orang dekat korban. "Pada 2011, ada 2.509 laporan kekerasan, 2012 ada 2.637 laporan," ujar Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait. Dari total kasus tersebut, imbuh dia, pada 2011, tercatat 59 persen di antaranya adalah kekerasan seksual dan pada 2012 meningkat menjadi 62 persen. Menurut Arist, tingginya angka kasus mencerminkan buruknya situasi perlindungan anak di Indonesia. Itu pun, duga dia, angka sesungguhnya di lapangan masih jauh lebih besar. "Puncaknya gunung esnya saja belum tampak karena tingginya kasus kekerasan pada anak sampai sekarang tetap tak terlihat." Kasus-kasus itu ZC, bocah berusia sembilan tahun, misalnya, dua pekan lalu melaporkan telah diperkosa ayah tirinya ke Komnas PA. Sementara RR (7 tahun) diduga dicabuli oleh RA (17 tahun) Desember 2012. Ada juga PD, gadis berusia 18 tahun yang belum lama ini mendatangi Polres Jakarta Timur untuk melaporkan perbuatan ayahnya, DP (42 tahun). Kepada penyidik, PD mengungkapkan sudah diperkosa oleh ayahnya sendiri sejak dia berusia 13 tahun. Kasus tragis RI (11 tahun) tentu tak bisa dihapus begitu saja dari catatan kelam. Dia meninggal setelah sepekan kritis di RS Persahabatan. Meski dia meninggal karena radang otak, dokter memastikan ada luka lama di organ kelaminnya yang menyebabkan kerusakan karena infeksi. "Saya mendengar dari tim dokter bahwa ada luka yang bukan baru di sekitar alat vital korban dan vaginanya rusak diduga infeksi. Mungkin inilah yang membuat korban tidak tertolong lagi," kata Arist. Belakangan diketahui semua kerusakan di alat kelamin RI adalah akibat perbuatan ayahnya sendiri. Sayangnya, polisi kesulitan menjerat ayah RI. "Ada beberapa kendala yang dihadapi penyidik, di antaranya karena korban sendiri sudah meninggal dunia sebelum dapat mengambil keterangan dari korban," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Rikwanto. Tahun darurat kekerasan seksual pada anak Kasus RI, menurut Arist, menandai tahun yang suram dalam upaya perlindungan anak dari kekerasan seksual. Dia pun menyebut 2013 sebagai tahun darurat seksual terhadap anak. "Masyarakat harus menuntut agar negara meningkatkan hukuman bagi orang dewasa yang melakukan kekerasan seksual (terutama pada anak)," ujarnya. Sementara itu, menanggapi kasus RI dan maraknya kasus kekerasan seksual pada anak belakangan ini, DPR dan pemerintah berjanji akan segera membahas revisi Undang-Undang KUHP. Anggota Komisi III Bidang Hukum Martin Hutabarat mengatakan, DPR tengah menunggu pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menyerahkan RUU KUHP untuk dibahas. Menurut dia, pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan pada anak bisa dilakukan melalui revisi UU KUHP ini. Bila tren berlanjut, 2013 akan bisa menjadi tahun darurat kekerasan seksual pada anak. Namun, Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III DPR, memberikan solusi yang lebih cepat agar pelaku kekerasan seksual segera dihukum seberat-beratnya. "Kalau mau dipaksakan saat ini bisa. (Yaitu) Mahkamah Agung membuat fatwa daripada menunggu UU diubah." Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar mengaku prihatin atas terus meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. "Jumlah kekerasan pada anak mengalami peningkatan pada tahun lalu. Masyarakat dan segenap pihak terkait wajib bekerja sama untuk menangani masalah ini," kata Linda. Hal yang lebih memprihatinkan, tambah Linda, adalah fakta bahwa pelaku kekerasan pada anak umumnya kerabat terdekat korban yang seyogianya justru memberi perlindungan kepada mereka. "Jika kekerasan terhadap anak tidak diantisipasi, maka 2013 bisa menjadi tahun darurat bagi keselamatan anak." Linda pun menyoroti UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dinilainya tidak efektif diterapkan untuk menjerat para pelaku tindak kekerasan pada anak. "Hukuman maksimal pada pelaku jarang diberikan." Kendala pengungkapan kasus Sulitnya mengungkap kasus kekerasan seksual pada anak dan membawa pelakunya ke meja hijau diduga karena "otoritas sosial" para pelaku lebih tinggi daripada korban. "Pelaku umumnya memiliki otoritas lebih tinggi ketimbang korban sehingga korban memilih diam. Pelakunya bisa guru, ayah, atau kakak tiri," kata psikolog Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Besar Nur Cahyo. Komisioner Komnas Perempuan, Herawati, menambahkan, pelaku yang masih punya hubungan sedarah semakin membuat korban kehilangan keberanian menyampaikan apa yang dia alami. Kesulitan lain membawa kasus-kasus kejahatan seksual pada anak ke meja hijau, ujar Herawati, adalah lemahnya sistem perundangan. "Keterangan korban di bawah umur tidak diakui dalam sistem perundangan kita." Kekhawatiran bakal tidak dipercaya diduga menjadi kendala pengungkapan kasus kekerasan seksual dengan pelaku sedarah. "Butuh waktu terapi lebih panjang agar korban mau mengungkap apa yang ia alami," kata psikolog klinis Lia Latief Sutisna. Apalagi kekerasan seksual di lingkungan keluarga atau asrama sekolah cenderung tanpa saksi mata. "Untuk mengungkap, para penyidik biasanya mengandalkan hasil riset laboratorium dan kepiawaian para ilmuwan meyakinkan majelis hakim," ujar Kasat Kejahatan dengan Kekerasan Polda Metro Jaya AKB Helmy Santika Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh orang terdekat korban, menurut psikolog Universitas Indonesia, Tika Bisono, adalah penyimpangan sosial yang bisa jadi disebabkan oleh depresi yang kemudian menyebabkan rusaknya pola pikir pelaku. "Bisa saja pelaku frustrasi dengan kehidupannya sendiri, kemudian mencari pelampiasan dan anggota keluarga yang jadi target," ujar Tika. Kasus perceraian, tambah Tika, juga menjadi faktor lain penyebab perkosaan di dalam keluarga. Belum lagi, anak-anak cenderung menelan mentah-mentah "doktrin" untuk patuh kepada orang tua. "Kata-kata 'nurut orang tua' ini jadi soft terror," kata dia. Sosiolog dari Universitas Sumatera Utara, Badaruddin, menyebutkan, tindakan pelecehan yang dialami anak itu bukannya hanya dilakukan para remaja, orang dewasa, tetapi juga kakek-kakek. "Ini bukan hanya melanggar pidana, tapi (seharusnya) pelanggaran berat HAM. Seorang anak yang masih dalam pembinaan orang tua harusnya dilindungi, bukan dilecehkan," tegas dia. (E.Z002/B/Z. Abdullah/Z. Abdullah)
Editor : Palupi Annisa Auliani |
Pemulangan WNI di Sabah Tergantung Penyelesaian Konflik Posted: 14 Mar 2013 07:15 PM PDT JAKARTA, KOMPAS.com — Pemulangan warga negara Indonesia (WNI) yang berada di tempat evakuasi di Sabah, Malaysia, menunggu penyelesaian konflik negeri jiran itu dengan Kerajaan Sulu. Para pengusaha perkebunan sawit yang mempekerjakan WNI tak berani mengambil risiko di tengah konflik sengketa wilayah tersebut. "Kami masih menjaga WNI di sana (Sabah). Pemulangan mereka menunggu kabar Pemerintah Malaysia menyelesaikan masalah itu," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Ditjen Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri, Tatang Budie Utama Razak, di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (14/3/2013). Pengusaha perkebunan sawit yang mempekerjakan WNI, ujar dia, memutuskan tak menggunakan WNI di lahan mereka selama konflik masih berlangsung. Selama para pekerja WNI ini berada di tempat pengungsian, kata Tatang, segala keperluannya dipenuhi para pengusaha yang merekrut mereka. "Sampai ada kesepakatan damai Pemerintah Malaysia dan Kerajaan Sulu, " ujar dia. Seluruh pekerja WNI di perkebunan sawit, menurut Tatang, sudah dapat diungsikan dari tempat kerja mereka. Meski terdampak dari sisi ekonomi, tak ada korban jiwa dari WNI akibat konflik ini. Dia pun mengatakan tak ada eksodus pekerja WNI meninggalkan Sabah melalui Tawau dan Nunukan. Lalu lintas orang Indonesia di kedua pos perlintasan antarnegara itu, menurut Tatang, adalah aktivitas biasa, bukan pekerja perkebunan sawit. "Mereka banyak orang Indonesia, tidak ada paspor, tapi pakai kartu pas saja sudah bisa mondar-mandir. Tidak ada eksodus besar-besaran seperti yang diberitakan media," tegas dia. Sebelumnya, pasukan Kerajaan Sulu menyergap sejumlah aparat kepolisian di Sabah, Malaysia, pekan lalu. Sejak saat itu, konflik bersenjata antara pasukan Sulu dengan Kepolisian Diraja Malaysia terus terjadi hingga menimbulkan korban di kedua belah pihak. Diperkirakan ada sekitar 1.200 WNI yang tinggal di Sabah. Mereka sebagian besar adalah para pekerja di ladang sawit. Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Kota Kinabalu telah mengirim surat resmi kepada Ketua Majelis Keselamatan Negara Negeri Sabah, meminta jaminan keselamatan terhadap WNI/TKI. KJRI juga sudah mengirimkan surat ke seluruh manajer ladang sawit di Sabah. Isi surat itu adalah meminta pihak manajemen menjaga keselamatan WNI/TKI dan membekali para WNI/TKI dengan dokumen perjalanan untuk keperluan keluar kebun sawit. Berita terkait dapat dibaca dalam topik: Sabah Berdarah Editor : Palupi Annisa Auliani |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan