KOMPAS.com - Nasional |
KPK Jangan Berhenti Pada Nazaruddin Posted: 30 Jun 2011 09:15 AM PDT KPK Jangan Berhenti Pada Nazaruddin Robert Adhi Kusumaputra | Kamis, 30 Juni 2011 | 23:00 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta agar tidak hanya berhenti pada Nazaruddin. "Sesumbar Nazaruddin tentang dugaan katerlibatan pihak-pihak lain dalam kasus ini wajib ditelusuri, karena mustahil kejahatan yang banyak disebut sebagai mafia anggaran, jelas tidak mungkin dilakukan seorang diri," demikian pernyataan Ketua BP Setara Institute, Hendardi dalam siaran pers yang dikirim Kamis (30/6/11) malam ini. Hendardi menegaskan, ia memberi apresiasi kepada KPK yang telah menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka dalam kasus Sesmenpora. "Ini kemajuan keras KPK meskipun terlalu lama," katanya. Menurut Hendardi, penetapan status tersangka memungkinkan KPK lakukan pemanggilan paksa atas Nazaruddin, jika terus membangkang memenuhi panggilan KPK. "Kalau KPK tidak progresif menangani kasus ini mudah sekali publik menganggap bahwa ini bagian dari pelipur lara bagi rakyat yang sudah sangat kecewa dengan kasus korupsi yang menjangkiti negeri ini," tandasnya. Ditegaskan, status tersangka Nazaruddin yang paling pokok adalah menjadi ujian komitmen SB Yudhoyono dan Partai Demokrat yang berkali-kali menyatakan mendukung KPK. "Komitmen ini harus dibuktikan dengan membantu KPK hadirkan Nazaruddin. Tidak ada alasan yang menyulitkan SBY dan Demokrat hadirkan Nazar karena mereka selama ini terus berkomunikasi. Publik tidak butuh argumen tidak rasional "sakit" sebagaimana modus para koruptor untuk lari dari jerat hukum," jelas Hendardi. (KSP) |
Nalom Mengaku Dibujuk Neshawaty Posted: 30 Jun 2011 08:57 AM PDT JAKARTA, KOMPAS.com - Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi Nalom Kurniawan mengaku bahwa ia berbicara dengan Neshawaty melalui telepon genggam milik Dewi Yasin Limpo. Hal ini ia sampaikannya pada Panja Mafia Pemilu di Gedung DPR RI, Kamis (30/06/2011). Saat itu, menurut penuturan Nalom pkeada Panja, ia menemani Masyhuri Hasan untuk mengantarkan surat asli jawaban putusan MK yang sudah selesai ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Ia kemudian bersama Hasan mendatangi Komisi Pemilihan Umum untuk mengantarkan surat itu. Pada kesempatan itu, Komisioner KPU tak bisa ditemui. Tanpa diduga, di parkiran tempat itu telah ada Dewi Yasin Limpo dari Hanura dan seorang pria bernama Bambang. "Setelah sampai KPU, komisioner KPU enggak ada. Kami menunggu di mobil dan Hasan minta arahan pak Panitera (Zainal Arifin). Tidak lama dari komunikasi arahan Panitera terputus, nampak dua orang Dewi Yasin Limpo dan Bambang," ujar Nalom. Ia menyatakan Dewi berusaha membujuk keduanya untuk melihat surat yang harusnya diberikan kepada KPU. "Singkat cerita Ibu Dewi meminta kami tidak menyampaikan kepada komisioner (KPU). Saya mengatakan tidak bisa. Bu Dewi memaksa minta ditunjukkan surat itu. Lalu saya keberatan dan bilang bagaimana Mas Hasan? lalu Bu Dewi menelpon seseorang. Tidak lama berbicaranya via telepon dengan bahasa yang saya tidak tahu. Telepon diberikan pada saya dari Nesha. Seingat saya Nesha bilang tolong pahami Ibu Dewi, dia berjuang sudah lama," jelas Nalom. Seperti yang diketahui, pernyataan Nalom mengenai pembicaraan ini mematahkan pernyataan Neshawaty kepada Panja, 28 Juni 2011 lalu. Nesha mengaku tidak mengenal Nalom dan tidak pernah terlibat pembicaraan dengannya. Ia pun mengatakan karena terus dipaksa Dewi, surat itupun akhirnya ditunjukkan. Namun, Dewi juga meminta agar surat asli putusan MK itu difotokopi. Padahal saat itu, Nalom dan Hasan telah diminta Panitera MK untuk mengirimkan surat tersebut ke Andi Nurpati, di Kantor Jak TV. "Saya bilang saya enggak bisa Bu (melihat surat putusan asli) Lalu Bu Dewi sempat memaksa surat itu ditunjukan. Hasan bilang, silahkan ditunjukan saja. Setelah itu, ibu Dewi minta surat itu difotokopi tapi enggak ada mesin fotokopi yang buka. Lalu kita kembali ke kantor MK," jelasnya. Sambil menunggu difotokopi, menurut Nalom, Dewi memasuki mobilnya bercerita mengenai perjuangan dirinya selama tiga tahun untuk menduduki kursi legislatif. "Dia (Dewi Yasin Limpo) bercerita 'saya sudah berjuang 3 tahun lebih tapi kenapa yang dapat orang lain,' Saya bilang saya hanya mengantarkan surat itu," kata Nalom. Setelah itu, atas saran Zainal yang telah menghubungi Andi, Hasan dan Nalom pergi ke kantor JakTV. Ia menceritakan saat menerima surat tersebut, Andi langsung membuka map yang terdapat surat jawaban putusan MK. Saat itu, lanut Nalom, Andi bertanya kepadanya "Mas Hasan duduk menyerahkan, dikasihkan ke ibu Andi, saya dikenalkan. Surat ada dalam map. Saya enggak tahu surat ada di stempel atau tanda tangan. Surat nomor 112 dan 113 itu dibaca dan dibuka oleh Andi. Lalu Andi bilang kalau dikabulkan kenapa tidak menang? Setelah itu lalu saya tanya Hasan mau pulang bareng atau enggak. Dia (Hasan) enggak mau," tukas Nalom. Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price. |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan