Republika Online |
Ibu-ibu Mau Diet? Ini Dia Hitungan yang Pas Posted: 09 May 2012 09:04 PM PDT REPUBLIKA.CO.ID, Setiap orang butuh asupan kalori bagi tubuhnya. Tak hanya baik untuk kesehatan, asupan kalori yang pas juga berfungsi untuk menunjang aktivitas. Namun, tak banyak yang tahu berapa banyak semestinya tubuh mengonsumsi kalori per hari. Menurut Head Research Center PT Nutrifood Indonesia Susana, setiap hari rata-rata manusia memerlukan asupan kalori sebesar 2.000 kalori. Susana menyatakan, jumlah tersebut tidak sembarang melainkan berdasar pada standar yang telah ditetapkan Departemen Kesehatan RI. ''Setiap hari tubuh harus memenuhi asupan kalori sesuai jumlah yang sudah menjadi standar kesehatan,'' ujar Susana. Untuk wanita, Susana mengatakan, ada dua jenis kategori wanita terkait dengan jumlah kalori yang dibutuhkan. Bagi wanita pekerja kantoran atau ibu rumah tangga yang tidak terlalu banyak bergerak, ia menyarankan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung asupan kalori hingga 1.800 kal per harinya. Namun untuk wanita kategori kedua yang lebih aktif, ia menyarankan untuk konsumsi makanan yang mengandung kalori hingga 2.000 kal per hari. Batasan jumlah kalori tersebut, lanjut Susana, baik untuk menjadi pedoman bagi wanita yang ingin menjaga atau mempertahankan berat tubuhnya. Sementara bagi yang ingin mengurangi berat tubuh, Susana menyarankan untuk mengurangi kalori sebesar 500 kal dari jumlah yang seharusnya. ''Jadi, kalau satu hari seharusnya ia konsumsi hingga 1.800 kalori, maka kalau lagi diet bisa hanya mengonsumsi 1.300 kalori saja,'' kata Susana. |
Anak Suka Berebut Mainan? Inilah Cara Menyiasatinya Posted: 09 May 2012 08:13 PM PDT REPUBLIKA.CO.ID, "Ini mainanku!" seru Zahratussita Anaya. Gadis yang belum lagi genap tiga tahun itu berteriak menukas sepupunya, Fathi Bhiya. Meski lebih kecil, Fathi tak kalah garang. Di usia dua tahun, ia sudah bisa mempertahankan barang yang ia yakini sebagai kepunyaannya. "Bukan, ini punyaku," bantah Fathi. Selanjutnya, bisa ditebak. Keduanya berebut mainan. Tak ada yang mau mengalah. Drama malam itu pun berakhir dengan pecahnya tangis Fathi. Sepintas, kejadian seperti itu terbilang lumrah. Bagaimana penilaian dari kacamata psikologi? Psikolog A Kasandra Putranto menjelaskan perilaku tersebut memang merupakan polah khas anak yang usianya di bawah empat tahun. "Mereka belum memahami konsep berbagi." Di usia seperti Anaya dan Fathi, anak memandang dunia berpusat di dirinya. Segalanya yang ia sukai otomatis dianggap sebagai miliknya. "Anak-anak masih di fase egosentris," ungkap Kasandra. Kecenderungan mengklaim mainan sebagai miliknya boleh saja dimaklumi. Namun, orang tua sebaiknya tak membiarkan perilaku tersebut. "Kasus ini jamak di Indonesia," kata Kasandra. Sebagian kasus berlanjut hingga usia dewasa. Mereka yang gagal keluar dari fase egosentris tumbuh menjadi sosok yang pelit. "Tak ada data yang menunjukkan angka kejadiannya, tetapi bisa terlihat dengan kasat mata," komentar psikolog yang juga pemerhati masalah anak ini. Kasandra memaparkan setiap anak terlahir dengan dorongan-dorongan yang khas dari dalam dirinya. Tugas mereka adalah melatih kemampuan diri untuk mengendalikan dorong an tersebut sesuai dengan tatanan nilai moral sosial yang ada. "Sejumlah penyebab membuat mereka luput menguasai keterampilan ini." Mereka yang memiliki karakter temperamen dengan dorongan yang memang terlalu tinggi berpotensi menjadi orang yang pelit. Demikian juga, dengan orang yang tumbuh dengan minim stimulasi atau stimulasi yang tidak efektif. "Anak tunggal yang termanjakan, inkonsistensi disiplin, dan faktor orang tua atau pengasuh yang tidak kompeten juga turut andil dalam menciptakan perilaku tak menyenangkan ini," urai Kasandra. Telanjur pelit "Pengasuh bisa menerapkannya dengan atau tanpa bantuan ahli psikologi." Untuk itu, Kasandra menyarankan orang tua yang kesulitan memperkenalkan konsep berbagi untuk berkonsultasi dengan tenaga ahli. Tujuannya, agar masalah anak dapat terselesaikan sebelum berkembang lebih pelik. Jika tidak dilakukan tindakan dengan cepat, anak akan membawa kelemahan pemahamannya ke tahap perkembangan berikutnya. Walhasil, ia menciptakan situasi yang sulit untuk dirinya sendiri. "Andaikan tak mau berbagi terus-terusan, anak bisa mengalami masalah sosialisasi," ucap Kasandra. Anak sebaiknya mulai diajak mengerti dan menyadari konsep kepemilikan di usia tiga tahun. Patokan ini tentunya berlaku untuk anak tanpa hambatan intelegensi ataupun masalah psikologis lain. Contohkan cara membedakan barang miliknya dan barang milik orang lain. "Pada anak berkebutuhaan khusus, keterlambatan pemahamannya akan bergantung tingkat keparahan faktor hambatan," tutur Kasandra. Inilah tips mengajak anak berbagi: |
You are subscribed to email updates from Republika Online - Gaya Hidup RSS Feed To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan